"Teguh yuwono slamet, slamet kersaning gusti!" itu yang benar teriak Petruk.
Setelah dirasa hafal, Petruk dan Bagong segera kembali ke Karangkadempel. Di sana, makhluk halus hilir mudik mengganggu warga setempat. Petruk segera merapal doa. Begitu melihat ada makhluk halus, doa dibacakan. Dengan segera makhluk halus lemas dan pergi.
Lain halnya dengan Bagong. Upaya Bagong mengusir makhluk halus sia-sia. Doa yang dirapalnya kerap kali salah. Alhasil, makhluk halus ini dengan santainya tetap leluasa mengganggu warga. Beruntung Petruk datang dan mengoreksi bacaan doa dari Bagong.
Merasa gagal, Bagong lantas meminta waktu bertemu ayahandanya Semar. Bagong meminta doa versi baru yang lebih ringkas.
"Ucapkan begini, radadi kajate, radadi kajate, radadi kajate sampai demitnya lemas dan pergi," paparnya kepada Bagong.
Bagong girang. Doa ringkas ini ingin segera dipraktikkan. Pas kembali ke Karangkadempel, doa dirapal. Beberapa demit terlihat lemas dan pergi setelah mendapatkan doa dari Bagong.
Saat hampir semua demit sudah ditumpas, tampak seekor macan berdiri tegak di depan Antasena, Petruk, dan Bagong. Terjadilah percakapan singkat di situ.
"Saya Antasena. Kamu ini siapa?" tanyanya kepada si macan.
"Aku Matenggo Seto," jawab si macan.
"Ketahuilah. Kamu tidak perlu ikut campur dalam urusan ini. Kiai Semar punya maksud baik selama berada di Karangkadempel. Ki Semar ingin mendamaikan Pandawa dan Kurawa serta Kerajaan Amarta. Kamu lebih baik kembali ke wujud aslimu dan bergabung dengan Pandawa," ujar Antasena.
"Kalau aku tidak mau, lantas bagaimana?" tanya Matenggo Seto.