Mohon tunggu...
Wildan Hakim
Wildan Hakim Mohon Tunggu... Dosen - Dosen I Pengamat Komunikasi Politik I Konsultan Komunikasi l Penyuka Kopi

Arek Kediri Jatim. Alumni FISIP Komunikasi UNS Surakarta. Pernah menjadi wartawan di detikcom dan KBR 68H Jakarta. Menyelesaikan S2 Manajemen Komunikasi di Universitas Indonesia. Saat ini mengajar di Prodi Ilmu Komunikasi Universitas Al Azhar Indonesia (UAI) Jakarta dan Peneliti Senior di lembaga riset Motion Cipta Matrix.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Jokowi dan Gaya Komunikasi Pejabat Publik Kita

25 Januari 2012   03:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:28 1098
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_166078" align="aligncenter" width="619" caption="Wali Kota Solo, Joko Widodo (Kompas/EKI)"][/caption]

Walikota Solo Joko Widodo dan Gubernur Jateng Bibit Waluyo kembali menjadi buah bibir media. Terhitung, untuk kedua kalinya dua pejabat publik ini berbeda pendapat atas suatu hal dan kemudian menjadi konsumsi media. Polemik babak kedua antara kedua pejabat yang berbeda level ini mencuat ketika Jokowi menjajal mobil baru buatan siswa SMK 2 Surakarta dan SMK Warga Surakarta. Mobil yang diberi merek Kiat Esemka itu “dipilih” Jokowi sebagai mobil dinas, menggantikan mobil dinas lamanya buatan salah satu produsen asal Jepang.

Jokowi boleh merasa bangga atas hasil karya siswa  SMK itu. Langkah Jokowi mengomunikasikan rencananya memakai mobil Kiat Esemka juga tidak salah. Namun, saat pers meminta komentar atas keputusan Jokowi kepada Gubernur Bibit, yang muncul justru sindiran dan bukan dukungan. Dari sini, terlihat perbedaan gaya komunikasi antara Jokowi dengan Bibit.

Menilik pada gaya komunikasinya, Jokowi termasuk dalam kategori expresser. Orang dengan gaya  expresser memang mudah mengekspresikan ide dan argumentasinya. Langkah Jokowi memilih mobil Kiat Esemka merupakan bagian dari selling his idea or arguments. Begitulah gaya komunikasi seorang expresser saat bereaksi atas tekanan atau dominasi di sekelilingnya. Dominasi ini tak lain terkait dengan membanjirnya produk otomotif Jepang dan negara lain di Indonesia. Secara lebih substil, dominasi ini juga bisa diartikan masih dominannya pejabat publik di negeri kita yang berlomba-lomba hidup dalam kemewahan yang salah satunya terlihat dari kepemilikan mobil mewah atau fasilitas mobil mewah atas jabatan yang disandang seseorang. Dominasi inilah yang hendak didobrak Jokowi.

Di tengah riuhnya berita seputar korupsi dan gaya hidup mewah “sejumlah” pejabat Indonesia, tokoh publik dengan gaya komunikasi expresser seperti Jokowi menawarkan sepenggal perubahan dengan gaya menyentak sekaligus menginspirasi. Walikota Solo ini secara halus hendak memanggil kembali ingatan publik akan pentingnya berlaku hidup menjauhi kemewahan. Yakni, dengan memakai mobil dinas yang harganya tak sampai Rp 100 juta sembari membangun kembali kebanggaan atas produk anak negeri sendiri di tengah arus deras produk luar negeri dan impor yang membanjiri Indonesia.

Langkahnya ternyata berbuah positif. Pejabat publik, pengamat sosial, hingga selebriti ikut mendukung langkah Jokowi. Namun, lain halnya dengan Gubernur Bibit Waluyo. Alih-alih mendukung Jokowi, Bibit justru menyindir keputusan Jokowi menjadikan mobil Kiat Esemka sebagai mobil dinasnya. Di mata Bibit, langkah Jokowi terbilang sembrono. Sebab, hasil uji kelayakan dan keamanan mobil Kiat Esemka ini belum keluar. Di sini pula terlihat perbedaan gaya komunikasi Jokowi dengan Bibit.

Bibit Waluyo merupakan sosok dengan gaya komunikasi driver. Ini bisa dikenali dari sikapnya yang decisive dan strong viewpoints. Gaya komunikasi driver ala Bibit Waluyo inilah yang menyeretnya pada a competitive situation and likes to win. Sindiran Bibit Waluyo disadari atau tidak menempatkannya pada situasi yang terkesan “bersaing” dengan Jokowi.

Jika dibilang kompetisi, inilah kompetisi kedua antara Jokowi dengan Bibit Waluyo yang menyedot perhatian publik. Sebelumnya, Jokowi pernah berbeda pendapat dengan Bibit seputar pemanfaatan bekas pabrik es kuno Saripetojo.  Kala itu di tahun 2011, Bibit hendak mengubah Saripetojo menjadi mal. Rencana itu ditolak Jokowi. Alasannya, bekas pabrik tersebut merupakan cagar budaya dan  Jokowi mempertimbangkan nasib pasar tradisional yang hanya berjarak 500 meter dari bekas pabrik es tersebut.

