Saya terdiam ketika membaca keluhan seorang guru di surat pembaca kompas. Dana tunjangan sertifikasi gurunya belum cair hingga saat ini. Padahal, semenjak tahun 2007 dirinya sudah mendapatkan sertifikat sebagai seorang pendidik profesional.
Rekan guru itu terus mencari informasi. Kemana larinya dana sertifikasi guru? Jalur birokrasi pun ditempuh, tetapi rekan guru itu hanya seperti bola pimpong. Oper sana, oper sini. Pimpong sana-pimpong sini. Tak jelas harus kemana lagi haknya harus dicari. Jabatan guru profesional yang kini disandangnya hanya tertulis saja dalam selembar kertas. Tak jelas kemana larinya dana sertifikasi guru yang dijanjikan oleh pemerintah.
Mungkin, tragedi yang dialami rekan guru itu banyak juga dialami guru lainnya. Hanya saja, mungkin mereka sudah bosan dengan janji-janji birokrasi. Sertfikasi guru yang bertujuan mulia menjadi hambar karena pengelolaannya tidaklah profesional. Mereka yang mendapatkan tunjangan sertifikasi guru disorot kinerja mengajarnya. Malu rasanya, bila kita sebagai guru telah mendapatkan tunjangan sertifikasi tetapi tak mampu memperbaiki cara mengajarnya.
Saya menjadi teringat kembali ketika diminta mengumpulkan berkas portofolio di tahun 2007. Kami sibuk mempersiapkan berkas sertifikasi guru agar lulus portofolio. Tapi ternyata banyak diantara kami yang tak lulus portofolio, dan harus mengikuti PLPG. Dari kegiatan PLPG inilah petualangan saya dimulai u7ntuk menjadi guru profesional. (bersambung)
Salam Blogger Persahabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H