“Apa yang kamu miliki saat ini tidak akan ada artinya jika hanya untuk dirimu sendiri. Kamu harus berbagi.” Begitulah nasehat Raden Mas Panji Sosrokartono (diperankan Reza Rahardian) kepada adik kesayangannya, Kartini (Dian Sastrowardoyo). Nasehat Sang Kakak tersebut menjadi pijakan untuk memahami sosok Kartini dalam film ini secara utuh. Melalui film ini Sutradara Hanung Bramantyo menjelaskan bahwa Kartini lebih dari sekedar sosok yang setiap tanggal 21 April diperingati cukup hanya dengan berpakaian tradisional di sekolah-sekolah dan kantor-kantor disertai dengan kegiatan-kegiatan seremonial yang klise dan sekedar formalitas belaka.
*****
Pada Abad ke-19 masih berlaku suatu ketentuan bahwa bupati di Jawa dijabat oleh seorang bangsawan tinggi. Namun untuk menjadi seorang bupati, bangsawan tinggi tersebut harus beristerikan bangsawan tinggi pula. Ketentuan tersebut berlaku pula bagi Raden Mas Adipati Ario Sosroningrat (Deddy Sutomo). Meskipun ketika masih menjadi Wedana Mayong (sebuah wilayah Kecamatan di Jepara) sudah menikah dengan MA Ngasirah (Christine Hakim), Sosroningrat harus menikah dengan Raden Ajeng Moerjam (Djenar Maesa Ayu), seorang bangsawan tinggi, agar bisa memenuhi syarat untuk menjadi Bupati Jepara.
Kartini yang terlahir dari pernikahan antara Sosroningrat dan Ngasirah menjadi korban dari norma feodal tersebut. Akibat pernikahan antara Sosroningrat dan Moerjam, Kartini tidak kuasa menolak ketentuan yang melarang untuk memanggil ibu kandungnya dengan sebutan Ibu. Hanya Moerjam yang boleh dipanggil dengan sebutan Ibu, sedangkan ibu kandungnya sendiri harus dipanggil dengan sebutan “Yu”. Itu masih ditambah lagi dengan larangan untuk tidur dengan Ngasirah yang ditempatkan di kamar terpisah dari bangunan utama di Kabupaten.
Meskipun sempat mengenyam pendidikan di Europeesche Lagere School (Sekolah Dasar untuk keturunan Eropa dan anak bangsawan), Kartini sesuai adat istiadat yang berlaku harus dipingit menjelang masa remaja hingga tiba saatnya ada lelaki bangsawan yang melamar untuk dinikahi. Mau tidak mau, Kartini pun harus menerima ketentuan tersebut. Dipingit berarti dilarang keluar dari rumah dan harus membatas komunikasi dengan dunia luar. Beruntung Kartini memiliki seorang kakak kandung yang gemar membaca. Sebelum berangkat untuk melanjutkan pendidikan di Belanda, Sosrokartono memberikan buku-bukunya pada Kartini. Selama menempuh pendidikan di Universitas Leiden, kiriman buku dari Sosrokartono juga diterima rutin oleh Kartini.
Buku-buku itulah yang menjadi penghubung Kartini dengan dunia luar serta menyalakan gagasan-gagasan untuk mencerahkan dan memajukan masyarakat. Buku-buku itu pula yang menjadi bahan referensi serta penumbuh inspirasi bagi Kartini untuk menulis beragam topik dalam Bahasa Belanda. Meskipun memberlakukan pingitan terhadap Kartini yang kelak diberlakukan pula terhadap adik-adiknya, yakni Rukmini (Acha Septriasa) dan Kardinah (Ayushita Nugraha), Sosroningrat memang tidak mnelarang anak-anaknya untuk menjelajahi dunia pengetahuan lewat buku-buku. Sang Bupati pula yang akhirnya luluh dan mengambil keputusan untuk tidak menerapkan adat pingitan secara kaku terhadap anak-anak perempuannya. Sebelum masa pingitan berakhir, Kartini, Kardinah dan Rukmini diajak Sang Ayah menghadiri Perayaan Hari Penobatan Ratu Wilhelmina di Semarang.
Kebijakan-kebijakan yang memberi kelonggaran kepada putrid-putrinya itu membuat Sosroningrat mendapat tentangan keras dari para saudaranya sesama bangsawan yang memiliki jabatan tinggi di masyarakat. Di sisi lain, gagasan-gagasan dan kiprah Kartini terus berkembang sampai akhirnya mengajukan permohonan beasiswa untuk studi ke Belanda. Bagaimana kelanjutan kisahnya? Saksikan di Bioskop terdekat di kota Anda!
*****
Film Kartiniyang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini merupakan film ketiga yang bertutur tentang kehidupan sang tokoh. Film pertama berjudul RA Kartini beredar pada 1983 dan film kedua berjudul Surat Cinta Untuk Kartini beredar pada 2016 lalu. Sebelum menyutradarai film biografi Kartini ini, Hanung telah menyutradarai film Sang Pencerah(2010) yang mengisahkan kiprah kepahlawanan pendiri Muhammadiyah, KH Ahmad Dahlan dan Soekarno : Indonesia Merdeka (2010). Jika Rudy Habibie (2016) dimasukkan pula dalam kategori film biografi, berarti Kartini merupakan biopic karya Hanung yang keempat. Ditambah dengan pengalaman penyutradaraan film-film lain serta penghargaan Festival Film Indonesia sebagai Sutradara terbaik lewat film Brownies(2005) dan Get Married (2007), kemampuan Hanung sebagai seorang sutradara tidak perlu diragukan lagi.
Dibandingkan dengan penyutradaraan untuk film-film lain, menyutradarai sebuah film biografi (biopic) serupa dengan pekerjaan seorang sejarawan karena sutradara dituntut untuk meneliti serta memahami sejarah kehidupan tokoh yang difilmkan. Dalam film yang dibuat berdasarkan naskah cerita yang disusun oleh Hanung Bramantyo sendiri dan Bagus Bramathi ini, Kartini ditampilkan sebagai seorang tokoh yang gagasan dan kiprahnya tidak saja harus diteladani oleh para perempuan Indonesia, tetapi menginspirasi semua orang dan patut diteladani oleh siapapun.
Dengan kata lain, film ini berupaya menggugat pandangan yang selama ini berlaku bahwa Kartini hanya berjasa bagi para perempuan Indonesia. Melalui jalinan cerita dengan dramaturgi yang menarik, film ini berupaya mengoreksi posisi Kartini dalam catatan sejarah Indonesia. Lewat adegan-adegan yang menggambarkan upaya Kartini untuk mendidik rakyat jelata dan mengangkat harkat para pengrajin ukiran Jepara serta kegigihannya untuk mendapatkan beasiswa, Kartini layak disebut sebagai tokoh yang menginspirasi semua orang, khususnya kaum muda jaman sekarang.