Beberapa waktu lalu, Menteri Perekonomian Hatta Rajasa menerima penghargaan kehormatan berupa Gwanghwa Medal dari pemerintah Korea Selatan. Gwanghwa Medal merupakan bentuk apresiasi pemerintah Korea Selatan terhadap perekonomian Indonesia. Pemerintah Korea Selatan menilai Hatta berjasa dalam meningkatkan kerjasama ekonomi kedua negara.
Sebagaimana diketahui kerjasama ekonomi antara Indonesia dan Korea Selatan juga menunjukkan peningkatan pesat selama beberapa tahun terakhir. Total perdagangan Indonesia-Korea Selatan pada tahun 2011 mencapai US$29,4 miliar dollar dengan nilai ekspor US$16,4 miliar dan impor US$12,9 miliar. Angka itu mengalami peningkatan 44,8 persen dibandingkan dengan total perdagangan pada tahun 2010 sebesar US$20,3 miliar.
Selama periode Januari-April 2012, total perdagangan kedua negara mencapai US$9,8 miliar atau naik 12,17% dibandingkan dengan periode yang sama pada tahun 2011, yaitu US$8,8 miliar. Trend total perdagangan kedua negara selama tahun 2007-2011 positif sebesar 25,11%.
Di tahun 2012, tren positif kerjasama Indonesia dan Korea Selatan berlanjut dengan tercapainya kesepakatan Korea-Indonesia Jeju Initiative saat rombongan delegasi Indonesia melakukan pertemuan dengan sejumlah pejabat pemerintahan bidang ekonomi dan para pelaku bisnis negeri gingseng awal Oktober lalu.
Melalui Korea-Indonesia Jeju Initiative disepakati delapan proyek hasil inisiatif kedua negara. Delapan proyek itu adalah jembatan Selat Sunda, proyek gas alam terkompresi (compressed natural gas/CNG), pembangunan rel kereta api Bengkulu-Muara Enim, restorasi Sungai Ciliwung, pembangunan kluster industri berbasis pertanian, pembangunan jembatan Batam-Bintan, pembangunan pembangkit batu bara di Sumatera Selatan, dan pembangunan kantor cabang perusahaan kapal asal Korea Selatan Daewoo Shipbuilding and Marine Engineering (DSME). Total nilai delapan proyek itu sebesar US$50 miliar.
Kunjungan itu merupakan bagian dari rangkaian tur Asia Timur tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu II dalam rangka mencari sumber-sumber pendanaan bagi MP3EI. Sebelum melakukan kunjungan ke Korea Selatan, rombongan delegasi Indonesia terlebih dahulu melakukan kunjungan ke Jepang.
Tidak dapat dimungkiri, Korea Selatan bersama Jepang telah sejak lama dikenal sebagai negara yang memiliki minat sangat serius dalam melakukan investasi di Indonesia. Kedua macan Asia itu seakan tidak sabar untuk segera menanamkan investasi mereka di Indonesia.
Sebagai ilustrasi, Jepang akan merencanakan gelombang ketiga investasi (the third wave investment) ke Indonesia. Setelah era 1970-an dan 1990-an Jepang menanamkan modal secara massif. Kali ini diperkirakan ada Rp410 triliun yang akan digelontorkan Jepang hingga tahun 2020 dengan 45 proyek prioritas.
Tiga Faktor
Ketertarikan dua macan Asia untuk melakukan investasi secar tidak langsung menunjukkan posisi penting Indonesia sebagai negara baru tujuan utama investasi dunia. Mengapa Korea Selatan dan Jepang memandang Indonesia sedemikian penting?
Paling tidak ada tiga faktor pendorong di balik ketertarikan Korea Selatan dan Jepang untuk melakukan investasi di Indonesia. Pertama, pertumbuhan ekonomi Indonesia terus meningkat di tengah awan kelabu krisis global yang melanda langit sebagian besar negara di Eropa dan Amerika Serikat. Pertumbuhan ekonomi Indonesia dari tahun ke tahun menunjukkan peningkatan. Rata-rata pertumbuhan ekonomi pada kurun waktu 2010-2014 sebesar 6,3-6,8%.
Target pertumbuhan ekonomi dalam Rancangan Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014 adalah pertumbuhan ekonomi minimal mencapai 7% pada tahun 2014. Kebutuhan terhadap pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan berkelanjutan akan mendorong Indonesia menjadi negara 10 besar ekonomi dunia pada tahun 2025 dan enam besar perekonomian terbesar dunia tahun 2050.
Kedua, produk domestik bruto Indonesia tahun 2010 yang telah menembus US$ 700 miliar. Angka itu menunjukkan pendapatan per kapita telah mencapai US$ 3.000 per tahun. Diperkirakan pada tahun 2025 produk domestik bruto indonesia telah berada di kisaran US$ 4 triliun sehingga masuk dalam negara dengan penduduk berpenghasilan tinggi dengan pendapatan per kapita sebesar US$ 14.250 sampai US$ 15.500.
Ketiga, pertumbuhan menjanjikan kelas konsumen Indonesia. Belum lama ini, lembaga konsultan McKinsey Global Institute merilis laporan bertajuk “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential.” Melalui laporan itu, McKinsey Global Institute memperkirakan kelas konsumen Indonesia tumbuh menjadi 135 juta orang di tahun 2030 dari 45 juta orang pada tahun 2010.
Lebih dari itu, McKinsey Global Institute memprediksi pertumbuhan kelas konsumen Indonesia yang sangat cepat itu akan mendorong akselerasi perekonomian Indonesia sehingga dapat menempati posisi tujuh besar kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2030 mendatang mengalahkan Jerman dan Inggris. McKinsey Global Institute mengkategorikan kelas konsumen sebagai penduduk dengan pendapatan per kapita lebih besar atau sama dengan US$3600 per tahun.
Hambatan
Meskipun demikian, jalan Indonesia menuju negara baru tujuan utama investasi dunia bukan lantas tanpa hambatan sama sekali. Harus diakui persoalan ketersediaan infrastruktur memadai kerap kali menjadi batu sandungan bagi realisasi target investasi. Hambatan-hambatan infrastruktur ditenggrai sebagai salah satu sebab utama munculnya ekonomi biaya tinggi (high cost economy).
Hambatan infrastruktur akan menjadi kendala besar bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Jika infrastruktur suatu negara tidak memadai, maka kegiatan investasi serta arus barang dan jasa otomatis akan turut mengalami gangguan. Bukan tidak mungkin persoalan infrastruktur akan mengandaskan ambisi bangsa Indonesia untuk menjadi negara baru tujuan utama investasi dunia.
Tantangan berikutnya adalah bagaimana mengatasi perilaku birokrasi dalam mengkoordinasi pembangunan, baik diantara internal pemerintahan maupun pusat dengan daerah. Misalnya pada saat ini banyak rencana pembangunan jalan-jalan tol yang macet bertahun-tahun, karena tidak ada kerjasama yang baik didalam pembebasan lahan diantara instansi terkait.
Padahal dengan terbangunnya jalan-jalan tol dimaksud, maka akan memperlancar barang dan jasa untuk ekspor dan impor, baik melalui bandara udara maupun pelabuhan laut, sehingga akan berdampak positif terhadap perkembangan investasi di Indonesia.
Kalau Indonesia sudah berhasil mengatasi tantangan diatas, yaitu pemberantasan korupsi dan merubah perilaku birokrasi menjadi lebih efisien, bersifat melayani, dan mampunn mensinergikan instansi terkait untuk mendukung pembangunan, maka penulis yakin Indonesia tidak perlu menunggu sampai tahun 2030 untuk bisa berdiri sejajar dengan bangsa- bangsa maju lainnya.**
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H