Belajar Menulis  di Talang Babungo.
Hari mulai gelap. Dingin menusuk tubuh. Sementara hujan rintik rintik di luar mengurungku di kamar. Belajar menulis di sini memang memiliki pesona tersendiri. Cuaca dan suasana menambah hasrat menulis begitu membara.
Hatiku tersulut membaca puisi yang ditulis salah satu peserta. Seandainya aku bisa menulis sebagus itu, Â pastilah aku sudah seperti penyair Taufik Ismail.
Aku bukan penyair. Aku hanya seorang guru yang sedang belajar menulis dan menerbitkan buku. Materi pak Edy tadi siang  membuat jiwa ragaku berkobar tak karuan. Mau menulis buku teks atau non teks?
Akh biarkan saja hati nuraniku memilih. Â Sebab nurani tak bisa dibohongi. Dia akan selalu menemui jalannya. Â Seperti air yang mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah.
Begitu pula ketika menentukan pilihan siapa guru yang beruntung hari ini. Mas Ardian percaya kepadaku untuk menentukan pemenangnya. Sebab pesawat terbang ke Jakarta tak bisa lagi menunggunya.
Hatiku berkata guru inilah yang akan menjadi pemenangnya. Â Namun dua orang guru menggoda mataku. Â Tulisannnya menarik dan membuat aku putuskan untuk memilih ketiganya tampil ke muka panggung acara.
Tiga orang guru hebat datang kepadaku. Berharap membawa printer epson satu. Aku pun tahu peserta pasti setuju. Bila mereka ikut terlibat dalam menentukan juara satu.
Mereka bacakan satu persatu tulisannya. Penonton menyaksikannya dengan wajah merdeka. Voting pun dimulai dan pemenangnya adalah sangat cocok dengan pilihanku.
Kegembiraan datang buat guru yang beruntung hari ini. Teruslah menulis dan buatlah rangkuman dari apa yang didapatkan hari ini. Sebab manusia itu pelupa. Â Ikatlah ilmu dengan cara menuliskannya.
Persoalan nanti bukumu laku atau tidak laku, Â serahkan pada pasar dan toko buku. Â Kata pak Edy tadi, Â "buku yang laris di toko buku adalah buku yang belum ditulis".