Mohon tunggu...
Wildani Situmeang
Wildani Situmeang Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi/Ilmu Hukum

Nama saya wildani, saya tinggal di Medan dengan mama saya, saya mahasiswi fakultas hukum di medan, saya gemar membaca walaupun keterbatasan saya di mata saya yg minus. Saya suka menulis juga, bagi saya menulis dapat membuat rileks ehhehe..

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Kenaikan PPN 12 Persen Bikin Masyarakat Tambah Miskin, Haruslah di Tolak Keras

30 November 2024   19:43 Diperbarui: 30 November 2024   19:43 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Adanya rencana mengenai kenaikan PPN 12% membuat masyarakat cemas. Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12% akan berlaku mulai 1 Januari 2025 mendatang. Hal ini mengikuti yang di dalam ketentuan UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang telah disahkan oleh Komisi XI DPR RI dan Presiden Joko Widodo pada 29 Oktober 2021. Yang semula PPN adalah 11% kini berdalih menjadi 12%, justru hal ini menjadi polemik bagi masyarakat terutama masyarakat menengah kebawah. Kelompok menengah memiliki peran signifikan dalam menopang perekonomian.  Bila hal ini juga tidak dilihat, dan kelompok ini tidak mendapat perhatian ada kemungkinan yang terjadi kelompok kelas menengah akan turun kelas ke kelompok miskin. Bahkan yang kelompok kebawah sebelumnya (miskin) akan lebih melarat lagi berimbas dari kenaikan PPN 12% ini. Kenaikan Pajak ini haruslah dilihat dampak yang dapat mengakibat kerugian bagi masyarakat menengah ke bawah.

Direktur Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan, Suryo Utomo merespon serta menanggapi bahwa memastikan agar pemerintah terus mengkaji akan hal kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) sebesar 12% pada 2025 mendatang. Meski kebijakan tersebut telah ditetapkan pada UU No.7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). "kajian akan terus kami jalankan dan transisi pemerintah juga akan terjadi, jadi kami juga menunggu." Ujar Suryo saat Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta.

Jika kita melihat data, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) daya beli masyarakat mengalami penurunan sejak akhir 2023. Hal ini ditandai dengan konsumsi rumah tangga pada Kuartal IV 2023 yang hanya tumbuh 4,47 persen secara tahunan turun dibandingkan dengan Kuartal III 2023 yang tumbuh 5,06 persen dan Kuartal IV 2023 yang tumbuh 4,5 persen.  Kita sudah melihat dari data, mengakibatkan daya beli masyarakat kian lesu menurunnya daya permintaan di berbagai sektor. Pemerintah harus melihat bahwa ekonomi global tidak baik-baik saja. Daya beli masyarakat sudah benar-benar tertekan, jadi apa dengan diberlakukan kenaikan PPN 12 persen ini tidak akan mengakibatkan penurunan daya beli masyarakat?.

Kita tahu kenaikan PPN 12 persen ini dapat berdampak langsung terhadap inflasi umum, ini tentu berpotensi terhadap kenaikan harga barang. Kelas menengah mereka adalah kelompok utama penyumbang konsumsi rumah tangga. Mereka tengah menghadapi berbagai banyak tekanan, tekanan yang sekarang ini mereka rasakan seperti kenaikan harga pangan. Harga pangan yang kian makin hari makin mahal, belum lagi tekanan dalam hal sulitnya mencari pekerjaan. Dikhawatirkan sekali kemampuan belanja masyarakat semakin menurun akibat dari kenaikan PPN 12 persen ini.

Ingat harga bahan pangan tentu akan mengalami kenaikan, begitu pula halnya dengan produk sekunder. Penjualan produk sekunderpun mengalami hal yang serupa. Penjualan produk sekunder seperti kosmetik, elektronik, atau kendaraan bermotor berpotensi melambat. Ingat sasaran utama PPN barang-barang ini adalah kelompok kelas menengah.

Efek lainnya juga mengarah kepada pelaku usaha, dimana mereka pasti akan melakukan penyesuain harga kembali. Penyesuain harga dilakukan akibat dari naiknya tarif PPN bisa berdampak pada omzet mereka. Kemudian lagi, tentu akan berpengaruh pada penyesuaian kapasitas produksi hingga mungkin penurunan jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan. Bahkan dari kenaikan PPN dapat juga berimbas pada penurunan fasilitas bahkan tunjangan atau bonus pada karyawan. Jika sudah seperti ini dimana lagi letak kesejahteraan karyawan?

Dan tentunya kenaikan PPN ini juga membuat generasi milenial dan generasi Z mengetatkan pengeluarannya lagi dalam hal berbelanja akan kebutuhan sekunder dan tersier, bahkan juga akan mengurangi rasa untuk bersantai atau yang disebut hang out bareng teman dan keluarga. Dari kalangan menengah kebawah sangat merasakan dampak dari PPN ini. Harga barang akan melonjak tinggi, masyarakat akan tergilir untuk membeli barang-barang illegal karena masyarakat ya akan jauh lebih tertarik membeli barang-barang yang tidak dikenakan tarif PPN. Direktur Eksekutif Celios Bhima Yudhistira menyarankan pemerintah untuk membatalkan kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12 persen pada awal tahun 2025. Bahkan Bhima juga menambahkan alasan ia ingin pemerintah membatalkan kenaikan tersebut karena beliau khawatir impor akan barang-barang illegal makin deras dan artinya ada potensi pajak yang hilang ketika pemerintah hanya mengejar kenaikan tarif PPN.

Saran Dari Penulis 

            Saya sendiri selaku penulis menyarankan agar kenaikan PPN dibatalkan, saya menolak keras akan adanya kenaikan tersebut. Kenaikan ini bukan solusi tepat dalam mendongkrak pendapatan negara. Perekonomian yang tengah lesu saat ini tidaklah cocok untuk ditekan lagi dengan kenaikan PPN. Dalam pasal 33 ayat (1) UUD 1945 disebutkan jika perekonomian disusun berdasarkan atas asas kekeluargaan. Artinya perekonomian itu digunakan atau dikembangkan dengan tidak menggunakan asas individualistik. Asas kekeluargaan asas bersamaan yang dimana tidak ada pihak yang dirasa dirugikan, dikelola dengan sebaik-baiknya demi untuk kemakmuran rakyat. Jika daya beli terus kian turun terhujudkah kemakmuran dan kesejahteraan pada rakyat Indonesia? Oleh sebab itu batalkan kenaikan pajak 12 persen ini dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) agar ketetapan perihal kenaikan PPN 12 persen yang termaktub dalam Undang-undang Nomor 7 Tahun 2021 atau UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) dapat dibatalkan. Masih ada kurun waktu satu bulan untuk membatalkan. Pemerintah masih dapat menerbitkan perppu karena tentu hanya dengan membutuhkan persetujuan dari pak Presiden Prabowo Subianto, demi untuk menyelamatkan perekonomian agar daya beli masyarakat tidak semakin melemah dan minimalisir kondisi darurat bagi ekonomi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun