[caption id="attachment_185619" align="aligncenter" width="619" caption="Ilustrasi (KOMPAS/Mohammad Hilmi Faiq)"][/caption] Pagi ini Rabu,2 Mei 2012 saya membaca koran kompas cetak di kolom opini halaman 6. Ada 2 judul artikel bagus terpilih dewan redaksi kompas. Pertama Pendidikan yang Merakyat ditulis Mohammad Abduhzen (dosen Universitas Paramadina), dan kedua Pendidikan Indonesia, Sebuah Evaluasi yang ditulis Tracey Yani Harjatanaya (dewan pembina yayasan perguruan sultan iskandar muda). Selain 2 artikel bagus di atas, saya juga membaca sambutan menteri pendidikan dan kebudayaan, Prof. Dr. Mohammad Nuh yang disebarkan secara elektronik. Inti dari sambutan beliau adalah bidang kebudayaan telah kembali kepada "rumah besar" pendidikan. Bangkitnya generasi emas Indonesia menjadi tema sentral hari pendidikan nasional. Kita berharap, apa yang menjadi cita-cita Ki hajar Dewantoro dapat terwujud, dan karena itulah hari pendidikan nasional dirayakan disaat kelahirannya. Populasi usia produktif juga disinggung oleh pak mendikbud, dan akan menjadi bonus demograsi yang sangat berharga dari 2010 sampai 2035 untuk membangun generasi emas. Pemerintah telah menyiapkan kebijakan yang sistematis, yang memungkinkan terjadinya mobilitas vertikal secara masif. Untuk itu, mulai tahun 2011 telah dilakukan gerakan pendidikan anak usia dini (PAUD), penuntasan dan peningkatan kualitas pendidikan dasar, penyiapan pendidikan menengah universal (PMU) yang insya Allah akan dimulai tahun 2013. Di samping itu, perluasan akses ke perguruan tinggi juga disiapkan melalui pendirian perguruan tinggi negeri di daerah perbatasan dan memberikan akses secara khusus kepada masyarakat yang memiliki keterbatasan kemampuan ekonomi, tetapi berkemampuan akademik. Sambutan pak Nuh diakhiri dengan sebuah pesan ”Semai dan tanamlah biji dari tumbuhan yang kamu miliki meskipun kamu tahu esok akan mati.” dan “Siapa yang menanam, dia yang akan memetik”. Marilah kita berlomba-lomba menanam kebaikan. Membaca 2 artikel di kompas tentang pendidikan, dan sambutan pak Mendikbud di hari pendidikan nasional di atas membuat saya terpicu untuk menambahkan sedikit pemikiran tentang pentingnya membangkitkan generasi emas Indonesia. Apa yang terjadi dalam dunia pendidikan kita saat ini jelas belum merakyat. Saya pun bersetuju dengan apa yang dituliskan ketua Litbang PB PGRI, Mohammad Abduhzen. Rakyat miskin masih belum bisa sekolah di tempat yang layak. Apalagi kebijakan RSBI yang hanya berpihak kepada si kaya membuat pemerintah harus merefleksi ulang program ini. Tenaga pengajar asing yang gajinya lebih besar dari tenaga pengajar negeri sendiri menimbulkan kecemburuan. Seolah-olah guru import lebih baik dari guru domestik. Dalam bahasa yang sangat sederhana, pelayanan pendidikan di negeri ini belum berpihak kepada semua. Education for all yang dikampanyekan hanya sekedar kampanye belaka. Faktanya banyak anak usia sekolah terpaksa tidak bisa sekolah. Pendidikan multikultural belum berjalan dengan maksimal. Kebijakan-kebijakan pemerintah di bidang pendidikan harus segera dievaluasi, dan seyogyanya pemerintah tidak tuli mendengarkan aspirasi dari rakyat yang menuntut keadilan. Sarana dan prasarana mesti diperhatikan. Jangan sampai peserta didik harus bertaruh nyawa untuk bisa pergi ke sekolah. Apa yang terjadi di Propinsi Banten, dimana anak-anak harus menantang maut melewati jembatan yang rusak menjadi pembelajaran bagi pemerintah pusat dan daerah untuk memperhatikan sarana dan prasarana masyarakat umum. Untuk membangkitkan generasi emas, perlu ada keteladanan dari para orang tua. Apa yang terjadi di masyarakat saat ini seperti kasus kriminalitas, dan penyalahgunaan Narkotika, merupakan cambuk bagi para orang tua dan guru untuk mendidik putra-putrinya lebih baik lagi. Sudah saatnya kita memulainya dari pendidikan dalam keluarga. Tak bisa begitu saja orang tua menyerahkannya kepada sekolah. Pendidikan yang utama tetap dikendalikan orang tuanya, dan anak harus mendapatkan pelayanan pendidikan yang layak dari pemerintah untuk meningkatkan pengetahuan, budi pekerti yang luhur, dan keterampilannya. Semua itu telah tertuliskan pada tujuan pendidikan nasional yang sering dituliskan. Mahalnya biaya pendidikan membuat pemerintah harus memikirkan agar si miskin bisa sekolah. Selama ini si kaya masih mendapatkan pelayanan prima, sedangkan si miskin harus dengan sabar menerima pelayanan pendidikan apa adanya. Pada akhirnya anak-anak yang kurang mampu berpikir, buat apa sekolah kalau sekolah mahal. Lebih baik cari duit buat makan. Ada lagi yang sangat memprihatinkan dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan kewirausahaan kurang tertanamkan dengan baik di sekolah-sekolah kita. Pada akhirnya, sekolah hanya melahirkan pengangguran terdidik karena lulusan hanya mampu menjawab soal-soal ujian nasional (UN) sampai "muntah". Pendalaman materi dilakukan, Tryout UN dilakukan berkali-kali, sampai pemerintah daerah pun ikut-ikutan membuat soal Tes Uji Kemampuan Peserta Didik (TUKPD) yang membikin siswa jadi gak pede. Seolah-olah mereka yang lulus UN dengan nilai terbaik akan jauh lebih unggul nasibnya dengan mereka yang nilai UN-nya pas-pas-an. Seolah-olah nasib peserta didik hanya dilihat dan dilirik dari nilai UN-nya saja. Sistem pendidikan kita masih harus disempurnakan. UN sebaiknya hanya pemetaan saja selama pemerintah belum memiliki sarana dan prasarana yang memadai. SDM guru yang berkualitas masih belum merata, pada akhirnya lulusan di daerah tertentu untuk SD, SMP/MTs, dan SMA/SMA/MA kurang menggembirakan hasilnya. Ketika pemerintah tahu daerah yang tertinggal itu seharusnya segera dilakukan pembinaan dan perbaikan. Namun nyatanya hanya sebatas pengumpulan data saja. Lagi-lagi UN tetap dilakukan seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Gerah dan gemes hati ini bila melihat dana pendidikan yang begitu besar tak tersalurkan tepat sasaran. Ingin rasanya memberikan masukan atau data yang benar bahwa pendidikan gratis yang didengungkan selama ini belum berjalan dengan baik. Data yang dituliskan oleh Tracey Yaniharjatanaya di kolom opini kompas hari ini menunjukkan bahwa 13 % murid SD tidak menyelesaikan pendidikan. Bagaimana mungkin kita akan membangkitkan generasi emas bila generasi pembangkitnya memble dan terjangkit masalah korupsi, kolusi, dan nepotisme? Generasi emas Indonesia harus dibangkitkan dalam bidang pendidikan. Pendidikan yang benar tidak mengenal status sosial atau kasta. Tidak boleh ada kastanisasi di sekolah-sekolah kita. Semua orang wajib sekolah dan mendapatkan pelayanan yang baik dari pemerintah. Semua rakyat Indonesia harus mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan ketentuan UUD 1945. Di hari pendidikan nasional sekarang ini, mari kita semua merefleksi diri. Hindarkan pertengkaran yang membawa perkelahian. Mari kita bergandengan tangan untuk membangkitkan generasi emas Indonesia. Bila pemerintah diberikan masukan yang baik tetap tenang-tenang saja, mari kita mulai dari pendidikan dalam keluarga kita. Tularkan pendidikan yang baik kepada sekitar kita, dan kembangkan terus pendidikan kewirausahaan dan pendidikan multikultural di sekolah-sekolah kita. Selamat hari pendidikan nasional, dan bangkitkan generasi emas Indonesia dengan bekerja dan berkarya. Beri contoh kaum muda dengan keteladanan diri dan prestasi tinggi. Bukan dengan janji-janji palsu yang membuat kita bernyanyi dangdut "alamat palsu" Ayu tingting. Salam Blogger Persahabatan Omjay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H