Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Konglomerasi Media di Indonesia

28 Januari 2012   11:03 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:21 5459
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Media. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Free-photos

Media massa di Indonesia hanya dimiliki segelintir pengusaha. Ini bukti, bisnis media bukanlah bisnis biasa. Konglomerasi media di Indonesia kian terasa kala situs detikcom dibeli Chairul Tanjung lewat Grup Paranya pada Juni 2011 lalu.

Detikcom dibeli Chairul Tanjung. Ini adalah berita yang menarik. Dari sisi bisnis, pembelian detikcom oleh Grup Para menunjukkan bahwa kelompok bisnis terus berekspansi. Kali ini ekspansi bisnisnya benar-benar strategis: membeli situs berita on line nomor 1 di Indonesia.

Membeli barang bagus tentulah butuh modal besar. Orang Jawa bilang: ono rego ono rupo. Yang artinya, ada harga ada wujud barangnya. Detikcom adalah barang bagus. Pembaca detikcom tak jua surut meskipun situs berita on line kian bertambah dari waktu ke waktu. Di atas kertas, detikcom juga bisa menghasilkan uang dari iklan. Artinya, detikcom sukses meraup untung. Profitabilitas perusahaan ini memang meyakinkan. Singkat kata detikcom adalah barang premium.

Langkah Grup Para membeli detikcom tentu sudah dikalkulasi secara matang. Membeli sebuah perusahaan berarti investasi. Dengan kinerja keuangannya sekarang, detikcom adalah mesin uang baru bagi Grup Para. Detikcom yang haus untuk tumbuh, membutuhkan suntikan dana segar. Lantas masuklah Grup Para selaku pemilik baru. Tanpa pemilik baru, detikcom bisa saja tumbuh meski tak secepat yang diinginkan pihak manajemen.

Minat serta keputusan Grup Para membeli detikcom juga menunjukkan geliat konglomerasi media dari sang pemilik. Seperti diketahui, Grup Para yang dikomandani Chairul Tanjung ini adalah pemilik saham Trans TV dan Trans 7. Pembelian detikcom bisa diartikan sebagai bertambahnya koleksi perusahaan media yang dimiliki Grup Para.

Ini berarti, ada 4 nama bos media yang boleh dibilang adu kuat di industri yang sarat modal tersebut. Sebut saja Chairul Tanjung (CT), Harry Tanoesoedibjo (HT), Aburizal Bakrie (AB), serta Surya Paloh (SP). Dari 4 nama tersebut, hanya SP yang belum memiliki media on line secara spesifik. Lalu, hanya CT dan AB yang belum memiliki media cetak. Sementara itu, keempat pengusaha ini sama-sama pemilik stasiun televisi. Khusus untuk HT, dialah bos media dengan koleksi bisnis paling lengkap. Mulai dari koran, majalah, radio, media on line, televisi, hingga televisi berlangganan ada di genggaman kelompok bisnisnya. HT dengan MNC Grup-nya boleh dibilang paling digdaya di jagad media elektronik Indonesia. Sementara itu AB, dengan aset yang dimilikinya saat ini merupakan sosok pemilik bisnis 3 layar.

Istilah bisnis 3 layar ini saya peroleh dari salah seorang teman yang kebetulan bekerja di stasiun televisi milik AB. Layar yang dimaksud adalah layar televisi, layar komputer, serta layar handphone. AB dengan kekuatan bisnisnya, seperti kita tahu sudah memiliki TV One, Anteve, Vivanews, serta Esia. Ketiga layar itu, kini menjejali benak publik. Di media on line, AB berkibar dengan vivanews-nya. Vivanews kini menjadi salah satu situs berita on line yang cukup diperhitungkan. Ranking jumlah pembacanya untuk sementara ini harus berkejaran ketat dengan kompas.com untuk menduduki posisi ke-2 dan ke-3.

Bila ditilik lebih jauh, dari keempat bos media yang tersebut di atas, 3 orang di antaranya menjadi tokoh publik. Baik sebagai pengurus parpol, ormas, hingga organisasi yang membidangi isu spesifik dan strategis. Hanya HT yang tidak terlihat menonjolkan diri sebagai tokoh publik. Alhasil, nama HT cukup dikenal sebagai bos atau pemilik Grup MNC. Sesekali wajah dan senyumnya muncul di layar kaca menjelang event tertentu atau sekadar menyapa pemirsa untuk mengucapkan selamat. HT memang tidak sepopuler CT, AB, serta SP.

