Mohon tunggu...
Wilberth M. S. Noenoehitoe
Wilberth M. S. Noenoehitoe Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Poltekip

Great men are not born great, they grow great.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Perubahan Paradigma Perlakuan Terhadap Narapidana

10 Juli 2024   07:10 Diperbarui: 10 Juli 2024   07:20 35
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Paradigma merupakan sudut pandang, pendekatan, asumsi, atau kacamata yang digunakan dan merupakan kesepakatan para ahli (ilmuwan) untuk melihat objek ilmu. Dalam sejarahnnya, teori pemidanaan selalu berubah dari masa ke masa. 

Hal ini terjadi karena paradigma yang ada sebelumnya sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman sehingga dibutuhkan paradigma baru yang sesuai dengan zaman yang ada. Dalam sejarahnya, terdapat beberapa paradigma perlakuan terhadap narapidana yang selalu berganti dari masa ke masa, paradigma-paradigma tersebut adalah:

  • Teori absolut atau teori pembalasan (retributif)

Tujuan pembalasan (revenge) disebut  juga untuk memuaskan pihak yang dendam, baik masyarakat sendiri maupun pihak yang dirugikan atau menjadi korban kejahatan. (Andi Hamzah, 1993: 24)

Oleh karena kejahatan itu mengakibatkan penderitaan kepada orang yang terkena kejahatan, maka penderitaan itu harus dibalas pula dengan penderitaan berupa pidana kepada orang yang melakukan kejahatan itu.

Teori absolut ini termasuk ke dalam paradigma aliran hukum pidana klasik. Dalam aliran ini proses penegakan hukumnya memandang pelaku kejahatan hanya dilihat dari perbuatannya saja (daad strafrecht). Aliran hukum klasik ini melahirkan model hukum single track  system (sistem hukum satu jalur) dan mengenalkan konsep generalisasi pemidanaan yang tujuannya hanya satu jalur saja yakni memberikan hukuman  dalam rangka menegakan keadilan bagi korbannya.

Aliran ini berpengaruh kepada praktek pelaksanaan pemidanaan  berupa model generalisasi pembinaan yang bertujuan hanya untuk menjerakan pelaku, sehingga setiap narapidana dibina menurut sudut pandang petugas (officer perspective).

  • Teori tujuan (teleologis) atau teori relatif

Teori ini menyatakan bahwa pidana itu bukanlah untuk melakukan pembalasan kepada pembuat kejahatan, melainkan mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang bermanfaat. Tujuan pidana adalah untuk menentramkan masyarakat yang gelisah akibat dari telah terjadinya kejahatan dan untuk mencegah kejahatan yang terdiri atas pencegahan umum (general preventive) dan pencegahan khusus (special preventive).

Menurut Muladi dan Barda Nawawi, pidana dijatuhkan bukan karena orang membuat kejahatan melainkan agar supaya orang jangan melakukan kejahatan. Teori ini memandang bahwa pemidanaan bukan sebagai pembalasan atas kesalahan pelaku tetapi sarana mencapai tujuan yang bermanfaat untuk melindungi masyarakat menuju kesejahteraan masyarakat. Sanksi ditekankan pada tujuannya, yakni untuk mencegah orang tidak melakukan kejahatan, maka bukan bertujuan untuk pemuasan absolut atas keadilan. (Muladi dan Barda Nawawi, 2006 : 25)

Teori teleologis ini termasuk ke dalam paradigma aliran hukum pidana modern yang berkembang pada abad ke-18. Aliran ini berkembang dengan menerima hasil-hasil dari ilmu pengetahuan lainnya yang menyebabkan pergeseran cara pandang terhadap hukum pidana. Dalam hal pidana, aliran modern initerbagi atas dua sudut pandang ilmu pengetahuan, yaitu:

Sudut pandang pertama adalah sudut pandang filsafat free will yang berkembang pada abad ke-18. Filsafat free will menyatakan bahwa milik yang paling berharga bagi manusia adalah kehendak bebas (free will), sehingga muncul pidana untuk menghilangkan kemerdekaan pelaku kejahatan. 

Hal ini menyebabkan si pelaku akan menderita dan merasa jera kalau kemerdekaannya dirampas. Doktrin ini disebut juga doktrin reformatif, karena pendekatan sudut pandangnya sudah menggunakan logika, tetapi fokus perhatiannya masih terfokus ke perbuatan pelaku saja (daad strafrecht).

Asumsinya adalah karena manusia itu bebas maka kesakitan yang paling hakiki adalah dicabut kebebasannya. Dengan demikian si pelaku kejahatan akan takut dan jera untuk melakukan perbuatan jahatnya.

Namun yang menjadi masalah adalah pelaksanaan pidana hilang kebebasan bergerak melalui pemenjaraan  pun tidak bebas dari masalah. Karena dari para ahli ilmu sosial terutama sosiologi terbukti bahwa pemasukan orang  ke dalam penjara ternyata dapat menimbulkan dampak prisonisasi.

Prisonisasi adalah keadaan dimana terjadi suatu proses sosialisasi nilai-nilai masyarakat penjara yang dapat menimbulkan si narapidana dapat lebih buruk atau lebih jahat dibandingkan dengan sebelum ia masuk Penjara (Penjara sebagai sekolah tinggi kejahatan).  Dan oleh sebab itu paradigma ini dianggap telah menemui kegagalannya.

Sudut pandang kedua adalah sudut pandang kedokteran/psikiatri atau psikologi. Sudut pandang ini menggunakan model tekanan rendah pada masyarakat dan tekanan tinggi pada individu, dalam arti bahwa fokus perhatian lebih ditujukan kepada individu pelanggar, sedangkan masyarakat kurang diikutsertakan dalam proses perbaikan. Aliran ini menghendaki adanya individualisasi pidana yang menghendaki adanya rehabilitasi atau resosialisasi terhadap si pelaku (pelanggar hukum).

Pidana yang pada awalnya bertujuan sebagai pembalasan/penjeraan, setelah sudut pandang kedokteran/psikiatri atau psikologi ini muncul maka terdapat pergeseran paradigma sehingga pidana diarahkan lebih untuk memperbaiki narapidana. 

Dengan kata lain aliran modern telah bergeser perhatiannya dari perbuatan kepada pembuatnya atau pelaku itu sendiri (daderstrafrect). Namun, akibat fokus perhatian dari aliran modern terlalu tertuju kepada si pelaku sehingga muncul kesan bahwa kepentingan masyarakat kurang diperhatikan.

  • Teori gabungan (retributif-teleologis)

Teori ini diajukan pertama kali oleh Pellegrino Rossi (1781-1848), teori ini memandang bahwa tujuan pemidanaan bersifat plural karena menggabungkan antara prinsip teleologis (tujuan) dan retributive (pembalasan). Teori ini menganggap bahwa pembalasan tetap sebagai asas (esensi) dari pidana yang beratnya tidak boleh melampaui suatu pembalasan yang adil. Akan tetapi dia juga mengakui bahwa pidana mempunyai berbagai pengaruh antara lain perbaikan sesuatu yang rusak dalam masyarakat dan prevensi general.

Teori ini bercorak ganda, dimana pemidanaan mengandung karakter retributif sejauh pemidanaan dilihat sebagai suatu kritik moral dalam menjawab tindakan yg salah. Sedangkan karakter teleologisnya terletak pada ide bahwa tujuan kritik  moral tersebut ialah suatu reformasi atau perubahan perilaku terpidana di kemudian hari.

Pandangan teori ini menganjurkan adanya kemungkinan utk mengadakan artikulasi terhadap pemidanaan yang mengintegrasikan beberapa fungsi sekaligus, retribusi yang bersifat utilitarian dimana pembalasan sekaligus rehabilitasi yg semuanya dilihat sebagai sasaran yang harus dicapai oleh suatu rencana pemidanaan.

Karena tujuannya bersifat integratif, maka perangkat tujuan pemidanaan menurut Muladi an Barda Nawawi adalah pencegahan umum dan khusus, perlindungan masyarakat, memelihara solidaritas masyarakat, dan pengimbangan/pengimbalan.

Teori gabungan ini merupakan bagian dari paradigma hukum pidana neo klasik yang bertujuan untuk mengadakan reintegrasi sosial. Penjara sebagai alat reintegrasi sosial (pemulihan hubungan dengan masyarakat) menggunakan model tekanan tinggi pada masyarakat dan tekanan tinggi pada individu pelanggar, artinya bahwa fokus perhatian sama tinggi baik terhadap masyarakat maupun terhadap individu pelanggar

Sudut pandang paradigma ini didasarkan atas pendekatan ilmu Sosiologi, Penologi, dan Kriminonologi. Dalam sudu pandang alran neo klasik ini, kejahatan yang dilakukan seseorang bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab individu akan tetapi juga tanggung jawab masyarakat. 

Doktrin reintegrasi sosial berasumsi bahwa suatu pelanggaran hukum terjadi, disamping karena kesalahan individu pelanggar hukum, juga ada andil masyarakat dalam mengkondisikan terjadinya kejahatan tersebut sehingga masyarakat juga ikut bertanggung jawab dalam proses pemulihan hubungan tersebut.

Paradigma gabungan ini berasumsi bahwa hubungan antara narapidana dengan masyarakat (hidupnya, kehidupannya, dan penghidupannya) dalam keadaan retak, sehingga perlu diupayakan adanya pemulihan hubungan yang harmonis antara pelanggar hukum dengan masyarakatnya. Konsep inilah yang melahirkan tujuan pemidanaan yakni  pemulihan hubungan hidup,kehidupan, dan penghidupan dalam sistem pemasyarakatan.

Dengan munculnya paradigma gabungan ini, maka fokus perhatian pemidanaan sudah bukan terhadap perbuatan saja atau pelaku saja, tetapi sudah terfokus ke perbuatan dan pelaku (daad-dader strafrecht). Sehingga, model proses penegakan hukumnya juga sudah bukan single track system lagi tetapi sudah berubah menjadi double track system yang fokus sanksi tindakan lebih terarah pada upaya memberi pertolongan pada pelaku agar berubah.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun