Sedih sekali melihat anak muda kita saling membunuh. Tawuran antar pelajar menjadi keprihatinan kita bersama. Mengapa mereka bisa tawuran? Apakah penyebabnya? Mengapa yang mati justru mereka yang tidak ikut tawuran? Mengapa anak sekolah membawa senjata tajam, dan bukan buku?
Sejuta tanya dalam benak saya sebagai seorang pendidik. Sedih rasanya melihat peserta didik kita terluka akibat tawuran. Hal yang lebih sedih lagi, bila peserta didik kita mati akibat tawuran. Padahal, tidak sekalipun anak itu ikut tawuran. Hanya saja, takdir Allah merenggut nyawanya menjadi korban tawuran.
Jangan salahkan mereka, dan jangan juga kita saling menyalahkan. Mari kita menyikapinya dengan bijak. Setiap kita tentu pernah mengalami yang namanya sekolah. Tempat berkumpul anak bangsa untuk mewujudkan cita-citanya. Merekapun berharap lulus dari sekolah dengan berbekal pengetahuan, keterampilan, dan tentu saja budi pekerti yang luhur.
Namun sayang, tujuan bersekolah itu tak terlihat lagi. Berbagai media menyoroti tawuran antar pelajar. Sedih sekali melihat mereka berkelahi. Sesama anak bangsa saling berkelahi. Kita lihat, cuma hanya karena persoalan kecil, celurit keluar dari sarangnya. Seolah lupa, bahwa hidup hanya sekali saja. Kalah jadi abu, menang jadi arang. Tak ada yang diuntungkan dari tawuran. Semua pihak mengalami kerugian.
Orang tua menyekolahkan anak agar mampu mandiri, menjadi manusia terampil, dan kelak mampu bekerja dengan minat dan keahliannya. Tentu mereka akan kecewa bila melihat anaknya terlibat tawuran, dan menjadi korban tawuran antar pelajar. Kalau saya adalah orang tua yang mengalaminya, tentu akan kecewa, dan marah dengan kelakuan anak sendiri. Tapi, apakah marah dapat menyelesaikan persoalan anak kita?
Anak kita pada dasarnya adalah anak yang baik. Lingkunganlah yang membuat dirinya tidak baik. Bisa di lingkungan rumah, keluarga, sekolah, dan masyarakat. Semuanya bisa saling terkait karena manusia adalah makhluk sosial yang membutuhkan orang lain. Tak ada manusia yang sanggup hidup sendiri.
Persoalannya adalah mengapa tawuran pelajar harus terjadi? Tidak adakah rasa saling cinta mencintai, dan rasa saling sayang menyayangi di antara sesama manusia? Tak adakah pengamalan dari sila kedua pancasila, kemanusian yang adil dan beradab?
Pasti ada yang salah dalam pendidikan anak kita. Mulai dari pendidikan dalam keluarga, sekolah, dan masyarakat. Hal yang pasti, belum banyak orang tua yang menjalankan tugasnya dengan baik. Belum banyak guru yang mampu menjadi tauladan buat anak didiknya. Sehingga omongannya di dengar, dan mereka akan menjauh dari tawuran antar pelajar. Â Guru dan orang tua belum mampu menjadi idola mereka.
Minimnya keteladanan dari tokoh masyarakat, membuat para remaja akhirnya mengidolakan tokoh-tokoh lain yang membuat kita tak percaya kalau mereka memang telah menjadi followernya. Idola mereka tidak lagi ayah dan ibunya. Idola mereka tidak lagi bapak dan ibu gurunya. Idola mereka adalah para artis hebat yang membuat mereka tergila-gila dibuatnya. Kita akan termehek-mehek bila melihat mereka bertemu dengan idola mereka. Seperti makhluk yang bertemu dengan penciptaNya.
Dunia remaja adalah dunia yang penuh dengan pesona. Potensi unik, dan tenaga mereka sungguh luar biasa. Bila salah dalam mengarahkannya, mereka akan menjadi preman yang kejam, dan tak peduli dengan sesama.
Pengalaman menjadi seorang pendidik, bila anak sekolah waktunya sudah habis untuk kegiatan di sekolah, baik intra kurikuler mapun kegiatan ekstrakurikuler, pastilah anak itu menjadi baik. Potensi unik mereka akan tersalurkan dengan baik sesuai dengan minat dan bakatnya masing-masing. Tak akan pernah terpikirkan untuk tawuran, karena hobi dan minat mereka sudah tersalurkan. Merekapun akan berpikir 2 kali untuk melakukan tawuran, karena hanya merepotkan diri sendiri.
Sewaktu penulis menjadi pelajar STM (sekarang SMK) dahulu, banyak pelajar yang sudah terlibat tawuran. Tawuran terjadi biasanya usai pulang sekolah. Kami harus bertahan karena diserang tiba-tiba dari sekolah lain. Kalau sudah begitu, tak ada jalan lain kecuali melwan dengan cara kesatria. Cuma sayangnya, banyak diantara mereka yang membawa batu, kayu, dan senjata tajam. Kalau sudah begitu, ambil langkah seribu menjadi pilihan favorit. Sebab menang melawan mereka pun tiada gunanya. Hanya membuang waktu percuma, dan melukai diri saja. Biarlah mereka berkata kami pengecut. Kalah untuk menang jauh lebih berarti daripada kami harus berkelahi.
Untunglah saya bertemu dengan para guru tangguh berhati cahaya. Di sekolah kami di doktrin untuk tidak tawuran. Kalau terpaksa harus tawuran karena diserang, kami lebih baik mengambil sikap mundur. Beberapa guru tampil untuk mencari solusi damai. Sekolah kami pun akhirnya damai dan tentram. Tak ada tawuran di sekolah kami selama saya bersekolah di sekolah itu. sampai saat inipun saya tak pernah mendengar ada tawuran di sekolah saya dulu yang kini menjadi SMKN 5 Jakarta.
Di sekolah lain bahkan diterapkan peraturan. Siapa saja siswa yang telibat tawuran, maka sanksinya adalah dikeluarkan dari sekolah. Sepintas terlihat kejam, tapi hasilnya dahsyat. Tak ada satupun siswa yang mau tawuran antar pelajar. Kalaupun ada, hanya perkelahian kecil saja antar sesama siswa. Tak menjalar ke sekolah lain sehingga menyebabkan tawuran.
Pak dedi dwitagama kepala SMKN 29 Jakarta, sudah mempraktekkannya di sekolah SMKN 29 yang dipimpinnya. Tak ada anak yang berani tawuran, karena sanksinya dikeluarkan dari sekolah. Kepala sekolah harus tegas, dan membuat aturan di tahun ajaran baru. Merekapun sebagai pelajar harus tanda tangan dengan materai 6000 sebagai bukti perjanjian mereka dengan sekolah. Bila melanggar, cukup diperlihatkan saja perjanjian yang sudah mereka tanda tangani. Dari sisi hukum sekolah menang, dan tak ada lagi siswa yang berani tawuran apapun alasannya.
Di sekolah Labshool Jakarta tempat penulis mendidik anak bangsa, tak ada perjanjian siswa dikeluarkan dari sekolah karena tawuran pelajar. Namun kami fokus dengan pendidikan karakter yang sudah masuk dalam budaya sekolah kami. Iman, ilmu, dan amal bukan hanya slogan semata. Semua itu diterapkan dalam kegiatan akademis dan non akademis. Alhasil, sekolah kami tak pernah telibat tawuran antar pelajar sekolah lain. Kalaupun ada terjadi, itu semua sudah diantisipasi oleh para wakil kepala sekolah bidang kesiswaan.
Tawuran pelajar terjadi, karena anak belum menemukan potensi unik dalam dirinya. Akhirnya, potensi itu menjadi liar dan tak terkendali. Akibatnya, anak merasa menjadi jagoan, dan tak ada orang lain yang lebih jago darinya. Bila guru tak mampu menjadi pemandu untuk anak-anak ini, maka berakibat mereka tak menemukan minat dan bakatnya. Pada akhirnya, kenakalan remaja yang terjadi. Mereka merasa tidak puas dengan keadaan di sekelilingnya. Bila itu terjadi, sekolah menjadi beban buat mereka, dan bukan tantangan untuk meraih manisnya ilmu. Sekolah tak ubahnya seperti hutan belantara, dimana yang kuat dia yang berkuasa. Padahal seharusnya, sekolah menjadi peradaban ilmiah karena ada suasana menyenangkan di rumah keduanya. Sekolah harus menjadi rumah kedua buat peserta didik kita.
Akhirnya, tawuran pelajar yang menyedihkan harus kita sikapi dengan bijaksana. Semua anak adalah juara, dan guru di sekolah harus mampu mengembangkan potensi unik mereka. Para orang tua harus lebih memperhatikan buah hatinya, dan harus mampu menjadi idola buat putra/putrinya. Bila anak bangga dengan kedua orang tuanya, maka diapun akan bangga dengan dirinya yang melahirkan prestasi dari apa yang diminatinya.
Salam blogger persahabatan
Omjay
http://wijayalabs.com
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H