PT Pertamina (Persero) menaikkan harga Elpiji non subsidi kemasan 12 kg. Kenaikan tersebut menyusul tingginya harga pokok LPG di pasar dan turunnya nilai tukar rupiah yang menyebabkan kerugian PERTAMINA semakin besar. Konon kerugian PERTAMINA sepanjang tahun ini diperkirakan mencapai lebih dari Rp 5,7 triliun. Kerugian ini karena harga yang berlaku saat ini yakni harga bulan Oktober 2009 seharga Rp5.850 per kg, dan harga pokok perolehan saat ini mencapai Rp10.785 per kg.
Harga gas elpiji 12 kg naik menjadi 130 ribu rupiah per tabung atau naik sekitar Rp. 47.000,- rupiah. Akibatnya bisa diduga, masyarakat beralih ke tabung 3 Kg dan sekarang LPG tabung melon ijo ini pun menjadi langka karena di buru oleh masyarakat. LPG tabung melon ijo ini masih disubsidi oleh pemerintah sehingga harganya jauh lebih murah. Dampak kenaikan LPG ini dirasakan oleh ibu rumah tangga, para pedagang kecil seperti  penjual makanan, komunitas warung nusantara, warung makan, kedai kopi, restoran, atau industri yang menggunakan LPG sebagai sumber energinya. Mereka menjerit, bahkan ada pengusaha tempe dan tahu yang kembali beralih menggunakan kayu bakar sebagai sumber energinya.
Ketidak pedulian Pemerintah atas tata kelola ketahanan energi terlihat pada subsidi bbm yang besarnya 193.8 triliun ditahun 2013 dan meningkat menjadi 210,7 Trilyun di tahun 2014, bukan main besarnya. Ketidak piawaian pemerintah dalam mengatur ketahanan energi tampak jelas dimana pemerintah tidak mempunyai roadmap atau perencanaan pengaturan kebijakan transportasi yang menjadi biang keladi tingginya subsidi BBM. Demikian pula pengaturan tentang alih energi fosil ke energi baru atau terbarukan juga tidak pernah direncanakan dengan baik. Selain LPG yang melonjak naik, juga konsumsi bahan bakar yang luar biasa besarnya. Mengapa ini terjadi ? tidak lepas dari ketidak mampuan Pemerintah Pusat membuat kebijakan yang mengatur sistem transportasi masal maupun perencanaan nasional alih energi terbarukan. Kita coba perhatikan, pertumbuhan ruas jalan tercatat hanya 0,01% saja sedangkan pertumbuhan kendaraan rata-rata tiap tahun sebesar 8.9 persen. Akibatnya bisa kita rasakan, kemacetan jalan terjadi hampir di seluruh kota besar di Indonesia. Kecepatan berkendara di jam macet seperti pagi dan sore hari hanya 5 km/jam saja dan terjadi pemborosan bahan bakar yang luar biasa. Idle time alias mobil diam tidak bergerak  karena stasioner menjadi lebih panjang. Tidak ada Kebijakan yang mengontrol populasi kendaraan dan membiarkan populasi kendaraan tetap tumbuh. Hal ini tentunya membahayakan ketahanan energi nasional. Dampaknya jelas, ketergantungan impor BBM akan makin tinggi sehingga ketahanan energi makin rentan. Ditambah lagi dengan tidak adanya perencanaan secara nasional manajemen transportasi massal , mengakibatkan Pemerintah yang sekarang meninggalkan bom waktu untuk pemerintah yang akan datang dan sangat membahayakan bagi pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan. Kita lihat investor sedikit demi sedikit hengkang dari Indonesia. Pertumbuhan ekonomi melambat dan harga barang pokok pun ikut merambat naik.
Sekarang masyarakatpun menjerit karena seiring dengan kenaikan gas LPG maka harga harga dagangan pedagang kecilpun pun ikut naik.   Bahkan Pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) juga meminta kenaikan harga elpiji 12 Kg ditunda karena kenaikan elpiji nonsubsidi tersebut akan memberatkan gerak bisnis UMKM tersebut. Sudah saatnya pemerintah memikirkan ulang mengenai energi baru dan terbarukan seperti misalnya energi listrik tenaga surya, tenaga angin atau sumber energi lainnya seperti tenaga uap Geothermal, air, biofuel dan lainnya.
Mari kita tengok, negara lain seperti China, alih energi sudah dipersiapkan dengan matang jauh jauh hari. Kendaraan listrik dipergunakan dimana mana demikian pula ibu rumah tangga, pedagang menggunakan listrik sebagai sumber energi didalam usahanya. Untuk penerangan mereka juga menggunakan solar sel atau tenaga surya. Menilik hal tersebut diatas maka saatnya kita pun harus berbenah dan mempersiapkan diri. Kenapa ? karena menurut data dari International Energy Agency maka diperkirakan harga minyak mentah akan terus melonjak dari rata-rata $105 per barel pada 2013 menjadi $106 per barel pada 2020 dan $163 per barel pada 2040 dengan nilai dolar tahun 2011. Kelangkaan energi dari fosil (BBM) akan terjadi sebentar lagi. Didunia terjadi peningkatan sebesar 80 persen energi baru dan terbarukan (EBT) yang akan datang dari energi air dan angin. Pembangunan pembangkit listrik EBT telah tumbuh pesat dalam beberapa dekade terakhir dan akan berlanjut pada masa datang. Dimulai dari Uni Emirat Arab yang membangun pembangkit listrik tenaga surya terbesar di dunia. Proyek energi surya 100 megawatt di Abu Dhabi telah dibangun, kemudian berlanjut ke Amerika Serikat yang juga membuat hal yang sama di California, diikuti dengan Israel, Brazil dan negara negara lain.
Nah bagaimana dengan Indonesia ? Indonesia sebenarnya sudah mempersiapkan hal yang sama seperti Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), antara lain PLTS Karangasem 1 Mwp On-Grid, PLTS Bangli 1 Mwp On-Grid dan 6 unit PLTS 15 KWp Off-Grid.
Namun Pembangunan PLTS ini tidak berkembang, saya tentu berharap bahwa PLTS ini segera menjalar dan di bangun di seluruh negeri agar bisa mensubsidi kebutuhan energi listrik di masing daerah dengan menggunakan energi non BBM. Saat ini untuk listrik di pulau Jawa dan Bali sudah tercukupi, tapi kita lihat Saudara kita yang di Sumatera, Sulawesi, dan sebagian besar Indonesia bagian timur.
Benar benar memprihatinkan karena listrik masih mati hidup. Giliran listrik padam sepertinya sudah menjadi tradisi. Oleh karenanya, perlu terobosan terobosan radikal dari Pemerintah Pusat dan juga Pemerintah Daerah untuk memikirkan kemandirian energi di daerahnya masing masing. Perencanaan ketahanan energi 5 tahunan juga perlu di dicanangkan dan dirancang.
Kembali kepada kasus LPG naik, mulai Presiden hingga Menterinya mengaku tidak tahu harga LPG naik,  Ini bukti kesemrawutan tata negara kita.  Lebih anehnya lagi Menteri ESDM itu menjadi anggota DKPP alias Dewan Komisaris Pemerintah untuk Pertamina yang selalu rapat membahas kebijakan tentang BBM dan LPG.  Terkesan bahwa Jero Wacik lepas tangan dan ingin mencari popularitas dengan seolah olah bela rakyat. http://jogja.tribunnews.com/2014/01/05/tidak-masuk-akal-bila-jero-wacik-tak-tahu-elpiji-naik/
Bisa jadi ini menjadi momenum yang bersangkutan untuk menaikan popularitas karena yang bersangkutan menjadi calon legislatif di Bali http://politik.news.viva.co.id/news/read/404317-jero-wacik--jadi-caleg-itu-prioritas-berikutnya
Oleh karenanya terlihat bahwa ketidak mampuan pemerintah dalam mengendalikan ketananan energi terlihat gamblang. Â Penempatan menteri yang berasal dari Partai Politik menimbulkan kerepotan baru karena jelas akan membela partainya untuk kepentingan pencitraan.
Menarik kesimpulan diatas, maka Pemerintah yang akan datang wajib menempatkan para profesional yang menjadi Menteri dan terlepas dari kepentingan politik  sehingga roadmap ketahanan energi dengan mencari sumber ladang minyak baru, mengembangkan Pembangkit Listrik dengan energi baru atau terbarukan di seluruh pelosok negeri dapat diakukan tanpa terpengaruh kepentingan politik. Penghematan energi diseluruh negeri perlu pula dikampanyekan disamping juga pemerintah memikirkan solusi tentang moda transportasi umum yang disukai masyarkat agar masyarakat mau berpindah dari kendaraan pribadi ke moda transportasi umum. Kalau ini terjadi maka subsidi BBM sebesar 210,7 T ditahun 2014 bisa ditekan dan LPG tidak perlu naik
Wijaya Kusuma Subroto, SH MM
Ketua Perindo DPW DKI Jakarta
Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Tarumanegara
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H