Mohon tunggu...
Wijaya Kusumah
Wijaya Kusumah Mohon Tunggu... Guru - Guru Blogger Indonesia

Teacher, Motivator, Trainer, Writer, Blogger, Fotografer, Father, Pembicara Seminar, dan Workshop Tingkat Nasional. Sering diminta menjadi pembicara atau nara sumber di bidang ICT,Eduprenership, Learning, dan PTK. Siapa membantu guru agar menjadi pribadi yang profesional dan dapat dipercaya. Wijaya adalah Guru SMP Labschool Jakarta yang doyan ngeblog di http://wijayalabs.com, Wijaya oleh anak didiknya biasa dipanggil "OMJAY". Hatinya telah jatuh cinta dengan kompasiana pada pandangan pertama, sehingga tiada hari tanpa menulis di kompasiana. Kompasiana telah membawanya memiliki hobi menulis yang dulu tak pernah ditekuninya. Pesan Omjay, "Menulislah di blog Kompasiana Sebelum Tidur". HP. 08159155515 email : wijayalabs@gmail.com.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Anak-anak Digital Native

21 Februari 2011   02:33 Diperbarui: 26 Juni 2015   08:25 1116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1298255997958230634

[caption id="attachment_91095" align="alignleft" width="300" caption="anak-anak digital native"][/caption]

Dalam era canggih sekarang ini, kita hidup bersama dengan anak-anak digital native. Anak-anak digital native adalah anak-anak yang hidup dalam dunia digital. Anak-anak yang sudah melek Information and Commnunication Technologi (ICT). Mereka begitu terbiasa menggunakan alat-alat digital tanpa harus diajari seperti kita para orang tua yang biasa disebut digital immigrant. Orang yang baru saja belajar dalam dunia digital. Kitapun baru melek ICT.

Anak-anak digital native jelas berbeda dengan kita sebagai digital immigrant. Mereka jauh lebih berkuasa dalam bidang ICT daripada kita kaum orang dewasa. Mereka adalah penduduk asli dalam dunia digital, sedangkan kita hanyalah penduduk pendatang. Ibarat di jaman nabi Muhammad SAW, kita ini hanyalah kaum Muhajirin yang merupakan pendatang dari kota Mekah, sedangkan mereka kaum Anshor yang sudah tinggal lama di kota Madinah.

Sebagai pendidik sekaligus orang tua yang berada dalam posisi digital immigrant, tentu penulis harus bisa mengimbangi kaum digital native ini. Sebab bila tidak, tak ada pemandu buat mereka untuk memanfaatkan peralatan-peralatan teknologi canggih itu untuk kesuksesan mereka. Mereka akan asyik dengan facebooknya, dan mereka akan terlalu asyik dengan dunia mayanya.

Para orang tua harus belajar dan melek Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) agar bisa membimbing mereka menjadi manusia yang diharapkan oleh kita sebagai orang tua. Manusia Indonesia yang mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lainnya di dunia. Manusia Indonesia yang cerdas dan memiliki intelektual yang tinggi.

Anak-anak digital native telah terbiasa menggunakan peralatan canggih. Dia dengan mudah menggunakan ponsel, PC, laptop, netbook, ipad dan peralatan canggih lainnya tanpa harus diajari. Mereka bisa sendiri dengan cara mandiri. Tidak seperti kita yang masih bertanya sana-sini, karena kurang pede dalam menggunakannya. Sering kali kita bingung ketika salah pencet tombol atau bingung bagaimana cara menggunakan peralatan digital yang baru saja dibeli.

Contoh paling mudah adalah kedua anak penulis, Intan (12) dan Berlian (7). Mereka dengan mudah memakai ponsel, laptop, kamera, ipad dan berbagai perlatan digital lainnya. Mereka berani mencoba, dan sekali mencoba langsung bisa, dan cepat sekali beradaptasi. Buku manual tak perlu mereka baca. Terkadang sebagai orang tua, saya tak malu belajar kepada mereka. Dengan nyantainya mereka akan mengajari kita layaknya seorang guru kepada muridnya. Luar biasa! Begitulah kenyataannya.

Menghadapi anak-anak digital native perlu komunikasi yang baik. Tanpa komunikasi yang baik, jangan harap anda bisa mengorek keterangan yang banyak dari mereka. Sebab sebagian besar anak digital native akan tertutup kepada orang tuanya sendiri, dan bersifat terbuka kepada orang lain. Contoh yang paling gampang dilihat, begitu mudahnya seorang anak berceloteh dalam status facebook dan twitternya menjelek-jelekkan orang tuanya sendiri. Mereka bilang mamanya bawel, dan papanya terlalu protektif. Mereka tulis itu seolah tanpa beban, dan enteng saja dalam dunia maya.

Akhirnya, bersiaplah para orang tua untuk menghadapi generasi digital native ini. Kita sebagai orang tua harus terus belajar dan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) yang ada, dan dengan terus meningkatkan keimanan dan ketakwaan (imtak). Jangan malu dan ragu untuk bertanya kepada yang bisa, dan terus belajar sepanjang hayat. Didiklah anak-anak kita dengan keteladanan yang baik.

Manfaatkan internet untuk saling connecting and sharing di antara sesama orang tua, dan berkolaborasilah untuk mampu memahami anak-anak digital native. Dengan begitu anak-anak digital native akan tumbuh sempurna karena dia dibesarkan oleh para orang tua yang sudah melek TIK. Mereka pun bahagia, dan kebahagiaan itu sederhana. Tak perlu peralatan canggih.

Anak dan orang tua harus mampu berkomunikasi dengan peralatan yang paling sederhana meskipun peralatan canggih ada dimana-mana. Peralatan sederhana itu adalah cinta dan kasih sayang. Dengan cinta dan kasih sayanglah anak-anak digital native itu akan tumbuh sempurna, dan memberikan manfaat untuk orang banyak. Merekapun akan dengan senang menulis dalam status facebook dan berkicau dalam twitternya, “mama papaku adalah orang HEBAT yang mau mendengar keluh kesah anak-anaknya”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun