Pada akhir Agustus 1995 hujan membasahi Montréal dan membuat hawa kota terbesar di Provinsi Québec, Canada tersebut terasa sejuk walaupun pada saat itu masih musim panas. Kesejukan Montréal seolah menenangkan pikiran saya yang baru tiba di sana bersama dua puluh tiga orang rekan dari berbagai provinsi di Indonesia yang menjadi peserta Program Pertukaran Pemuda Indonesia – Kanada (PPIK) 1995-1996. Kesempatan untuk mengikuti pertukaran pemuda tersebut adalah suatu pengalaman berharga yang mesti disambut dengan perasaan gembira. Namun kenyataan bahwa Bahasa Perancis dipergunakan sebagai bahasa sehari-hari di provinsi itu sedikit membuat pikiran tidak tenang karena saya belum mahir berbahasa Perancis.
Bendera Quebec
Akhirnya dengan semangat untuk memperoleh pelajaran maupun pengalaman berharga, segala rasa galau mesti disingkirkan jauh-jauh. Di Montréal, kami mengawali kegiatan pertukaran pemuda dengan orientasi awal selama beberapa hari. Orientasi tersebut dibimbing oleh beberapa Pembina dari Jeunesse Canada Monde (JCM). JCM merupakan LSM yang bergerak di bidang pendidikan informal dan kepemudaan. Di provinsi lain di Kanada LSM tersebut dikenal dengan nama Canada World Youth (CWY) dan merupakan mitra Pemerintah RI dalam penyelenggaraan PPIK di Kanada. Selama pelaksanaan orientasi, bahasa pengantar adalah Bahasa Perancis. Buku pedoman pembelajaran yang menjadi pegangan kami selama program pun ditulis dalam Bahasa Perancis. Jika di provinsi lain judul buku pegangan tersebut adalah Learning Guide, namun di Québec diganti menjadi Le Guide D’apprentissage.
Setelah beberapa hari menjalani orientasi di Montréal, akhirnya tibalah waktunya bagi kami untuk meninggalkan kota itu guna mengikuti kegiatan orientasi selanjutnya di kawasan Charlevoix yang berada di pedalaman Québec. Setibanya di tempat tujuan, kami disambut oleh kawan-kawan dari berbagai provinsi di Kanada yang menjadi mitra program (counterparts). Namun karena program ini dilaksanakan di Québec, istilah counterpart pun mesti diganti dalam bahasa Perancis menjadi homologue. Kali ini kegiatan orientasi menjadi lebih meriah karena pesertanya lebih banyak setelah ditambah dengan dua puluh empat peserta dari Kanada.
Lagi-lagi, orientasi dilaksanakan dengan Bahasa Perancis sebagai bahasa pengantar. Pada kesempatan ini pula kami menemukan fakta bahwa tidak semua peserta dari Kanada bisa berbahasa Perancis, termasuk homologue saya. Homologue saya bernama Shane Ruljancich dan berdarah campuran Kroasia-Skotlandia. Pengetahuannya tentang Bahasa Perancis kala itu tidak lebih baik dibanding kawan saya asli Bandung yang bernama Rina. Hal ini wajar karena Shane berasal dari kota Castlegar yang berada di provinsi berbahasa Inggris, yakni British Columbia. Karena kemampuan berbahasa Perancis yang tidak merata itu, kawan-kawan yang mahir berbahasa Perancis seperti Rina diminta untuk menjadi penerjemah Bahasa Perancis – Inggris selama berlangsungnya orientasi.
Setelah orientasi di Charlevoix selesai, kamipun segera dipisah-pisah sesuai grup masing-masing dan diberangkatkan menuju kota di mana kegiatan inti dari PPIK dilaksanakan selama Fase Kanada. Grup saya beranggotakan tujuh orang Indonesia dan tujuh orang Kanada yang masing-masing dipimpin oleh ketua grup (agent de projet). Kami ditempatkan di kota Saint Raymond dan tiap peserta tinggal di sebuah keluarga Québec beserta masing-masing mitra program (homologue). Konsekwensinya, dalam kehidupan sehari-hari kami seperti dipaksa untuk berbicara dalam Bahasa Perancis. Ahmad Fuadi (penulis novel Negeri 5 Menara), termasuk seorang peserta yang beruntung dalam grup kami karena mendapat homologue Francophone (penutur Bahasa Perancis) asli Québec bernama François Leclerc. Itu berarti Fuadi mendapat guru privat gratis selama pelaksanaan program.
Selama berada di Saint Raymond, saya benar-benar dapat merasakan betapa Québec benar-benar merupakan suatu provinsi yang unik karena penggunaan Bahasa Perancis sebagai bahasa resmi sekaligus bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga-lembaga pemerintah maupun sekolah dinamai dalam bahasa Perancis. Jika di provinsi lain lembaga kepolisian cukup disebut dengan Police Department, tidak demikian halnya dengan Québec yang memiliki Surêté du Québec (Keamanan Quebec) disingkat SQ sebagai lembaga kepolisian. SQ juga memiliki moto unik dibandingkan lembaga-lembaga kepolisian lain di dunia yang kebanyakan berbau Amerika (To Protect and To Serve). Moto SQ adalah service, integrité, justice (pelayanan, integritas dan keadilan). Suatu moto yang mengindikasikan semangat untuk mewujudkan polisi yang melayani dengan dilandasi integritas guna mewujudkan keadilan.
Begitu setianya Québecois (orang Québec) dengan Bahasa Perancis hingga film-film di bioskop pun mesti didubbing dalam Bahasa Perancis. Jangan harap untuk bisa menemukan film-film berbahasa Inggris jika kita tidak pergi ke Montréal yang memang lebih bilingual dibanding kota-kota pedalaman seperti Saint Raymond. Lembaga pendidikan seperti école secondaire atau polyvalentes lebih dikenal dibanding sebutan high school. Balaikota yang dalam bahasa Inggris disebut sebagai city hall, di Québec dikenal dengan sebutan hotel de ville. Selain itu, setiap kali berpapasan dengan orang yang kita kenal di jalan, kata bonjour mesti diucapkan tanpa peduli pagi, siang ataupun malam. Sedangkan jika mengakhiri suatu pertemuan, kata Salut menjadi salam perpisahan. Akhirnya, satu frasa popular di kalangan kami adalah: “Attention là, c’est glissant!” artinya kurang lebih : “Hati-hati, jalanan licin!”. Frasa itu kerap kami ucapkan di antara kami ketika jalanan Saint Raymond tertutup salju tebal akibat musim dingin di Québec yang suhunya kerap mencapai rata-rata minus 10 derajat celcius.
Pelaksanaan program di Québec merupakan setengah bagian dari PPIK. Setelah menikmati dinginnya salju Québec, kami beserta rekan-rekan dari Kanada menuju Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta guna melanjutkan Fase Indonesia dari rangkaian kegiatan program pertukaran pemuda tersebut. Bersama para mitra program dari Kanada yang semuanya belum pernah ke Indonesia, perjalanan menuju Yogya dari Jakarta dengan menggunakan bus penumpang terasa mengasyikkan. François yang biasa melihat lalu lintas lancar di Kanada merasa heran melihat kemacetan Jakarta dan jalur Pantura. Ketika melihat lalat beterbangan di sekitar warung tempat kami istirahat sejenak di Pantura, kawan-kawan dari Kanada sempat menunjukkan rasa heran bercampur rasa jijik karena situasi semacam ini tak dapat mereka temui di Kanada.
Kegiatan di Yogyakarta terasa lebih ringan bagi kami yang berasal dari Indonesia, terutama bagi yang bisa berbahasa Jawa. Ini dikarenakan hambatan bahasa seperti yang kami temui pada awal-awal program di Québec tidak kami temukan di Yogyakarta. Apalagi rata-rata orang Yogyakarta bisa berbahasa Indonesia. Berbeda dengan Québecois yang tidak semuanya bisa berbahasa Inggris. Saya beserta rekan-rekan satu grup ditempatkan di Desa Purwosari yang berada di wilayah Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo.