Mohon tunggu...
wildan amin syahadah
wildan amin syahadah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Jakarta

Terkadang saya suka meneliti dan menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Fenomena "Tidak Enakan": Budaya atau Beban Batin?

1 Januari 2025   09:54 Diperbarui: 1 Januari 2025   09:54 22
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Fenomena "Tidak Enakan": Budaya Mulia atau Beban Batin?

Masyarakat Indonesia terkenal dengan nilai-nilai budaya dengan menekankan kebersamaan, gotong royong  dan harmoni sosial. Dalam kehidupan sehari-hari, hal ini sering tercermin dalam sikap "tidak enakan." Fenomena ini menjadi karakteristik khas masyarakat yang mengutamakan rasa hormat dan menjaga hubungan baik. Namun, apakah sikap ini membuat seseorang menjadi "pahlawan tanpa penghargaan," atau justru menciptakan beban batin bagi dirinya sendiri?

Budaya Kolektif dan Harmoni Sosial

Sikap "tidak enakan" berakar kuat dari budaya kolektif Indonesia yang menekankan pentingnya menjaga harmoni dalam hubungan sosial. Dalam banyaknya kasus, seseorang rela mengorbankan kenyamanan dirinya untuk memenuhi harapan orang lain. Misalnya, seorang karyawan yang merasa tidak enak untuk menolak permintaan atasan, meskipun tugas tambahan tersebut memberatkan dirinya. Di satu sisi, tindakan ini mencerminkan keikhlasan dan dedikasi.

Dalam konteks budaya, sikap ini dapat dianggap sebagai bentuk kepahlawanan sehari-hari. Orang yang "tidak enakan" sering menjadi penengah dalam konflik, membantu tanpa pamrih, atau bersikap ramah meski dalam kondisi sulit. Mereka menjaga nilai kebersamaan yang menjadi dasar hubungan antarindividu di Indonesia.

Beban Batin dan Tantangan Era Modern

Namun, dalam jangka panjang, sikap "tidak enakan" dapat menjadi beban batin. Seseorang yang terus-menerus mengorbankan dirinya mungkin mengalami kelelahan emosional, kehilangan identitas, atau bahkan merasa dimanfaatkan, seperti yang dikatakan oleh Najwa Shihab atau sering di sebut mba Nana bahwasannya orang yang tidak enakan, akan terus ketemu sama orang yang gak tahu diri. Dalam konteks ini, "tidak enakan" bukan lagi sebuah keutamaan, melainkan pengorbanan yang merugikan diri sendiri.

Di era modern, di mana kompetisi dan individualisme semakin menonjol, sikap "tidak enakan" sering kali menjadi tantangan. Seseorang mungkin kesulitan bersikap asertif dalam memperjuangkan haknya atau menyampaikan pendapat. Padahal, keberanian untuk berkata "tidak" adalah salah satu kunci untuk menjaga keseimbangan antara kebutuhan pribadi dan ekspektasi sosial.

Menyeimbangkan Keikhlasan dan Ketegasan

Sikap "tidak enakan" tidak harus dihapuskan sepenuhnya, tetapi perlu dikelola dengan bijak. Menjadi pahlawan dalam kehidupan sehari-hari adalah hal yang mulia, tetapi penting pula untuk memahami batasan diri. Dalam masyarakat Indonesia, menyeimbangkan antara keikhlasan dan ketegasan adalah tantangan yang harus dihadapi setiap individu.

Dengan belajar bersikap asertif, seseorang tetap dapat menjaga hubungan sosial yang baik tanpa mengorbankan kesehatan mentalnya. Menghargai diri sendiri sama pentingnya dengan menghargai orang lain. Sikap ini tidak hanya membantu individu berkembang, tetapi juga menciptakan masyarakat yang lebih sehat dan seimbang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun