[caption id="attachment_142651" align="aligncenter" width="600" caption="Liputan Konferensi Guru Nusantara di UNIKA ATMA JAYA"][/caption]
Capek sekali rasanya saya hari ini. Namun saya paksakan juga untuk menulis liputan konferensi Guru Nusantara (KGN) yang saya hadiri di Unika Atma Jaya. Alhamdulillah, data-data mentah sudah tersedia di depan mata, dan foto-foto selama acara berlangsung pun sudah saya dokumentasikan dengan baik. Tinggal sekarang saya menuliskan apa yang saya ingat selama mengikuti KGN yang dilaksanakan pada 16-17 Nopember 2011 di Jakarta.
Ketika saya sampai kampus Atma jaya, tak sengaja saya bertemu dengan Prof. Dr. Komarudin Hidayat (Rektor IAIN Syarif Hidayatullah). Kami satu lift menuju tempat acara, dan sempat pula berbincang-bincang sejenak dengannya. Pak Hidayat (begitu saya memanggil beliau) sempat juga bertanya kepada saya siapa yang menyelenggarakan KGN ini, dan saya pun mengatakan kalau KGN ini sudah ke-6 dilaksanakan oleh Provisi Education, dan Swadaya.
Kami berpisah setelah itu. Saya langsung menuju meja registrasi di lantai 14. Sedangkan pak Hidayat langsung menuju ruang Aula Yustinus lantai 15. Senang sekali bertemu beliau, walau hanya sejenak di dalam lift. Orangnya sangat sederhana, dan memancarkan kearifan budi serta memiliki keintelektualan yang tinggi.
Dalam sambutan keynote speakernya yang berjudul "Urgensi Pendidikan Karakter Menjawab Perubahan Jaman", pak Hidayat mengatakan bahwa "pendidikan seni menghaluskan perasaan". Sayangnya, saat  ini pendidikan seni kurang menjadi primadona di sekolah-sekolah kita. Matematika masih menjadi primadona, dan kegiatan sport atau olahraga belum digalakkan dengan baik. Sehingga banyak anak yang bermental pengecut dan kurang berperasaan. Pemimpin yang berani, dan berempati adalah pemimpin yang biasanya menyenangi seni, dan olahraga. Seni itu indah dan mengandung keindahan. Orang yang senang berolahraga akan sehat, dan biasanya berani mengahdapi tantangan.
Beliau juga bercerita. Ada seorang menteri yang didemo. Kalau dia tak berperasaan, dan tak memiliki keberanian, maka dia akan lari, dan menghindar lewat pintu belakang. Tetapi, bila sang menteri yang suka sport dan seni, maka dia tak akan lari. Justru malah menantang para pendemo untuk makan siang bersamanya. Lalu ngobrol dengan para pendemo dari hati ke hati.
Seharusnya pendidikan seni juga menjadi perhatian di sekolah-sekolah kita, dan mampu dikembangkan dalam pendidikan karakter di abad 21 ini. Anak-anak harus diajarkan kemandirian dan kejujuran yang sangat mutlak diperlukan dalam kehidupan.
Pendidikan karakter yang utuh haruslah universal dan kontekstual. Universalitas pendidikan karakter berarti bahwa pengertian-pengertian dan metode-metode yang digunakan untuk membangun karakter bangsa harus dapat diterima oleh semua dan berlaku bagia setiap warga negara dari latar belakang ras, agama, atau golongan manapun. Kontekstualitas berarti bahwa karakter dibangun atas dasar pengalaman nyata sehari-hari.
Pak Hidayat juga menceritakan pengalamannya ketika datang merantau ke Jakarta, dan beliau banyak belajar dari cerita silat Khopingho. [caption id="attachment_142652" align="aligncenter" width="600" caption="liputan KGN di UNIKA ATMA JAYA"][/caption] Berkat latihan kemandirian yang diajarkan oleh gurunya selama di pesantren, pak Hidayat akhirnya mampu mandiri dan eksis di ibu kota jakarta. Beliau pun bercerita tentang kesenangannya menulis membuat dia menjadi seperti ini. Mampu berkeliling dunia dengan lebih dari 33 negara  telah dikunjunginya dari hasil menulis. Salam Blogger Persahabatan Omjay http://wijayalabs.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H