Sudah banyak yang menulis tentang Kompas. Izinkanlah saya untuk menjadi salah satunya. Mumpung ada wahana yang bernama Kompasiana.
Rabu malam lalu (01/02/2011) kelompok bisnis media terbesar Indonesia Kompas Gramedia merayakan syukuran di Istora Senayan. Saat ini, KG tercatat memiliki jumlah total karyawan 16.192 (Warta Kota, 02/02/2012). Sebuah jumlah yang tidak bisa dianggap kecil. Dengan beragam bisnisnya yang menggurita, KG menjadi kelompok bisnis yang diperhitungkan.
Mercusuar bisnis KG terletak pada bisnis medianya yang dimotori oleh Harian Umum Kompas. Kebesaran bisnis media Kompas ini diakui oleh kompetitornya yakni Jawa Pos Group. Sudah lama CEO Jawa Pos Group Dahlan Iskan menjadikan dirinya sebagai penantang “pendetanya” Kompas yakni Pak Jakob Oetama. Hal ini diakui Dahlan Iskan dalam CEO Notes-nya yang diposting melalui blog pribadinya pada 3 Oktober 2011. Dalam sebuah paragraf yang lugas, Pak Dahlan Iskan yang kini menjabat sebagai Menteri Negara BUMN menulis:
Hasil pertempuran itu sudah final: saya tidak mampu mengalahkan Pak Jakob Oetama. Kompas Group masih jauh lebih gede daripada Jawa Pos Group meski koran Jawa Pos sudah tidak kalah besar dari koran Kompas.
Pak Jakob dan Pak Dahlan bisa dibilang sebagai rajanya media khususnya koran. Yang pertama berbasis di Jakarta dan nama yang kedua memilih Surabaya sebagai basis bisnisnya. Jarang-jarang ada bos sebuah grup bisnis yang dengan lugas dan jujur mengakui kemenangan kompetitor bisnisnya. Lazimnya, persaingan bisnis berlangsung senyap (silent competition) dan tidak diumbar ke publik. Boleh jadi, pengakuan Dahlan Iskan di atas adalah sebentuk penghormatan antarsesama tokoh media yang usianya terpaut 20 tahun ini.
Di usianya yang kian sepuh, Pak Jakob masih aktif menahkodai KG dan menjabat sebagai Presiden Komisaris KG. Gurita bisnisnya juga merambah ke jalan tol. Itu dibuktikan lewat kepemilikan saham KG di ruas tol Cinere-Jagorawi.
Indonesia beruntung punya Jakob Oetama dan P.K. Ojong yang sejak awal pendirian Kompas sudah mencita-citakan sebuah Indonesia mini. Melalui skala bisnisnya yang begitu besar, Kompas memberi hidup bagi banyak orang dari beragam latar belakang iman. Inilah salah penggal tafsir Indonesia mini yang dicita-citakan Pak JO dan Pak Ojong.
Bila dirunut lagi ke belakang, berkah yang dirasakan Kompas ini tak bisa lepas dari peran Presiden RI pertama Soekarno. Adalah Soekarno yang memilihkan nama Kompas. Kala itu di tahun 1965, Frans Seda menghadap Pemimpin Besar Revolusi (PBR) untuk memberitahukan kesiapannya menerbitkan sebuah koran dengan nama Bentara Rakyat. Mendengar hal itu, Bung Karno lantas berujar,”Boleh saya usul satu nama. Saya usul namanya Kompas yang artinya penunjuk arah.” (Taufik Rahzen 2007 : 237)
Saran Soekarno diikuti. Koran Kompas pada tahun-tahun berikutnya benar-benar menjadi penunjuk arah bagi sebagian masyarakat Indonesia. Kompas tak hanya menjadi sekadar sebuah merek dagang untuk sebuah koran yang bermarkas di Palmerah Jakarta. Dominasi Kompas dirasakan betul oleh pemain yang sama di bisnis ini. Lagi-lagi dalam penggal tulisannya, Dahlan Iskan menyatakan: Kompas sudah menjadi koran dan koran sudah menjadi Kompas.
Memang, butuh waktu yang lama untuk membangun sebuah merek yang benar-benar melekat kuat di benak publik seperti yang telah dilakukan Kompas. Dalam dunia marketing, Hermawan Kertajaya menyebut, your brand is your equity. Merek Anda adalah modal Anda juga. Karenanya membangun merek yang diikuti dengan menjaga kualitas produk dan layanan menjadi hal yang harus diperhatikan.
Kehadiran Kompasiana di ruang publik kita sekarang merupakan bagian dari kerja besar Kompas untuk kian dekat dengan kita, para pembacanya. Ribuan tulisan yang terjadi di Kompasiana ini setidaknya bisa memandu kita bersama dalam memahami isu atau masalah yang tengah berkembang. Lewat tulisan-tulisan inilah kita saling berdialog, membangun jejaring, atau sekadar memberikan penilaian dengan tanda jempol. Jadi, bagi Anda yang takut tersesat, sering-seringlah membaca Kompasiana.
Salam kompas!
Wildan Hakim, pernah gagal dalam seleksi menjadi wartawan Kompas, kini menjadi mahasiswa S2 yang tesisnya dibimbing oleh salah satu anggota Litbang Kompas.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H