Ketika Buku Terendam Banjir.
Hari ini adalah hari kelima kami beres beres rumah. Tahun baru 2020 menyisakan kisah yang tak pernah terlupa.
Setelah urusan baju yang  terendam beres, kini urusan buku. Hampir semua buku terendam air.  Banjir yang datang tiba tiba tidak memberi kesempatan pemiliknya untuk berbenah.
Sedih juga melihat buku buku itu terendam banjir. Saya sempat keluar air mata. Â Sebab buku bagi seorang penulis adalah harta yang tak ternilai harganya.
Diam dan hanya merenung tidak menyelesaikan persoalan. Cari solusi adalah keputusan yang sangat berarti dalam melanjutkan beres beres rumah ini.
Hujan kembali mengguyur bumi. Tak mungkin bisa menjemur lagi. Tinggal keikhlasan hati yg membuat damai di hati.
Istri langsung ambil kantong plastik besar berwarna hitam. Â Semua buku yang basah terendam air dimasukkan dan tinggal menunggu pemulung mengambilnya.
Ketika bukumu terendam banjir, Â jangan terlalu banyak mikir. Supaya engkau tak disebut kikir.
Bagikan saja dengan senyuman. Itulah tanda orang beriman. Â Belajar dan berbagi teruslah dilanjutkan. Tingkatkan terus kebersamaan.
Era digital mengharuskan para penulis mulai membuat buku digital. Buku yang tidak terendam banjir. Buku yang membuat pembaca berlama lama dengan ponsel atau tablet pintarnya sampai akhir. Itulah tanda orang yg selalu berpikir.
Ketika buku terendam banjir tak usah nyinyir. Â Teruslah berkarya sampai akhir. Â Berpikir positif akan membuatmu melahirkan karya yang positif.