Sekolah merupakan tempat kedua setelah rumah, di mana siswa menggunakan waktunya selama setidaknya 8 jam dalam sehari. Sekolah merupakan tempat menimba ilmu, mengembangkan diri dan pembentukkan karakter siswa. Â Oleh sebab itu sekolah berkewajiban untuk menciptakan tempat yang nyaman, tenang dan kondusif baik secara fisik dan mental.
Tidak hanya sekolah umum, sekolah berasrama juga dituntut untuk menciptakan lingkungan asrama yang ramah, yang membuat betah para siswa-siswi. Rata-rata untuk sekolah berasrama, para siswa berasal dari luar kota bahkan ada yang dari luar pulau. Â
Ketika putri saya berkeinginan untuk menimba ilmu ke sekolah berasrama keluar kota Yogayakarta --yang hingga kini kota Yogyakarta masih dengan julukan kota pelajar--. Yaitu tepatnya di pondok pesantren Muhammadiyah Boarding School (MBS) Klaten. Banyak hal-hal negatif yang mampir di benak saya, mengingat banyak kasus tentang kekerasan yang terjadi di dalam pondok. Bahkan kekerasan yang berimbas pada hilangnya nyawa santri. Seperti kasus kekerasan yang belum lama terjadi yaitu di Pondok Pesantren Darussalam Gontor I, hilangnya nyawa santri AM (17) pada 22 Agustus 2022 yang merupakan santri dari Palembang.
Sebagai orang tua, merupakan kebanggaan tersendiri mengetahui anaknya ingin menuntut ilmu ke sekolah yang diidam-idamkan. Beragam upaya dan doa dilakukan demi sang buah hati. Berbagai harapan tertumpu pada anak agar keinginan dan cita-cita tercapai. Namun kenyataan berkata lain, bahkan bertolak belakang dengan doa dan harapan-harapan yang sebelumnya tertata rapi dalam doa seorang ibu.
Semestinya, pihak sekolah menciptakan lingkungan pondok seperti rumah sendiri di mana para santri bebas berteman tanpa ada rasa takut dengan senior. Tidak jarang keberadaan senior membuat ketakutan tersendiri bagi para santri baru. Mengingat, para senior adalah yang lebih tua dan tau seluk-beluk tentang lingkungan sekolah.
Ketika putri saya berkeputusan untuk tetap ingin menimba ilmu di luar kota, sama halnya seperti pindah rumah. Membawa kasur, bantal, selimut, lemari kain, beserta peralatan mandi dan stok makanan ringan beserta minuman.
Sesuai dengan peraturan, bahwa para santri tidak diperkenankan untuk membawa hp. Hal ini agar para santri dapat fokus dengan pelajaran dan semua kegiatan pondok pesantren. Adapun jika ada hal-hal urgent seperti stok peralatan mandi dan stok makanan ringan habis, para santri diijinkan untuk menulis pesan di secarik kertas kemudian diberikan kepada pengasuh. Dan pengasuh menyampaikan kepada orang tua atau wali murid.Â
Sebagai seorang ibu, perasaan khawatir tentu selalu ada. Khawatir jika anak sakit, khawatir anak mendapat perundungan, khawatir jika anak kelaparan dan sebagainya. Dalam tahun pertama, putri saya sakit demam. Dari pihak pondok sendiri tidak serta merta memberikan pertolongan dokter hanya diberi obat warung sebagai penahan sakit saja.
Sekolah berasrama selalu rentan dengan tindak kekerasan baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual. Kasus kekerasan sendiri tidak memandang gender. Tidak hanya terjadi pada santriwan. Seperti kasus pencabulan beberapa bulan lalu yang terjadi di pondok pesantren Siddiqiyah Ploso Jombang, yang justru pelakunya adalah anak dari pemilik pondok pesantren sendiri yaitu Moch Subchi Al Tsani yang lebih kerennya dengan panggilan Mas Bechi. Bahkan penangkapannya berlangsung secara dragmatis.
Sebagai orang tua yang menaruh harapan besar pada anak agar kelak dapat meraih impiannya, ketika mengetahui bahwa anaknya menjadi korban pemerkosaan tentu terpukul, kecewa dan marah. Bagaimana tidak? Anak jauh-jauh dititipkan untuk mencari ilmu malah justru mendapatkan masa depan yang suram. Sungguh miris.
Bersyukur ke hadirat Tuhan putri saya selamat dari kekerasan khususnya selamat dari keganasan predator seks, yang hingga kini tulisan ini saya buat, belum ada kasus kekerasan seksual yang terjadi di pondok pesantren MBS Klaten.