Mohon tunggu...
Wikan Widyastari
Wikan Widyastari Mohon Tunggu... Wiraswasta - An ordinary mom of 3

Ibu biasa yang bangga dengan 3 anaknya. Suka membaca, menulis,nonton film, berkebun.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Merdeka Belajar Mengembangkan Kemampuan Memimpin dan Disiplin Diri

21 Maret 2023   14:22 Diperbarui: 21 Maret 2023   14:37 241
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pandemi covid yang berlangsung kurang lebih 2 tahun, telah menutup semua pintu sekolah. Anak-anak yang tadinya tiap pagi berangkat ke sekolah, belajar dan bermain, bersosialisasi dengan teman-temannya, selama dua tahun, hanya terkurung di rumah, tanpa kegiatan yang yang cukup untuk mendukung perkembangan kedewasaan mereka. Sedemikian parahnya kondisi ini, sehingga sampai keluar istilah kaum rebahan.

Sekolah Anak Usia Dini pun tak luput dari persoalan ini. Banyak sekolah anak usia dini yang tutup, orangtua takut menyekolahkan anaknya, sehingga anak -anak hanya dikurung di rumah. 

Jika orangtua cukup kreatif dan punya waktu, mereka akan menciptakan kegiatan dan memfasilitasi anak- anak agar tetap belajar dan bermain di rumah, membiasakan pola hidup yang baik dan sehat, menstimulasi seluruh kebutuhan untuk perkembangan mereka.

Tapi jika orangtua sibuk dengan pekerjaannya, pulang larut malam, tak ada waktu untuk berinteraksi dengan anak, maka interaksi  anak -anak hanyalah dengan HP atau TV. Tak ada interaksi yang cukup significant antara orangtua dan anak. Dan apa yang terjadi setelah covid berlalu? 

Ketika sekolah sekolah mulai dibuka, ternyata terjadi ledakan anak- anak dengan kasus speech delay. 20 anak Indonesia mengalami speech delay setelah pandemi covid berlalu. (sumber : https://lifestyle.bisnis.com/read/20220520/106/1535165/darurat-speech-delay-20-persen-anak-ri-alami-terlambat-bicara)

Sekolah kami setelah pandemi berlalu, menerima anak dengan kondisi speech delay 3 orang, sebenarnya masih banyak lagi yang mau mendaftar, namun karena usia sudah lebih dari 7 tahun, kami tak bisa menerimanya. 

Bayangkan, ada yang sudah berusia 8 tahun belum mampu bicara dan berkomunikasi. Murid yang kami terima berusia mulai 2 tahun dan belum bisa bicara sama sekali. 

Selain speech delay, juga tidak bereaksi ketika dipanggil, sehingga sering keliru dikira autis. Anak - anak dengan gangguan emosi juga banyak. Anak- anak yang lahir di era covid, yang menghabiskan tahun tahun pertama kehidupannya di rumah saja, dalam pelukan ibunya, tanpa interaksi dengan orang lain, juga memiliki kencenderungan masalah emosi. 

Anak- anak ini biasanya mudah ngamuk, lebih egois, mudah memukul, dan belum mengerti arti hak milik. Jadi dia mengambil barang apapun, milik siapapun (terutama makanan dan mainan) jika dilarang dia akan mengamuk dan memukul. Bagi anak yang lebih besar, usia TK, mengajak  mereka untuk kembali bersekolah juga bukan perkara yang mudah. Selama 2 tahun mereka hanya di rumah, bangun tidur sesuka hati, kegiatannya hanya menonton tv, main hp, lalu tetiba covid berlalu, mereka dipaksa bangun pagi, mandi dan berangkat sekolah, Mereka harus siap dengan perubahan pola hidup yang baru. Bangun lebih pagi, berangkat sekolah, tak bisa tidur dan bermain  sesuka hati.

Untuk mengembalikan anak anak agar kembali bersemangat sekolah, bersemangat menerima hal hal baru, ilmu ilmu baru, juga bukan hal yang mudah. 

Diperlukan pemahaman yang cukup besar terhadap permasalahan yang dihadapi anak anak, kebutuhan mereka, dan apa yang akan membuat mereka kembali bersemangat belajar, dan bermain di sekolah. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun