Anak kita tumbuh dalam perkembangan teknologi yang berkembang dengan cepat. Anak-anak kita berpikir dan berbicara dengan cara yang berbeda. Dalam dunia teknologi masa kini, para guru dan orang tua di ibaratkan sebagai ‘pendatang’ dalam dunia teknologi digital (Digital Immigrants) sementara para siswa atau anak-anak di zaman ini disebut sebagai para ‘penduduk asli’ di dunia digital (Digital Natives).
Siswa atau anak-anak sekarang ini berkomunikasi dengan telepon selular (melalui suara dan pesan teks singkat), E-mail, Milis, Internet Messenger dan berbagai macam blog. Saat yang sama mereka juga bersosialisasi dengan situs jejaring sosial di dunia maya seperti twitter, Google plus, my spaces, dan Facebook. Belum lagi games-games online yang bertebaran dan mengundang mereka melakukan pembelajaran yang mengundang. Mengundang mereka untuk aktif dan menang.
Dengan demikian sebuah pertanyaan besar timbul “apakah siswa dan anak-anak sebagai ‘penduduk asli di dunia digital’, harus belajar dengan cara yang lama dan ketinggalan zaman ataukah guru dan orang tua yang merupakan ‘pendatang di dunia digital’ yang harus belajar dengan cara yang baru?
Dalam tulisan ini penulis menarik benang merah bahwa sudah saatnya kita para orang tua dan guru untuk juga mengikuti perkembangan teknologi dan tidak memaksakan diri untuk mengikuti cara-cara lama. Jangan biarkan mereka sendirian tanpa ada bimbingan. Perlu ada cara-cara baru yang membuat mereka juga belajar dan memahami akan pentingnya teknologi dalam kehidupan.
Dunia orang dewasa dan dunia anak-anak jelas berbeda. Orang tua sebagai ‘pendatang’ dan anak-anak kita sebagai ‘penduduk asli’ di era cyberspace harus bertemu dalam satu pandangan bahwa teknologi digunakan untuk mempermudah pekerjaan manusia. Bukan mempersulit pekerjaan manusia.
Orang dewasa lebih menyenangi teks baru gambar, sedangkan anak-anak lebih menyenangi gambar yang berbasis multimedia baru teks. Untuk mengatasi perbedaan itu diperlukan suatu teknologi pembelajaran yang dapat menjembatani kesenjangan cara pandang. Dimana anak lebih enjoy memakai produk teknologi baru daripada orang dewasa yang masih menggunakan produk lama. Mereka anak jaman sekarang jauh lebih cepat intim dengan gadget barunya.
Jiwa labil anak-anak jelas ingin mencoba sesuatu yang baru. Karena itu sudah selayaknya kita sebagai orang tua dan guru harus dapat mengarahkan anak kepada pemanfaatan teknologi kearah yang positif. Sebab, setiap teknologi baru pasti menimbulkan dampak negatif dan positif. Handphone misalnya akan berdampak positif bila pemanfatannya sesuai dengan apa yang diharapkan. Akan tetapi akan berdampak negatif bila dipergunakan untuk menyimpan film dan gambar porno. Adalah sebuah kewajaran bila sewaktu-waktu pihak sekolah melakukan razia mendadak dan mengecek isi telepon seluler mereka.
Di sisi lain, kemajuan teknologi seperti internet saat ini harus dapat dijadikan surganya orang belajar. Muatan IMTAK (Keimanan dan Ketakwaan) harus juga ditanamkan sehingga anak-anak kita mampu membedakan mana yang pantas dan mana yang tidak pantas dalam mengarungi belantara internet yang online 24 jam.
Mereka sudah terlanjur mengganggap kalau internet itu adalah guru yang tak pernah marah. Jadi adalah wajar bila pusat sumber belajar tidak lagi hanya bersumber pada guru melainkan sudah beralih ke berbagai sumber seperti internet salah satunya. Guru bukan lagi sebagai pusat sumber belajar siswa, guru hanyalah salah satu sumber belajar siswa.
Gerakan Melek ICT
Majunya teknologi harus diimbangi dengan penguasaan teknologi. Sayangnya, masih saja terlihat banyak orang tua dan guru yang masih ”gaptek” dan mengganggap miring tentang internet. Bila anak bermain games di internet dan berjam-jam chating dianggap hanya sebagai sebuah permainan dan bukan sebagai sebuah pembelajaran sehingga dunia anak tak bertemu dengan dunia orang dewasa. Untuk mengatasi hal itu diperlukan gerakan melek ICT (Information and Communication Technology) untuk membantu para guru dan orang tua menguasai ICT.