[caption id="attachment_21128" align="alignleft" width="300" caption="Diklat Profesi Guru di FT UNJ 2008"][/caption]
Saya agak tersulut keki ketika direktur profesi pendidik PMPTK Depdiknas RI, Drs. Ahmad Dasuki mengatakan bahwa guru profesional adalah guru yang lulus portofolio. Benarkah bahwa mereka yang lulus portofolio sertifikasi guru dalam jabatan layak disebut guru profesional? Saya akan mengatakan belum tentu, sebab terbukti di lapangan mereka yang telah dinyatakan lulus portofolio sertifikasi guru dalam jabatan tidak mengalami peningkatan kinerja. Bahkan mereka cenderung menurun dalam kinerjanya.
Lain halnya bagi guru yang lulus sertifikasi guru dengan diklat PLPG. Mereka jauh lebih siap menjadi guru profesional dibandingkan mereka yang lulus murni menggunakan portofolio. Saya dapat membuktikannya setelah saya mengikuti program PLPG yang dilaksanakan oleh FT UNJ pada 22-29 Maret 2008. Rata-rata teman-teman saya yang mengikuti PLPG itu bukan karena mereka tak memenuhi jumlah 850 point sebagai syarat kelulusan, tetapi mereka ikut PLPG dikarenakan berkas mereka hilang atau tercecer. Bahkan diantara para peserta itu ada beberapa yang sudah menjadi kepala sekolah.
Saya mengalami sendiri bagaimana berkas itu hilang dan pihak panitia sertifikasi saling tuding. Hal itu ternyata dialami juga oleh teman saya yang nyata-nyata telah mendapatkan penghargaan sebagai guru berprestasi tingkat nasional dan telah diundang pak SBY ke istana negara. Berkas teman saya pun hilang entah kemana dan oleh panitia diwajibkan mengikuti PLPG di UNJ.
Saya tak menyesal ikut PLPG, sebab saya justru merasa bangga tidak lulus sertifikasi guru dengan murni melalui portofolio. Sebab di dalam PLPG itu saya dilatih untuk menjadi guru profesional, dari mulai membuat perencanaan pelaksanaan pembelajaran (RPP) yang benar, sampai cara-cara membuat proposal penelitian tindakan kelas. Di PLPG itu pula kami diberi ilmu tentang bagaimana menyelenggarakan lesson study dan membuat proposal PTK yang baik. Melakukan instopeksi diri dengan melakukan PTK.
Dalam waktu yang hampir seminggu itu, kami di tes tentang cara mengajar kami, merasakan benar bagaimana kami mengajar dengan starategi pembelajaran yang tepat, dan diperhatikan oleh tim penilai yang merupakan para dosen dari UNJ. Bagi saya, PLPG terasa seperti refresh, mengenang dan menyegarkan kembali ilmu-ilmu yang telah kami pelajari dulu. Apalagi, secara kebetulan dosen yang mengajar PLPG adalah dosen saya sendiri ketika mengambil kuliah di S1 dulu.
Oleh karena itu, bagi teman-teman guru yang dipaksa atau terpaksa harus mengikuti PLPG semestinya harus bersyukur, karena banyak ilmu yang didapatkan di sana. Bukan saja ilmu, teman, konsumsi, akomodasi, dan juga pengganti transport pun diberikan dalam diklat PLPG itu.
Jadi, pernyataan bapak Ahmad Dasuki di atas semoga saja tidak benar dan itu diucapkan beliau untuk menyemangati para guru agar lulus murni portofolio dan segera menjadi guru profesional tanpa harus ikut diklat PLPG. Guru profesional adalah guru yang harus sabar menerima keterlambatan tunjangan profesi meski telah jelas dinyatakan lulus sertifikasi. Semoga saja, uang sertifikasi guru tidak disimpan oleh pejabat tertentu untuk memperkaya diri. Bila itu terjadi bukan hanya KPK yang akan menangkap anda, tetapi juga para guru yang mersa dirugikan karena tunjangan profesinya tertahan.
Salam Blogger Kompasiana Omjay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H