Ketika baru saja pulang dari sekolah, istri menghampiri saya sambil marah-marah. Katanya, nilai matematika Berlian, anak kedua kami merah dan cuma mendapatkan nilai 50. Istri saya itu marah besar kepada anak kami, karena menurut istri saya prestasi belajar anak kami rendah. Namun, apakah lantas saya harus ikut-ikutan marah kepada anak kami? Apakah angka 50 menandakan bahwa anak kami bodoh?
Sebagai seorang pendidik di sekolah, tentu saya hanya tersenyum mendengar laporan istri saya itu, dan dengan penuh senyum pula saya datangi anak saya, Berlian. Anak yang masih kelas TigaSD, berumur 8 tahun, dan belum tahu benar kenapa dia harus belajar matematika. Pelajaran yang tidak disukainya.
Lalu saya sapa dia seperti biasanya dengan senyum, dan seperti biasa pula, saya cium pipinya yang mungil. Anak saya pun menyambutnya dan kemudian terisak pilu karena baru saja dimarahi mamanya karena mendapatkan nilai 50 dari pelajaran matematikanya.
Saya bisa memahami perasaan anak ini. Perasaan yang tidak mengerti mengapa dia harus belajar matematika, dan betapa sulitnya dia harus belajar berhitung.
Dengan penuh kelembutan, saya coba tanya anak saya kenapa nilainya mendapatkan angka 50. Setelah mendengar ceritanya, saya justru bangga dan tertawa. Sebab, sewaktu saya kelas satu SD dulu, saya masih belum bisa nulis angka 5 dan kalau menulis pasti angkanya tidur seperti ini ~ . Apalagi bila menulis angka 4, pasti deh jadinya kayak bangku h. (Hahahhaha).
Saya jadi teringat almarhum ibu. Mengajari saya dengan penuh kesabaran dan tanpa ada makian. Mengajari saya dengan ketulusan hati sehingga sedikit demi sedikit saya bisa menuliskan angka dengan benar. Saya pun diajarinya berhitung dengan menggunakan jari tangan. Tak ada les yang saya ikuti dan tak ada bimbel yang saya masuki, semua diajarkan oleh ibunda tercinta.
Saya coba berdiskusi kecil dengan Berlian. Saya coba pahami apa yang ada dalam pikirannya. Saya coba untuk memahami pola berpikir anak usia 8 tahun. Saya coba diri saya untuk menjadi temannya, menjadi tempat curhatnya, dan akhirnya cara saya ini berhasil. Berhasil menarik perhatiannya dan membuatnya tersenyum kembali. Membantunya mengatasi masalah dan memudahkan anak dalam belajar. Memberinya pengertian kenapa begini dan kenapa begitu, sehingga si buah hati paham apa yang dimaksud. Saya pun menjadi paham potensi apa yang dimiliki oleh Berlian. Ternyata anak ini, memang tidak cocok untuk menjadi seorang matematikawan. Dia lebih cocok untuk menjadi seorang seniman.
Setiap anak dilahirkan memiliki lebih dari satu potensi. Potensi inilah yang harus kita temukan sebagai orang tua agar dapat mengarahkan mereka. Prof. Anita Lie mengatakan, anak adalah manusia yang sedang tumbuh dan berkembang dalam setiap fase dengan ciri-ciri dan kebutuhan tertentu. Kekurang pahaman mengenai tahapan perkembangan anak, jika disertai dengan ambisi orang tua terhadap prestasi anak, seringkali mendorong praktik-praktik pengajaran yang justru kontra-produktif, dan akan mengorbankan anak sebagai manusia pembelajar yang alamiah.
Orang tua tidak hanya mengetahui tingkat perkembangan anak, tetapi potensi anak yang luar biasa juga perlu digali untuk dikembangkan dan dimanfaatkan untuk mencapai hasil belajar yang maksimal. Jadi, pendidikan kita lebih mengarah pada kekuatan yang dimiliki anak bukan pada kelemahan-kelemahannya.
Oleh karena itu, jangan sekali-kali mencap anak kita bodoh, dan untuk lebih jelasnya, saya sarankan anda membaca buku “Memudahkan Anak belajar” panduan bagi orang tua yang diterbitkan oleh Kompas (2008) yang telah tersebar di toko-toko buku. Selamat Membaca buku tersebut!
Salam Blogger Persahabatan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H