Pada perayaan Tahun Baru Imlek 1912 terjadi suatu peristiwa yang menyebabkan Kepolisian Kota Surabaya mendapat kecaman keras dari berbagai pihak (Marieke Bloembergen, 2011 : 177 – 184). Kala itu tindakan keras Kepolisian Kolonial Belanda  terhadap para warga yang menyulut petasan dan kembang api di Jl. Kembang Jepun, Surabaya menimbulkan kemarahan yang berujung pada kerusuhan. Toko-toko dibakar dan dijarah. Mobil-mobil dirusak. Bahkan kepala polisi setempat yakni Komisari Besar Polisi CJ Boon beserta delapan orang anggotanya sempat disandera warga. Peristiwa ini membuat karir Boon yang mantan perwira KNIL tercoreng hingga dia dilengserkan dari jabatannya.
Peristiwa di atas memang terjadi pada masa Kolonial Belanda yang tentu terjadi dalam konteks sosio-legal yang berbeda dari jaman sekarang. Meskipun demikian ada satu pelajaran yang bisa dipetik, yakni tindakan polisional yang tidak tepat dalam penanganan massa dapat menyulut kerusuhan. Terjadinya kerusuhan di Bima dan Mesuji beberapa waktu lalu merupakan bukti betapa pendekatan polisional yang tidak tepat malah justru menciptakan hasil yang kontra produktif. Polisi yang diharapkan bisa menjadi problem solver atau pemecah masalah, malah menjadi problem maker atau pembuat masalah. Â Akibatnya sudah dapat diduga. Jatuhnya korban jiwa dan timbulnya korban luka-luka akibat tindakan kekerasan polisi yang berlebihan malah justru menciptakan masalah baru dalam masyarakat.
Tidak hanya dalam penanganan aksi massa saja yang menempatkan polisi pada posisi pembuat masalah. Penanganan kasus pencurian sandal jepit yang melibatkan pelaku berusia di bawah umur dengan inisial AAL kembali menimbulkan tudingan negatif masyarakat terhadap polisi. Aksi solidaritas pengumpulan sandal jepit terjadi di sejumlah kota. Media cetak maupun elektronik juga tak henti menyorot kasus AAL ini.
Terakhir, kasus tewasnya dua orang tahanan anak-anak di Kabupaten Sijunjung juga menciptakan masalah baru. Polisi menyebut bahwa dua orang kakak beradik tersebut tewas karena bunuh diri, namun masyarakat termasuk pihak  keluarga mencurigai bahwa mereka tewas karena penganiayaan selama pemeriksaan oleh polisi.
*****
Sebenarnya segala permasalahan di atas tidak perlu terjadi jika polisi benar-benar menyadari bahwa pembentukan institusi kepolisian dimaksudkan untuk membantu menyelesaikan permasalahan dalam masyarakat tanpa menimbulkan masalah baru, terutama masalah-masalah Kamtibmas. Dengan kata lain, polisi pada hakekatnya diharapkan untuk bertindak sebagai problem solver atau pemecah masalah. Harapan demikian juga dicanangkan ketika Pemerintah Kolonial Belanda membentuk kepolisian modern di sejumlah kota besar di Jawa pada awal abad ke-20. Pemerintah Kolonial Belanda menginginkan agar polisi dapat membantu penyelesaian berbagai masalah masyarakat kala itu. Sedangkan pada masa Kemerdekaan RI harapan bahwa polisi bisa membantu masyarakat untuk menyelesaikan berbagai masalah Kamtibmas menjadi satu landasan yang melatarbelakangi lahirnya Kepolisian Republik Indonesia. Oleh karena itu, alih-alih semangat sebagai problem maker (pembuat masalah), semangat sebagai problem solver (pemecah masalah) mesti tertanam kuat pada diri setiap anggota kepolisian dalam tugasnya sehari-hari. Konsekwensinya, polisi dalam menjalankan tugasnya mesti disertai dengan kehati-hatian agar tindakannya tidak menimbulkan masalah dalam masyarakat.
Berkaitan dengan hal ini, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 17 Desember 1979 juga telah mengeluarkan Resolusi No. 34/ 169 tentang Code of Conduct for Law Enforcement Officials. Dalam Artikel ke-2 Resolusi tersebut ditegaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya, polisi harus menghormati dan melindungi martabat manusia serta menjaga dan menjunjung hak-hak asasi manusia. Sedangkan Artikel ke-3 menegaskan bahwa aparat penegak hukum diperkenankan mempergunakan kekerasan jika benar-benar sangat diperlukan (strictly necessary).
Pada kenyataannya, aspek penghormatan terhadap martabat manusia dan perlindungan HAM belum secara sepenuhnya bisa diterapkan oleh polisi di Indonesia. Terbukti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebutkan bahwa selama tahun 2011, Polri paling banyak diadukan ke komisi tersebut (Kompas, 17 Januari 2011).
Terkait penggunaan kekerasan, polisi Indonesia termasuk paling gemar mempergunakan senjata api meskipun kondisi di lapangan tidak benar-benar memerlukan (trigger happy). Sering terdengar berita bagaimana seorang tersangka pelaku kejahatan ditembak hanya karena melarikan diri dari kejaran polisi. Padahal dalam penjelasan Artikel ke-3 Code of Conduct for Law Enforcement Officials Majelis Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa ditegaskan bahwa penggunaan senjata api merupakan upaya luar biasa (extreme measure). Maksudnya, penggunaan senjata api hanya diperbolehkan jika memang situasi sangat mendesak, misalnya jika seorang tersangka pelaku kejahatan melakukan perlawanan dengan senjata api. Inilah alasannya mengapa polisi di beberapa negara lain dilengkapi dengan Taser, yakni senjata kejut atau senjata setrum yang lazim dipergunakan untuk melumpuhkan seorang tersangka pelaku kejahatan tanpa harus membunuh. Penggunaan Taser di negara-negara lain sudah berlangsung lama, tetapi mengapa alat tersebut belum dipergunakan polisi di Indonesia?
Jika kita melihat kenyataan betapa polisi kerap terjebak dalam lingkaran setan penciptaan masalah baru ketika berupaya menyelesaikan masalah-masalah Kamtibmas, kiranya sudah saatnya Polri back to basic atau kembali pada prinsip-prinsip dalam Code of Conduct for Law Enforcement Officials Majelis Umum PBB. Dunia internasional sudah mengakui bahwa Kepolisian RI merupakan salah satu lembaga kepolisian terhebat di dunia berkat keberhasilannya dalam pemberantasan terorisme. Tetapi prestasi tersebut dirasakan belum lengkap jika Polri belum bisa menyelesaikan masalah tanpa menciptakan masalah.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H