Sesuai dengan perkiraan saya, akhirnya Anas Urbaningrum ditahan oleh KPK pada “Jumat keramat”, 10 Januari 2014. Anas, mantan Ketua Umum PB HMI, mantan anggota KPU dan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, dituduh terlibat suap di proyek Hambalang oleh Muhammad Nazaruddin , mantan Bendahara Umum Partai Demokrat yang saat ini sudah divonis dan mendekam dalam tahanan khusus para koruptor di penjara Sukamiskin, Bandung.
Perjalanan karir politik Anas --“adik kelas” saya di HMI-- memang tidak semulus para seniornya, seperti Ridwan Saidi, Akbar Tanjung, ataupun Abdullah Hehamahua. Ridwan, sempat menjadi anggota DPR RI dari PPP beberapa periode, dan saat ini dikenal sebagai tokoh budayawan Betawi. Akbar, menjadi Ketua KNPI, lalu sempat menjadi menteri, dan “hampit tersangkut” dalam “kasus Bulog”. Akbar dipercaya menjadi Ketua Umum Partai Golkar dan saat ini menjadi Dewan Pertimbangan Partai warisan orde baru itu. Sedangkan Abdullah Hehamahua tercatat sebagai penasehat KPK sejak beberapa tahun lalu.
Namun sebagaimana yang dinyatakan Anas ketika tahun lalu ditetapkan sebagai tersangka KPK, bahwa ini baru permulaan, ini baru halaman pertama. Kita berharap Anas akan membuka “halaman-halaman” berikutnya, sehingga publik tahu bagaimana fakta yang sebenarnya, apa yang terjadi dalam kasus proyek Hambalang, yang hingga saat ini terlantar, dan kemungkinan besar tidak dapat dimanfaatkan sebagai sarana pembinaan olah raga nasional. Apakah pembentukan ormas PPI (Perhimpunan Pergerakan Indonesia) oleh Anas merupakan salah satu upaya untuk membuka “halaman berikutnya”, atau hanya sekedar untuk membentuk opini masyarakat bahwa dia tidak terlibat korupsi sama sekali ?
Apa pun ceritanya, tudingan Nazaruddin kepada sesama kader [atau mantan kader] Partai Demokrat merupakan pil pahit bagi partai yang didirikan SBY itu. Malah menurut survey yang dirilis Litbang KOMPAS, elektabilitas partai itu cendrung menurun sejak setahun terakhir. Ada analisa yang menyatakan bahwa tahun lalu, gara-gara tuduhan terhadap Anas –yang ketika itu masih sebagai Ketua Umum Parta Demokrat—elektabiltas Partai Demokrat semakin turun. Lalu dari Arab Saudi, SBY memohon kepada KPK agar segera memastikan apakah Anas bersalah atau tidak. Tak lama sesudah itu ada kasus “bocornya sprindik Anas”. Lalu SBY mengundang para pengurus partai itu untuk menandatangani ‘pakta integritas’, dimana salah satu pernyataan berbunyi “akan mengundurkan diri dari pengurus partai apabila dinyatakan sebagai tersangka”. Hanya selang seminggu setelah itu, Anas dinyatakan sebagai tersangka oleh KPK. Keesokan harinya Anas menyatakan mundur dari jabatannya sebagai Ketua Umum Partai Demokrat. Itu kejadiannya Februari 2013.
Namun setelah Anas mudur –dan Ketua Umum Partai Demokrat diambil alih oleh SBY—elektabilitas partai bukannya meningkat, malahan semakin anjlok. Entah kenapa KPK butuh jarak waktu yang sangat lama memeriksa Anas setelah dinyatakan sebagai tersangka (hampir setahun). Alasan Ketua KPK Abraham Samad bahwa Rumah Tahanan Guntur saat ini sedang penuh, sangat tidak masuk akal. Berbeda dengan kasus suap impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq. Presiden Partai Keadilan Sejahtera. Begitu si-Olong tertangkap tangan menerima uang di sebuah hotel –katanya uang itu titipan dari importir daging untuk Luthfi, maka malam itu juga Luthfi langsung dicicuk KPK.
Untuk Anas, KPK perlu waktu 10 bulan lebih mencari saksi dan mengumpulkan bukti yang kuat untuk menahan Anas pada 10 Januari 2014 kemarin. Adakah rekayasa dalam hal ini ? Atau selama ini KPK memang tidak punya cukup bukti dan saksi ? Wallahu a’lam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H