Ibuku memang guru pertamaku. Setiap ada waktu untuk belajar bersamanya, ibuku akan menjawab semua pertanyaanku dengan baik dan benar. Itulah yang kulihat dari istriku sekarang ini. Menemani anak-anaknya belajar dan menjawab pertanyaan anak-anaknya dengan penuh kesabaran dan kelembutan hati.
Anak-anakku lebih senang belajar pada istriku, daripada aku sebagai ayahnya. Kalau istriku tak bisa menjawab, barulah mereka bertanya kepadaku. Terkadang aku sering "kelagapan" juga bila membaca dan mendengar dari anakku tentang materi pelajaran yang ditanyakan. Terkadang pertanyaan logika untuk orang dewasa dimasukkan juga untuk LKS siswa SD. Persis sama seperti kasus "istri simpanan bang Maman" yang ditanyakan anakku kepada istriku.
Tak salah bila temanku ibu Retno Listiyani mengatakan di televisi bahwa dari 20 teks buku pelajaran di SD, ada beberapa buku yang tak layak diajarkan ke anak-anak di bangku sekolah dasar. Hal ini berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh tim peneliti dari universitas paramadina di tahun 2008, begitu Bu Retno menambahkan. Akupun menyimak dengan cermat acara di televisi tentang pelajaran di SD yang salah kaprah. Ngeri sendiri aku dibuatnya.
Di sinilah peran ibu dibutuhkan. Bila banyak ibu memperhatikan dan ikut mendampingi putra-putrinya belajar, maka akan banyak didapatkan hal-hal yang membantu olah pikir anak-anaknya yang masih dalam masa pertumbuhan daya pikir dan nalarnya.
Aku masih ingat dengan buku bahasa indonesia SD karya ibi Siti Rohmani yang diterbitkan oleh Balai Pustaka di era tahun 1980-an. Isi materinya sangat bagus, dan membuatku mampu membaca ini ibu Budi. Ibu budi pergi ke pasar. Ayah budi pergi ke kantor.
Buku bahasa indonesia itu sederhana tapi sangat bagus dipakai untuk siswa SD, dan membuatku masih teringat dengan buku itu. Isinya syarat dengan makna dan tidak jelimet seperti buku pelajaran sekarang. Bahkan aku sempat bertemu langsung dengan penulisnya yang kini berusia 92 tahun. Kisah pertemuanku dengannya aku tuliskan dalam sebuah buku yang berjudul menjadi guru tangguh berhati cahaya.
Kini ibuku telah tiada. Pergi meninggalkanku untuk selama-lamanya. Sedih sekali bila kuingat ibu di hari-hari terakhir hidupnya. Akulah yang terakhir kali bersamanya di rumah sakit, dan membimbing ibu mengucapkan kalimat syahadat. "Laaila ha illallah, muhammadarrosululloh".
Ibuku memang guru pertamaku. Beliau mengenalkan, dan mengajarkan angka dan huruf sehingga aku bisa membaca dan menuliskannya. Terima kasih ibu, jasamu tiada tara dalam hidupku. Akupun menangis ketika menuliskan ini dan tak terasa air mataku telah membasahi pipi.
sumber gambar di sini.
Salam blogger persahabatan Omjay
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H