Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Humor

Andaikan Prabowo Subianto Menirukan Dodit Mulyanto

2 Juni 2014   21:42 Diperbarui: 23 Juni 2015   21:48 724
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humor. Sumber ilustrasi: PEXELS/Gratisography

Mari meredakan saraf yang tegang jelang Pilpres 2014. Luangkan sejenak waktu untuk diri. Ada baiknya mengandaikan Prabowo Subianto menjadi sosok seperti Dodit Mulyanto.

Siapa yang tak kenal Prabowo Subianto? Sebagai Capres nomor 1, hampir semua orang mengenalnya. Pendukungnya banyak, begitu juga dengan pengkritiknya. Ini seperti pengandaian dalam pepatah, makin tinggi pohon makin kencang pula angin berhembus.

Siapa juga yang tak mengenal Dodit Mulyanto?  Bagi yang belum kenal Dodit, silahkan berburu videonya saat menjadi kontestan Stand Up Comedy Indonesia (SUCI) Kompas TV Season 4. Pria Jawa asal Blitar Jawa Timur ini sudah punya ribuan fans di akun Twitter-nya. Aksi stand up comedy-nya selalu ditunggu karena bakal mengundang tawa.

Berbeda dengan komika lainnya yang cenderung ekspresif saat open mic. Dodit menawarkan gaya baru. Nada bicaranya datar, logat Jawanya kental dan medhok, tapi tetap mampu menyentil sensor tawa pemirsanya. Dodit tidak membutuhkan gaya bicara yang tegas dan lugas bak orator.

Sapaan khas dari Dodit kepada pemirsa selalu berubah dan konteksual. Pernah dia mengucap,”Selamat malam kerabat.” Lain waktu berganti dengan,”Selamat malam penduduk.” Bahkan sapaan seperti,” Selamat malam fashionista,” dan “Selamat malam omnivora,” dengan santai terdengar dari komika yang sehari-hari berprofesi guru ini. Sapaan Dodit saja kadang sudah cukup mengundang tawa.

Seandainya Prabowo Subianto mau belajar dari gayanya Dodit Mulyanto bisa saja angin dukungan bakal berhembus kepadanya. Tak ada salahnya jika Prabowo selaku Capres menyapa khalayak dengan,”Selamat malam pendukung, yakin mau dukung saya? Kalau nggak yakin nanti saya kasih paku. Satu orang satu paku, agar selalu ingat siapa yang ngasih paku. Itu namanya paku coblosan. Jangan coblos saya, tapi coblos gambar saya.”

Tentu, sapaan ini harus diucapkan dengan nada suara yang datar dan seolah tak acuh. Tidak perlu ketegasan seperti yang selama ini banyak ditampilkan. Ini seperti “menyipilkan” gaya militer yang kerap ditampilkan Prabowo Subianto.

Berikutnya, Prabowo bisa meniru materinya Dodit dengan sedikit modifikasi. Misalnya saja dengan menyatakan,”Saya ini asli keturunan Jawa, pernah dididik ala Eropa, tapi karir militer saya tetap di tanah Jawa.” Usai berhenti sejenak, Prabowo bisa menambahkan sedikit paparan,”Itulah kisah hidup saya. Nggak ada lucunya sih.”

Kampanye positif tentang kekayaan dan aset yang dimiliki Prabowo Subianto – kaya itu positif guys dan nggak selalu negatif – bisa juga dijadikan materi candaan saat menghadapi audiens. Bisa saja Prabowo bilang begini,”Orang bilang Pak Prabowo itu kaya, ya saya itu kaya gini. Masak saya disuruh kaya yang lain, ya enggaklah. Prabowo Subianto itu Cuma satu, dan kebetulan dapat undian nomor urut satu. Cieeeee nomor satu.”

Setelah itu, Prabowo bisa menyelipkan secuil materi kampanye dengan menyatakan,”Tapi saya ingin agar bangsa ini makin kaya rasa maaf, rasa hormat menghormati, serta tetap sadar akan kekayaan negerinya.”

Mengapa Dodit layak ditiru? Seperti pernah ditulis salah seorang Kompasianer bernama Gibb, Dodit seolah menyodorkan ironi saat tampil di panggung. Nah, saat ini kita butuh ironi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ironi berarti kejadian atau situasi yang bertentangan dengan yang diharapkan atau yang seharusnya terjadi.

Seharusnya seorang Capres itu yang tegas dan berwibawa. Itu benar, tapi perlu diingat ketegasan dan kewibawaan diperlukan saat seseorang sudah menjadi presiden definitif dan punya kewenangan mengendalikan pemerintahan melalui para menteri dan birokratnya. Kalau masih Capres dan butuh dukungan dari pemilih, maka seorang Capres harus merakyat. Ada bagusnya bisa bercanda, berbagi senyum, syukur-syukur berani tampil di ajang stand up comedy. Cieeee, ada yang berani tampil nggak ya?

Untuk itulah dibutuhkan sesuatu yang sifatnya ironi sepanjang masa kampanye ini. Wong rakyat Indonesia sudah lelah kok dengan hiruk pikuk politik. Rakyat yang kelak akan menggunakan hak pilihnya itu butuh hiburan. Butuh sesuatu yang berbeda agar tersentuh sensor simpatinya. Jangan sampai, para pemilih menjadi galau saat hendak memasuki bilik suara nanti.

Ingat ya guys, jumlah pemilih pemula dalam Pemilu 2014 – Pileg dan Pilpres – diperkirakan mencapai 30 persen. Mereka ini berusia 17-30 tahun. Sebuah rentang usia yang penuh dinamika dan butuh tawa. Melucu dibutuhkan agar kita mampu menyeimbangkan hidup. Menertawakan hal-hal lucu dalam hidup terkadang bisa menambah semangat dan menemukan solusi alternatif dari himpitan masalah hidup.

Apa iya, para pemilih pemula yang sebagian galau dan doyan melucu kelak dibiarkan berujar,”Apa? Kamu yang pengin jadi presiden trus aku yang harus milih?”

Selamat sore, saya warga negara biasa dan suka bercanda saja guys.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humor Selengkapnya
Lihat Humor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun