Mohon tunggu...
Wilberth M. S. Noenoehitoe
Wilberth M. S. Noenoehitoe Mohon Tunggu... Mahasiswa - Taruna Poltekip

Great men are not born great, they grow great.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pluralisme Hukum Perdata di Indonesia pada Masa Awal Kemerdekaan

14 Juni 2024   14:45 Diperbarui: 14 Juni 2024   15:23 72
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Perkembangan hukum perdata di Indonesia tidak terlepas dari politik hukum Hindia Belanda, ini menyebabkan terjadinya pluralisme dalam Hukum Perdata di Indonesia. Pluralitas sendiri merupakan ciri khas Indonesia. Dengan banyaknya perbedaan di Indonesia seperti suku, agama, ras, bahasa, dan budaya, tentunya kita ingin membangun bangsa Indonesia yang stabil dan modern dengan ikatan nasional yang kuat. Sehingga, menghindari pluralisme sama saja dengan menghindari kenyataan mengenai sudut pandang dan keyakinan yang berbeda yang hidup di tengah masyarkat Indonesia.

Pluralisme hukum adalah keadaan di mana hukum berlaku secara jamak, artinya adalah terdapat lebih dari satu sistem hukum yang hidup di tengah masyarakat seperti masyarakat yang tunduk terhadap lebih dari satu sistem hukum karena mengadopsi atau mengembangkan sistem hukumnya dari campuran hukum-hukum yang berbeda. Menurut Prof. Erman Radjagukguk dalam Kongres Internasional ke-15 Mengenai Pluralisme Hukum yang diselenggarakan di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, kondisi pluralisme hukum yang ada di Indonesia menyebabkan banyak permasalahan ketika hukum dalam masyarakat diimplementasikan pada saat terjadi konflik, sehingga ada kebingungan hukum mana yang akan berlaku untuk individu tertentu dan bagaimana seseorang dapat menentukan hukum mana yang berlaku padanya.

Berdasarkan Pasal 163 Indische Staatsregeling (IS), dahulu penduduk yang ada di Hindia Belanda terbagi ke dalam tiga golongan yaitu golongan Eropa, Timur asing dan Bumi putera (Indonesia asli). Mengenai politik hukum Hindia Belanda itu sendiri didasarkan pada Pasal 131 IS yang sebelumnya diatur dalam Pasal 75 Regeringsreglement (RR) yang pada pokoknya berisikan:

  • Hukum perdata dan hukum dagang dikodifikasikan.
  • Untuk golongan Eropa dianut perundang-undangan yang berlaku di negeri Belanda (konkordansi).
  • Untuk golongan bumi putera dan timur asing, jika ternyata kebutuhan masyarakat menghendakinya maka dapatlah peraturan-peraturan untuk bangsa Eropa dinyatakan berlaku baik seluruhnya maupun sebagian, dengan perubahan-perubahan dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama untuk selainnya harus diindahkan hukum-hukum yang berlaku di kalangan mereka dan boleh diadakan penyimpangan jika diminta oleh kepentingan umum atau kebutuhan kemasyarakatan mereka (ayat 2).
  • Golongan bumi putera dan timur asing diperbolehkan menundukkan diri pada hukum yang belaku untuk bangsa Eropa sepanjang mereka belum ditundukkan di bawah suatu peraturan bersama dengan bangsa Eropa (ayat 4).
  • Sebelum hukum untuk bangsa Indonesia ditulis dalam undang-undang maka digunakan hukum adat yang berlaku di daerahnya (ayat 6).

Oleh karena itu, sebagai akibat adanya politik hukum Hindia Belanda yang membagi masyarakat dalam tiga golongan, keadaan hukum perdata Indonesia setelah merdeka itu terbagi pula untuk tiga golongan yang berbeda. Untuk golongan bumi putera (Indonesia asli)  berlaku hukum adat, yaitu hukum yang sebagian besar tidak tertulis tetapi sejak dahulu telah berlaku di kalangan masyarakat dan hidup dalam tindakan-tindakan rakyat karena masyarakat yakin walaupun hukum ini tidak tertulis tetapi memiliki kekuatan hukum.

Untuk golongan Tionghoa (Cina Indonesia) berlaku Kitab Undang-Undang Hukum Perdata atau Burgerlijk Wetboek (BW) dan Kitab Undang-Undang Hukum Dagang atau Wetboek van Koophandel (WvK) dengan catatan bahwa bagi golongan Tionghoa mengenai BW tersebut ada sedikit penyimpangan, yaitu bagian 2 dan 3 dari Titel IV Buku I (mengenai upacara yang mendahului pernikahan) tidak berlaku bagi merdeka, sedangkan untuk golongan Tionghoa ada pula Burgerlijk Stand tersendiri. Ada juga peraturan perihal pengangkatan anak (adopsi) berlaku hukum adat masing-masing karena hal ini tidak dikenal dalam BW.

Untuk golongan timur asing yang bukan berasal dari Tionghoa atau Eropa yaitu Arab, India, Timur Tengah, dan lain-lain berlaku sebagian dari BW, yaitu pada pokoknya hanya bagian-bagian yang mengenai vermogensrecht (hukum kekayaan harta benda), jadi tidak mengenai hukum personen en familierecht (pribadi dan kekeluargaan) maupun yang mengenai hukum waris. Mengenai bagian-bagian hukum tersebut, berlaku hukum yang berasal dari negerinya sendiri.

Pluralisme dalam hukum perdata ini dapat berdampak negatif, seperti sulitnya mewujudkan kepastian hukum karena dipengaruhi oleh faktor suku, agama, ras, ataupun faktor politik. Bahkan bukan cuman di bidang hukum perdata saja, tetapi di seluruh sistem hukum Indonesia juga menghadapi hambatan yang sama karena dapat menimbulkan adanya konflik kepentingan (conflict of interest).

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun