[caption caption="Belajar TIK di SMP Labschool Jakarta"][/caption]Fenomena pendidikan karakter mengumandangkan resonansinya di setiap alam ide praktisi pendidikan, mulai dari penatar konsep hingga penatar praktik. Penulis berharap, konsep pendidikan seperti ini dapat dinikmati oleh seluruh institusi pendidikan di Indonesia, sehingga jelas evaluasinya pada saat berbenturan dengan kelemahannya. Kita akan temukan generasi baru yang santun berbahasa, dan berbudaya. Itulah mengapa kita harus mendidik insan berkarakter melalui Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Tapi sayang kurikulum 2013 justru menghapus mata pelajaran ini dan diganti dengan Prakarya. mata pelajaran baru yang belum ada sarjananya di perguruan tinggi manapun di dunia.
Pendidikan sangat diperlukan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa. Dengan pendidikan bangsa ini akan cerdas dalam berpikir, dan bijak dalam bertindak. Agar cerdas dalam berpikir, dan bertindak diperlukan pendidikan budaya dan karakter. Dengan begitu moral dan agama mereka akan terjaga dalam pohon pendidikan. Dalam pohon pendidikan itu, Prof Arief Rachman menyampaikan kepada kami guru di Labschool Jakarta : “akan terlihat mereka berakar moral dan agama, berbatang ilmu pengetahuan, beranting amal perbuatan, berdaun tali silaturahim, dan berbuah kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah hasil dari sebuah pendidikan yang berbudaya”.
Budaya adalah hasil karsa, dan karya manusia yang dapat dinikmati dan dihargai. Dia tumbuh dalam kearifan lokal masyarakat kita. Sedangkan karakter adalah perangai atau tingkah laku yang menjadi watak manusia dalam berinteraksi kepada sesama. Oleh karena itu pendidikan budaya dan karakter harus diberikan kepada para generasi muda yang telah melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Generasi muda yang bukan hanya cerdas OTAK saja, tetapi juga WATAK. Generasi ini biasa disebut C-Generation. Mereka memerlukan banyak banyak pemandu atau guru TIK agar mampu menjadi pemain di bidang TIK.
Aktivitas belajar C-Generation terlahir dari dunia digital yang terus berkembang. Oleh karena itu para penduduknya disebut digital native. Dalam penduduk digital native, aktivitas belajar C-Generation tidak lagi menggunakan cara-cara konvensional. Mereka sudah terbiasa dengan cara-cara modern yang mengikuti perkembangan teknologi web 3.0 yang sebentar lagi akan kita gunakan di negeri ini. Belajar tidak lagi di dalam kelas, dan bertatap muka secara langsung, tetapi bisa dimana saja, dan kapan saja. Di sinilah diperlukan pendidikan budaya dan karakter. Dengan begitu etika atau budi pekerti tetap terjaga. Mereka tetap mampu berbahasa dengan baik sebagai alat penyampaian pesan. Mereka yang terdidik TIK dengan baik, pastilah akan mampu memanfaatkan TIK sebagai sumber belajar dan alat bantu pembelajaran.
Pendidikan budaya dan karakter diberikan dengan cara-cara alamiah. Dia tumbuh dari generasi yang telah melek TIK. Diperlukan peran TIK yang begitu besar dalam proses pembelajarannya sehingga budaya, dan karakter itu berubah menjadi cara-cara ilmiah yang membuat para pendidik atau guru tak bisa lepas dari 5K. Konvergensi, Kontekstual, Kolaborasi, Konektivitas, dan Konten kreatif jelas akan menguasai dunia di abad 21 ini. Suka atau tidak suka, sebagai bangsa yang berbudaya kita harus mengikutinya. Di sinilah peran guru TIK dalam menanamkan karakter kkepada peserta didiknya, sehingga mata pelajaran TIK masih sangat dibutuhkan di era pembelajaran abad ke-21 ini. TIK tidak bisa diberikan kepada guru mata pelajaran lainnya, karena pasti tidak jalan. Kami sudah membuktikannya dari berbagai hasil penelitian.
Arus deras 5K akan dihadapi oleh kita yang mendapat julukan “digital imigran”(pendatang baru dalam dunia digital). Kita harus belajar teknologi menuju masyarakat berpengetahuan. Dibutuhkan pendidikan budaya dan karakter unggul untuk menghadapinya. Kita pun harus belajar sepanjang hayat. Sayangnya, tak semua pengajar atau pendidik mau terus belajar, sehingga banyak pendidik yang belum melek TIK. Padahal dalam dunia TIK diperlukan banyak sekali PEMANDU agar generasi muda kita tak meninggalkan budaya dan karakter bangsa. Mereka tak bisa menulis seenaknya di media sosial, dan harus mampu berpikir sebelum memposting sebuah artikel ke internet.
TIK begitu cepat sekali perkembangannya, dan telah membuat sendi-sendi kehidupan masyarakat terpengaruh karenanya. Semua hal yang bersangkut paut dengan hajat hidup orang banyak akan menggunakan TIK untuk memudahkannya. TIK menjadi sebuah alat bantu manusia yang terus menerus melayani manusia dari mulai bangun tidur hingga mau tertidur lagi. Banyak orang menjadi tergantung karenanya. Orang akan merasa ada yang hilang dalam dirinya bila ponsel atau gadget yang dimilikinya tertinggal di rumah. Budaya dan karakter manusia lambat laun dipengaruhi oleh kemajuan TIK ini. Banyak orang yang tak bisa lepas dari smartphone kesayangannya.
Menurut pakar internet Dr. Onno W. Purbo, Pemanfaatan TIK yang paling tepat filosofi-nya sederhana, yaitu:
- Guru harus menjadi produsen, dan menghasilkan sesuatu
Para pendidik diharapkan mampu mendorong peserta didiknya untuk mampu menjadi penghasil pengetahuan baru atau informasi baru, dengan begitu bangsa ini tak melulu menjadi bangsa pemakai atau bangsa yang hanya mengekor informasi dari Negara lain yang sudah berkembang teknologinya. Oleh karenanya, kemampuan menulis sebagai salah satu keterampilan berbahasa harus terus diajarkan di sekolah-sekolah kita. Pembelajaran bahasa tak hanya melulu soal teori, tetapi merupakan aplikasi nyata yang diharapkan dari hasil membaca. Mereka yang rajin membaca, biasanya akan mampu menulis dengan baik.
- Guru harus menghasilkan sesuatu yang cocok dengan kebutuhan pembaca/masyarakat
Para pendidik juga dituntut untuk menghasilkan sesuatu karya tulis ilmiah (KTI) yang hasilnya sangat dibutuhkan oleh masyarakat, khususnya masyarakat berpengetahuan yang sangat haus akan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Namun, untuk bisa mencapai 2 hal tersebut di atas, para pendidik dan peserta didik harus:
- Menjadi konsumen yang baik, banyak membaca, kritis terhadap yang dibaca (wawasan luas), dan terus belajar dari orang lain yang berilmu pengetahuan. Jadilah pelopor dan bukan pengekor.
- Harus banyak berdiskusi hal-hal baru (sensitif terhadap kebutuhan pembaca / masyarakat), sehingga hasilnya nyata dirasakan oleh masyarakat Indonesia.