Lebih jauh, polemik yang muncul atas keputusan Jokowi memilih Kiat Esemka sebagai mobil dinasnya juga tidak lepas dari faktor ethos yang melekat pada diri Jokowi. Dalam ranah studi komunikasi, ethos berarti efektivitas komunikasi berdasarkan karakter yang melekat pada diri si komunikator. Ronald D. Smith (2005) menyebutkan, ethos ini bisa ditilik dari tiga K yakni: kredibilitas, kharisma, dan kontrol. Dari segi kredibilitas, Jokowi mampu menampilkan kesan sebagai pribadi yang jujur (honesty) atas pilihannya. Dari sisi kharisma, selaku Walikota Surakarta Jokowi dikenal akrab oleh warga Surakarta dan sesekali menunjukkan keputusan yang punya daya tarik (attractiveness)dibandingkan kepala daerah lain pada umumnya. Sementara itu, dari sisi kontrol Jokowi merupakan kepala daerah yang memiliki kekuasaan dan otoritas. Tak pelak lagi, keputusan Jokowi yang “baru” dan “berbeda” akan selalu menjadi santapan media  dan publik.

Ethossaja belum cukup. Daya tarik atas keputusan Jokowi juga dipengaruhi oleh faktor logos dan pathos. Logos bermakna sebuah pesan akan efektif jika masuk akal atau rasional. Pilihan Jokowi pada mobil Kiat Esemka ya masuk akal saja. Sebagai produk baru, tidak ada salahnya Jokowi mencobanya. Toh, uji kelayakan juga sudah dilakukan oleh tim pembuat meskipun sertifikasi resmi dari Kementerian Perhubungan belum diterbitkan.

Picu pelengkap polemik ini juga sangat dipengaruhi oleh pathos. Pathos dapat diartikan sebagai daya tarik sebuah pesan berdasarkan sentimen. Kehadiran mobil Kiat Esemka yang direspon positif oleh Jokowi sarat dengan daya tarik emosional bernada positif (positive emotional appeals) serta daya tarik keunggulan (virtue appeals). Emosionalitas itu makin terasa ketika banyak orang memberikan apresiasi positif terhadap langkah Jokowi. Ini juga diperkuat dengan aspek keunggulan yang ditampilkan mobil Kiat Esemka. Bagaimana tidak unggul, wong mobil tersebut diproduksi oleh siswa-siswa tingkat SMK yang belum juga lulus sekolah.

Terlepas dari uji mutu mobil Kiat Esemka bila dibandingkan dengan mobil buatan pabrikan besar, setidaknya publik harus mengakui bahwa mendesain, membangun, dan memproduksi bukanlah pekerjaan remeh. Dibutuhkan kemampuan dan kecerdasan mekanistis untuk bisa merangkai berbagai komponen menjadi satu produk bernama mobil. Kemampuan seperti itu, lazimnya dimiliki SDM yang sudah lulus pendidikan S1 dari jurusan teknik. Kini, seiring makin cepatnya kemampuan generasi muda mengadopsi teknologi, sebuah produk mobil bisa lahir dari keliatan usaha para siswa SMK yang dibantu bengkel mobil lokal bernama Sukiat.

Seorang pemimpin bergaya komunikasi expresser seperti Jokowi sangat mungkin juga dipengaruhi oleh faktor budaya. Ini mengingatkan kita pada labelisasi glembuk Yogya, umuk Solo, dan gertak Semarang dalam masyarakat Jawa. Umuk dalam bahasa Jawa berarti pamer atau omong besar. Sebagai sebuah kata, konotasinya bisa positif dan negatif. Selaku pemimpinnya wong Solo, Jokowi menampilkan gaya umuk-nya. Namun, umuk­-nya Jokowi ini bermakna positif. Omong besar atau pamer atas sebuah karya anak bangsa yang membanggakan perlu dan harus dilakukan khususnya oleh pejabat maupun tokoh publik.

Umuk ini ternyata mendapat sambutan gertak ala Semarangan dari Gubernur Bibit Waluyo yang memang bermukim di Semarang. Merujuk pada maknanya, gertak berarti sesumbar atau menggambarkan sifat olok-olak sebelum pertarungan mulai."Kalau pas dikendarainabrak kebo, gimana?" (Koran Tempo, 5/01/2012) seperti yang diungkapkan Gubernur Bibit adalah bukti sepenggal olok-olok yang dimaksud. Boleh jadi, kompetisi lanjutan kedua kepala daerah ini akan berlanjut di ruang-ruang publik berikutnya.

Wildan Hakim, mantan reporter KBR 68H, alumni UNS Surakarta, peserta program S2 manajemen komunikasi Universitas Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun