[caption id="" align="aligncenter" width="448" caption="http://wijayalabs.blogdetik.com/files/2011/05/img_0317.jpg"][/caption]
Ketika banyak guru melek internet ada perasaan bangga di dalam hati. Setidaknya sudah semakin banyak guru yang akan menjadi pemandu. Pemandu bagi para peserta didiknya. Setidaknya, guru dapat memperhatikan peserta didiknya yang sedang online, dan mengarahkannya ke arah yang positif.
Namun dibalik kebanggaan ada tersembul pula kecemasan. Sebab internet itu seperti pisau bermata dua. Kita pun akan masuk dalam hutan belantara dunia maya yang selalu dinamis dan tak pernah tidur. Online 24 jam melayani manusia di seluruh dunia. Masalahnya, tak semua informasi itu baik dibaca oleh guru dan peserta didik.
Ketika guru melek internet segera bergabunglah dengan berbagai milis yang menyehatkan. Budaya baca harus digiatkan agar guru banyak tahu perkembangan yang terjadi saat ini. Tak mungkin guru hanya mengajar dengan materi yang itu-itu saja. Dengan rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang itu-itu pula. Tanpa jobsheet dan handout yang dibuat guru itu sendiri. Bila guru mampu membuat sendiri, silabus yang dibuatpun menjadi menarik dan dinamis.
Ketika guru melek internet dia harus berubah dari pencari informasi menjadi pencipta informasi. Guru harus jadi produsen bagi peserta didiknya. Guru harus mampu membuat konten-konten edukasi dan memerangi plagiasi. Semua itu terjadi bila guru mempunyai kemampuan menulis.
Komputer dan internet itu hanya alat. Guru tak boleh bergantung penuh dengan alat itu. Justru guru harus mampu memberdayakan komputer dan internet menjadi kawan yang mampu membuat dirinya menjadi guru yang profesional dan luar biasa. Dia harus menjadi fasilitator dan motivator bagi peserta didiknya untuk mempergunakan internet secara sehat. Internet pun dapat dijadikan sarana mencari penghasilan tambahan bila para guru dibekali ilmu edupreneurship.
Saya teringat kembali dengan seorang guru di Sragen, Solo Jawa Tengah. Johan Wahyudi namanya. Beliau adalah guru bahasa Indonesia yang luar biasa. Kami pernah sekamar ketika menjadi pemenang lomba naskah buku pengayaan pusat perbukuan. Kami sama-sama menjadi juara pertama bidang keterampilan. Beliau di tingkat SMA, dan saya di tingkat SMP.
Kami pernah sekamar di hotel Anggrek Jakarta selama 3 hari. Waktu itu beliau memperhatikan saya yang sibuk mempublikasikan kegiatan kami di internet. Saya selalu membawa modem mobile dan laptop agar saya dapat selalu online dalam dunia maya. Dengan begitu apapun yang saya kerjakan dapat diketahui publik melalui facebook dan twitter. Saya pun menulis di blog pribadi yang saya miliki.
Rupanya apa yang saya lakukan menarik perhatiannya. Beliau tertarik untuk menulis di blog. Kini tulisannya seperti air yang mengalir deras di blog kompasiana. Dalam sehari bisa 3 sampai 4 artikel tercipta begitu saja. Beliaupun kini menjadi nara sumber di mana-mana. Kemampuan menulisnya sungguh luar biasa. saya salut dengan sahabat saya ini.
"Guru bahasa Indonesia itu harus bisa menulis. Sebab dia harus mengajarkan menulis kepada anak didiknya." Begitulah suatu ketika beliau bicara dengan gagahnya. Kami bertemu kembali di Jakarta ketika beliau terpilih kembali menjadi finalis pusbuk 2010. Beliaupun sempat menginap di Wisma UNJ, dekat sekolah kami.
Ketika guru melek internet, para guru harus dibekali ilmu creative writing. Menulis kreatif harus dilatihkan agar para guru menjadi produsen informasi. Guru tak melulu menerima informasi yang belum tentu benar. Sebab banyak orang iseng di internet. Guru harus selektif menerima informasi.