CT seperti sering dikutip media massa, kini menjabat sebagai Ketua Komite Ekonomi Nasional (KEN). Namanya beberapa kali muncul di media massa sebagai tokoh yang dimintai komentar seputar perekonomian nasional saat ini. Sebagai pengusaha bertangan dingin, CT bisa merepresentasikan dirinya sebagai sosok yang memahami betul ekonomi dan bisnis. Pendapat serta komentarnya tidak lagi terjebak pada gaya normativisme yang kerap ditampilkan pejabat pemerintahan.

Lain halnya dengan AB serta SP. Publik tahu, keduanya adalah sosok yang kontroversial. Yang pertama pemimpin parpol berlambang beringin dan yang kedua pemimpin ormas yang belakangan bernafsu membangun parpol. Sangat jelas sudah, kedua bos media ini punya agenda politik yang secara telanjang diketahui publik. Keduanya juga kerap menghiasi media miliknya dengan berita yang dirancang untuk menguntungkan dan makin mempopulerkan citra mereka. Tidak ada yang salah dengan langkah itu, toh keduanya ngetop dengan media yang mereka miliki. Namun, sajian semacam itu terasa jauh dari nilai-nilai idealisme pers yang dituntut yakni: independen, jujur, serta netral.

Konglomerasi media memang menciptakan silang sengkarut kepentingan. Kepemilikan berbagai jenis media yang tersentral pada satu nama tertentu, secara implisit menampilkan kesan makin kuatnya persaingan. Muncul kesan: siapa punya apa saja. Dilihat dari portfolio perusahaannya, jelas sudah, HT paling banyak memiliki koleksi perusahaan media. Disusul CT, AB, serta SP. Dilihat dari postur bisnisnya, SP tergolong paling kecil geliat bisnisnya. SP hanya punya koran Media Indonesia serta Metro TV. Itulah mesin uang dan media yang bisa mempopulerkan SP. Adapun CT dan AB bisa dibilang memiliki kekuatan yang berimbang. Kedua bos ini memiliki 2 stasiun televisi dan masing-masing juga memiliki 1 media on line. Hanya saja, jika diteropong lebih jauh, raupan perolehan iklan untuk media milik CT sepertinya masih lebih besar. Terlebih setelah CT berhasil membeli detikcom, pundi-pundi keuntungan Grup Para bakal makin melimpah di masa mendatang. Seperti dinyatakan oleh Pimred detikcom Budiono Darsono, “Grup Para beruntung membeli detikcom.”

Menurut Budiono Darsono, situs berita yang dipimpinnya itu memang sedang tumbuh. Untuk tumbuh dibutuhkan modal yang tidak sedikit. Menjual saham adalah langkah strategis agar pertumbuhan yang dikalkulasi di atas kertas bisa terealisasi. Ini berarti, detikcom sedang bersiap untuk melesat. Ibarat mobil, detikcom sudah berinovasi di berbagai lini agar tetap bisa memimpin balapan media dotcom. Balapan itu hingga kini masih dipimpin detikcom. Mantra sakti detikcom terus dirapal: kalau bisa detik ini mengapa menunggu besok? Ada banyak pesaing di sekeliling detikcom. Namun semuanya adalah follower. Detikcom tetaplah pioneer. Pioneer memang dituntut serba peka terhadap keadaan, tidak lamban, serta tidak lengah. Mempertahankan diri sebagai pioneer melalui berbagai perubahan sudah menjadi bagian dari denyut hidup detikcom. Sebagai pioneer, detikcom berhasil membangun nilai dan menjaga reputasi.

Dengan modal awal Rp 100 juta pada 1998 silam, detikcom bertransformasi menjadi situs berita yang mampu mendulang profit dari tahun ke tahun. Tidak mengherankan jika harga sahamnya juga terus naik. Modal ratusan juta di awal usaha kini berubah menjadi ratusan miliar pasca satu dekade dilampaui. Moncernya bisnis dotcom rupanya juga menarik minat Grup Lippo. Dua bulan sebelum CT membeli detikcom, Grup Lippo telah mengakuisisi situs beritasatu.com. Nama beritasatu ini kemudian dijadikan sebagai media holdings bagi perusahaan media yang berada di bawah kelompok bisnis yang dimiliki Muchtar Riady ini. Harga yang harus dibayar Grup Lippo untuk membeli beritasatu memang tidak sefenomenal detikcom. Namun sekali lagi ini membuktikan bahwa konglomerasi media di Indonesia menjadi hal yang tak terelakkan di tengah deru kapitalisme berbalut demokratisasi.

Wildan Hakim, pernah menjadi reporter di detikcom dan KBR 68H, meminati jurnalisme, media, dan komunikasi. Kini bekerja sebagai konsultan komunikasi. Kandidat master bidang ilmu komunikasi Universitas Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun