Mohon tunggu...
Wilda Nabila Yoga
Wilda Nabila Yoga Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Jurnalistik Unpad

Seorang mahasiswa yang tertarik pada bidang jurnalisme salah satunya adalah mengenai isu general yang terjadi di sekitar lingkungan.

Selanjutnya

Tutup

Parenting Artikel Utama

Disorganisasi Keluarga, Dampak dan Solusi bagi Anak di Indonesia

3 Juli 2024   18:47 Diperbarui: 4 Juli 2024   16:05 781
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keluarga adalah unit sosial terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari orang tua dan anak-anak (Soemanto, 2022). Setiap anggota keluarga memiliki perannya masing-masing. 

Dahulu, peran ayah sering dikaitkan sebagai pencari nafkah utama. Sementara itu, ibu bertanggung jawab atas semua kebutuhan rumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, dan merawat anak-anak. 

Meskipun demikian, mereka adalah satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Apabila peran-peran tersebut tidak dilakukan dengan semestinya, maka hal tersebut dapat disebut dengan disorganisasi keluarga.

Menurut penelitian berjudul "Pengaruh Disorganisasi Keluarga Terhadap Perilaku Sosial Anak", disorganisasi keluarga adalah keretakan dalam keluarga sebagai satu kesatuan karena para anggotanya tidak berhasil memenuhi tanggung jawab yang sesuai dengan peran sosial mereka. 

Disorganisasi dalam sebuah keluarga dapat berasal dari sejumlah keadaan yang mengarah pada ketidakseimbangan, kekacauan, dan ketidakstabilan internal. 

Banyak faktor yang menjadi penyebab disorganisasi keluarga ini, termasuk perceraian orang tua, kematian orang tua, perselisihan keluarga, kekerasan dalam rumah tangga, masalah ekonomi, dan kecanduan narkoba. Ketidakstabilan ini berdampak pada semua anggota keluarga, terutama anak-anak.

Disorganisasi keluarga dapat memengaruhi ketidakstabilan emosional anak. Anak-anak mungkin merasa bingung, cemas, dan tidak aman. 

Hal ini dapat menghambat kemampuan anak untuk mengelola emosinya secara efektif, menghambat perkembangan emosinya, dan meningkatkan risiko terjadinya masalah kesehatan mental.

MS (20 tahun), salah satu anak yang tumbuh dari keluarga yang disfungsional mengatakan bahwa konflik keluarga yang ia alami pada usia 10 tahun ini mengarah pada perceraian kedua orang tuanya.  Hal ini juga menimbulkan beberapa dampak negatif pada dirinya. 

"Perselingkuhan yang dilakukan ayah berulang kali itu dampaknya yaitu orang tua bercerai, kurangnya perhatian dan komunikasi yang buruk. kurang kasih sayang, ayah tuh mikirnya ngehidupin aku cukup pake uang aja, padahal aslinya aku juga butuh kasih sayang penuh. contohnya kaya ayah ga pernah dateng ke acara-acara sekolah dan cuma ngasih uang aja."

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun