Mohon tunggu...
Wilaga Azman Kharis
Wilaga Azman Kharis Mohon Tunggu... -

mahasiswa semester 5 minat menulis dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Inlander-inlander (Saya Pengkhianat)

8 September 2011   15:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:08 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

tapi kemudian logam-logam itu mencicit. ada tangan-tangan tak berwarna yang pongah mencuili mereka--itu yang mereka lakukan pada banyak dunia beberapa ratus terakhir. pada bongkah kekayaan negeri khatulistiwa. baik yang di sini, maupun di balik sana. dan mereka memborongnya sebanyak sembilan puluh sembilan potong, yang satu potongnya dicudahkan kepada jenderal-jenderal sekelas hewan ternak dicocok hidung--yang penting mereka senang kemudian diam dalam bodohnya.

uang di negeri ini, negeri khatulistiwa jadi seperti kertas fotokopi. hambur-hambur tak berguna. rinting receh ya, jadi seperti bulir ingus: penyakit. makin ditumpuk hari makin tinggi itu harga yang tercantum, tapi makin dipandang sebelah mata harga sebenarnya. sampah. karena yang tertumpuk di negeri timur di negeri ini tinggal sampah. sampah dan kotoran dari kulit-kulit tak berwarna. dan kami, ya, saya, kamu, tetangga-tetangga kanan dan kiri, diberangus menjadi inlander-inlander yang sok. sok mudah dibodohi. oleh satu rantang paket pendidikan. oleh satu kemasan ideologi yang disusup-susupkan menjadi kebiasaan-kebiasaan: gaya hidup, pemikiran. inlander-inlander yang hanya berjalan merapat. ketika mereka yang dibarat berjalan cepat, inlander juga ikut-ikutan berjalan cepat, padahal direncanakan untuk dijatuhkan.

dijatuhkan di kemudian hari.

saya meminjam petuah dari Bapak Indonesia, Ir. Soekarno,

"kami tidak mengikuti konsepsi liberal ataupun konsepsi komunis. Apa gunanya? Dari pengalaman kami sendiri dan sejarah kami sendiri, timbullah sesuatu yang lain, sesuatu yang lebih sesuai, sesuatu yang lebih cocok."

dan juga perilaku Bapak Indonesia yang lain, Bung Hatta, yang sekolah di negeri Belanda, tapi tidak mau menjadi seorang Belanda, yang bermental dan berperilaku melebihi orang Belanda.

sekaligus meminjam pemikiran saya yang lapuk, yang berpendapat seorang pemikir bersar, filsuf panutan bisa juga berkata salah,

agama bukan candu! candu adalah politik, uang, dan kekuasaan. (Wilaga, 2011)

ditulis oleh seorang inlander pengkhianat--karena saya tidak mau disebut inlander. saya adalah tuan rumah.

yang sama sekali tidak mau berjalan beriringan merapat

dengan blok-blok timur, maupun barat.

Bogor, Agustus 2011

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun