Perbincangan tentang perlunya Satpol PP dilengkapi dengan senjata api beberapa hari terakhir menghangat. Padahal sebenarnya, sudah lumayan lama Satpol PP diperkenankan untuk melengkapi diri dengan senjata api sesuai dengan Permendagri No. 35/ 2005. Bahkan Satpol PP DKI Jakarta memiliki inventaris senjata api jenis revolver Colt 32 sebanyak 79 pucuk yang 22 pucuk di antaranya dibekalkan kepada para pejabat Satpol PP (Kompas, 8 Juli 2010). Kini melalui Permendagri No. 26/ 2010 kembali diatur tentang pembekalan senjata api bagi Satpol PP. Namun dalam Permendagri terakhir ini, jenis senjata api yang diperbolehkan adalah senjata peluru gas, semprotan gas dan alat kejut listrik (Bab II, pasal 2). Meskipun Permendagri No. 26/ 2010 lebih membatasi jenis senjata yang dapat dipakai oleh para anggota Satpol PP ketika berdinas, kebijakan tersebut tetap menuai perdebatan dengan beragam argumentasi pro dan kontra di berbagai kalangan. Pihak yang setuju dengan pembekalan senjata api bagi Satpol PP secara umum berpendapat bahwa tugas yang dihadapi oleh para anggota Satpol PP penuh bahaya yang dapat menyebabkan para petugas mengalami luka-luka berat maupun tewas. Sedangkan pihak yang menentang kebijakan tersebut pada intinya berpendapat bahwa pembekalan senjata api bagi para anggota Satpol PP hanya akan memperkuat sikap arogansi dan cenderung memicu penggunaan kekerasan dalam penyelesaian masalah di lapangan. Sejatinya, sesuai dengan Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2010 tentang Satuan Polisi Pamong Praja, tugas Satpol PP adalah membantu kepala daerah dalam menegakkan Perda dan penyelenggaraan ketertiban umum dan ketenteraman masyarakat, di setiap provinsi dan kabupaten/kota. Dengan kata lain Satpol PP bertugas untuk membantu terselenggaranya ketertiban umum dan ketentraman masyarakat melalui penegakan Peraturan Daerah (Perda). Atau bisa juga ditafsirkan bahwa yurisdiksi Satpol PP terbatas pada segala tindakan masyarakat yang melanggar Perda. Uraian ini sekaligus membedakan tugas Satpol PP dan Polri. Yurisdiksi Polri sebagai bagian dari sistem peradilan pidana (criminal justice system) mencakup segala tindakan masyarakat yang melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Oleh karena itu, praktek penugasan Satpol PP untuk menangani masalah premanisme jalanan/ street crime adalah kurang tepat karena hal ini merupakan yurisdiksi polisi sesuai dengan amanat UU Polri dan ketentuan dalam KUHP. Jadi, sesuai dengan hakikat Satpol PP sebagai penegak Peraturan Daerah sesungguhnya mereka lebih kerap berhadapan dengan pelanggaran warga yang melanggar Perda seperti pembatasan kawasan pedagang kaki lima, larangan membuang sampah, pembatasan pemasangan iklan, pendirian bangunan pemukiman, peraturan pendirian bangunan komersial dan sebagainya. Oleh karena itu perlukah Satpol PP dibekali senjata api jika yang dihadapi adalah pedagang kaki lima atau warga yang melanggar peraturan pendirian bangunan? Pada sisi lain, jika ada anggota Satpol PP yang tewas maupun luka dalam menjalankan tugasnya, patutkah pembekalan senjata api dipilih sebagai suatu solusi? Hemat penulis, pembekalan senjata api bukan merupakan suatu solusi tepat. Karena bisa jadi hal tersebut malah justru menciptakan masalah baru, misalnya penyalahgunaan senjata api di lapangan maupun terpicunya arogansi Satpol PP karena membawa senjata api sebagaimana dikhawatirkan oleh banyak kalangan. Alih-alih, ketika timbul korban anggota Satpol PP dalam menjalankan tugas, seyogyanya perlu dilakukan pembenahan di sejumlah aspek. Pertama, apakah tugas perpolisian Pamong Praja tersebut sudah dilakukan dengan benar? Kedua, apakah perekrutan anggota Satpol PP telah dilakukan dengan tepat? Ketiga, apakah para anggota Satpol PP telah mendapatkan pendidikan dan pelatihan yang memadai terkait masalah hukum, sosial budaya dan terpenting adalah skill dan gaya perpolisian (policing skills dan policing styles). Pembenahan tersebut kiranya lebih mendesak dilakukan dibanding mempersenjatai Satpol PP yang seolah memotong puncak gunung es tanpa menghilangkan dasarnya. Percuma Satpol PP dibekali dengan senjata api jika perekrutannya kurang tepat serta pendidikan dan pelatihannya tidak memadai. Patut dicamkan bahwa pekerjaan sebagai anggota Satpol PP bukanlah suatu pekerjaan mudah atau ilmu katon sehingga seorang PNS Pemda yang sebelumnya bertugas pada, misalnya, dinas kebersihan langsung begitu saja dimutasi menjadi anggota Satpol PP tanpa didahului tes psikologi (tes bakat untuk tugas perpolisian) maupun pendidikan dan pelatihan yang memadai. Patut diingat bahwa penertiban masyarakat tidak bisa dilakukan begitu saja dengan berbekal kekuatan fisik tanpa pemahaman kondisi sosiokultural masyarakat dan pendekatan persuasif yang tepat. Sebagai penutup kiranya perlu ditegaskan bahwa pembekalan senjata api bukan merupakan sesuatu yang hal yang mendesak bagi Satpol PP. Pembenahan perekrutan serta pendidikan dan pelatihan adalah sesuatu hal yang lebih mendesak. Keberhasilan tugas Satpol PP lebih dipengaruhi oleh perekrutan yang benar serta pendidikan dan pelatihan yang memadai. Senjata api bukan jawaban yang tepat untuk menyelesaikan sejumlah masalah yang dihadapi oleh Satpol PP selama ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H