Sebagai seorang guru, saya sudah harus siap apapun kurikulumnya. Tak boleh menolak, dan harus menjalankan kurikulum itu dengan baik sesuai dengan kehendak pemerintah. Kami di kelas harus mampu menterjemahkan kurikulum menjadi mata pelajaran yang menarik perhatian peserta didik. Masalah metode pembelajaran, silahkan dicoba sendiri kalau ingin menjadi guru kreatif. Pemerintah seolah lepas tangan dalam pelatihan guru.
Pergantian kurikulum sudah sering kami alami. Tapi intinya tak pernah jauh beda. Kami menjalankannya sesuai dengan petunjuk yang sudah diberikan oleh penatar yang ahli dalam bidangnya. Namun, tak satupun metode baru diberikan dan dilatihkan kepada kami. Padahal ini yang jauh lebih penting. Kami harus memperbaiki cara mengajar kami. Berbagai metode pembelajaran baru harus kami ketahui dan praktikkan dalam pembelajaran di kelas.
Kurikulum memang terus berganti seiring dengan perkembangan jaman. Apalagi sekarang ini 4 generasi sudah bertemu dalam menggapai ilmu. Hal itulah yang dituliskan oleh Rhenald Kasali di koran Kompas, Guru dan Perubahan.
Kami memang harus mengikuti perubahan. Sayangnya, perubahan itu tak diikuti dengan teman-teman dosen di perguruan tinggi, khususnya lembaga pencetak tenaga guru. Bisa dilihat dari produknya, guru semakin banyak yang menjadi sarjana, tapi kualitas mengajarnya semakin menurun. Silahkan lakukan penelitian untuk hal ini.
Bagi kami, apapun kurikulumnya tak menjadi persoalan. Sebab, apapun kurikulumnya, guru kreatif dan profesional kuncinya. Guru dapat mengembangkan metode pembelajaran terkini, dan pembelajaranpun menjadi semakin menyenangkan peserta didik, dan pendidik.
Kurikulum 2013 sebentar lagi akan bergulir. Lagi-lagi kami harus siap menghadapinya. Tetapi kali ini kami tak mau begitu saja menerima. Sebab masih terlihat kurikulum baru itu dibuat tergesa-gesa. Kami dipaksa harus mengikuti kurikulum baru ini. Kami tak diminta pertimbangan dan masukannya. Kami seperti kerbau yang dicucuk hidungnya. Suka atau tidak suka terima saja. Kami seperti buruh pabrik yang sudah harus siap memproduksi barang dengan target yang sudah ditentukan oleh perusahaan.
Ketika guru tak bersatu dan hanya menjadi obyek penderita, maka kita akan terus menerus mendapatkan kurikulum yang tergesa-gesa dibuatnya. Kurikulum yang dibuat oleh para dosen di perguruan tinggi yang terkadang tak mengerti persoalan di kelas. Sama halnya ketika seorang dosen memaparkan tentang teori pembelajaran. Sedangkan dosen tersebut tak pernah mempraktikkannya dalam pembelajarannya. Cuma omong doang katanya.
Kurikulum baru itu dibuat tergesa-gesa. Tak ada perwakilan guru diminta pendapatnya. Bahkan organisasi guru sebesar PGRI pun terlewatkan. Apalagi organisasi guru lainnya seperti IGI yang masih terus berjuang membangun organisasi guru dengan tujuan meningkatkan mutu guru.
Sudah saatnya kita sebagai guru untuk kritis menerima perubahan. Bukan menolak, tapi mengkritisi agar kebijakan yang diputuskan berdampak positif buat anak bangsa. Anggaran negara 2,4 Trilyun jangan sampai dikorupsi dan tak tepat sasaran. Inilah kurikulum termahal sepanjang sejarah pendidikan di Indonesia.
Masihkah kita para guru hanya berdiam diri saja menyaksikan kurikulum yang dibaut tergesa-gesa? Dimana nalar kita? Dimana kreativitas dan imajinasi yang kita ajarkan setiap hari kepada peserta didik kita?
[caption id="attachment_228492" align="aligncenter" width="533" caption="Sumber Foto: SDN RSBI 12 Rawamangun Jakarta Timur"][/caption]