Setelah hari perpisahan kemarin, aku sempat membenci beberapa hal kecil tentangmu: buku, contohnya.
Ada rasa enggan setiap kali aku menatapnya. Setiap kali aku memperhatikan deretan hurufnya, bayangmu terpatri jelas di sana. Senyummu yang manis, tatapanmu yang teduh, dan genggaman tanganmu yang menenangkan semuanya terlihat di sana.
Kau tahu? aku sempat berhenti membaca untuk beberapa waktu, menutup rapat semua buku-buku yang terpampang rapih di rak dengan kain putih yang ku punya. Demi apa? demi bisa mengenyahkanmu dari sudut pikiran, mata, dan hatiku.
Namun, aku sadar bahwa atraksi demikian malah lebih merugikan diri sendiri. Aku menjadi gagap beropini, tidak ada pemikiran cemerlang seperti sebelumnya. Tidak ada lagi pertanyaaan-pertanyaan yang selalu menuntut jawab setiap kali aku seusai membaca. Tidak ada lagi rasa penasaran akan hal baru seperti sebelumnya.
Dan pada akhirnya aku memilih bangkit dari segenap keterpurukan yang ada. Berusaha fokus kembali dengan sekuat tenaga yang aku bisa. Meski bayangmu selalu ada di setiap aku menatap kata dari aksara yang ku baca. Dari setiap susunan buku yang tertata rapih di rak. Sampai pada akhirnya aku bisa mengenyahkan segalanya.
Memang. Membaca buku tanpa didampingi olehmu tak semenyenangkan dulu, tapi seperti yang kita tahu bahwa hidup ini akan terus berputar meski kekosongan yang aku rasakan memang nyata adanya. Dan aku harus belajar melepas segala ketergantunganku padamu. Kemudian bangkit.
Jika kemarin aku nelangsa ketika menatap buku, tapi kali ini aku lega. Dan dari ini aku bisa belajar bahwa cinta bukan hanya tentang apa yang bisa mendebarkan dada, tapi tentang bagaimana berdamai dengan perpisahan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H