Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

Film “?”: Argumentasi Hanung tentang Perbedaan

19 April 2011   03:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:39 506
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_102482" align="alignleft" width="300" caption="Foto diunduh dari www.perisai.net"][/caption] Sebelum “Sang Pencerah” diedarkan, saya belum pernah sekalipun menonton film karya Hanung Bramantyo. Hal itu bukan berarti saya anti film Hanung, tetapi baru ketika dia menyutradarai sebuah biopic tentang seorang tokoh penting dalam sejarah Indonesia, saya tergerak untuk menonton film salah satu sineas muda papan atas ini. Berdasarkan berbagai wawancara media dengan Hanung, film “Sang Pencerah” seolah mencerahkan pikiran Hanung dan membulatkan tekad dia untuk selanjutnya menyutradarai film-film yang mengandung idealisme. Tentu saja ketika kita berbicara tentang idealisme, berarti yang dimaksud adalah pandangan atau pilihan yang sangat personal. Konsekwensinya,idealisme seorang Hanung bisa jadi berbeda dari idealisme orang-orang pada umumnya.

Film Tanda Tanya (“?”) yang beredar sejak minggu pertama April 2011 adalah film yang mengusung idealisme Hanung. Lebih tepatnya, film “?” adalah idealisme yang terwujud dalam argumentasi audio-visual tentang kehidupan di tengah-tengah aneka perbedaan. Masalah perbedaan inilah yang sekaligus menjadi suatu setting realita sosial film ini. Ada Surya (Agus Kuncoro), seorang anak muda yang berjuang keras mepertahankan imannya sebagai seorang muslim di tengah segala cobaan hidup yang dia hadapi. Lihatlah Rika (diperankan Endhita) sebagai seorang janda beranak satu yang berpindah keyakinan menjadi penganut Katolik! Kita juga dapat melihat Ping Hen (Rio Dewanto), pemuda keturunan penganut Konghucu yang sejak awal hingga akhir film selalu terlihat cemberut dan skeptis. Tak dapat dilupakan juga tokoh Menuk dan Soleh, pasangan suami istri yang diperankan oleh Revalina Temat dan Reza Rahardian dengan segala permasalahan rumah tangga yang mereka hadapi.

Alur cerita film “?” berputar pada interaksi yang dialami oleh tokoh-tokoh itu atau lebih tepatnya bagaimana tokoh-tokoh tersebut menjalani kehidupan mereka di tengah-tengah segala perbedaan yang mereka temui. Jika diantara para tokoh tersebut ditarik satu garis pemisah, maka mereka akan terbagi ke dalam dua golongan. Golongan pertama terdiri dari para tokoh yang mampu menerima segala perbedaan untuk menghindari segala konflik. Dalam golongan ini termasuk Surya, Rika, Menuk dan Tan Kat Sun (diperankan oleh Hengky Sulaeman). Golongan kedua terdiri dari para tokoh yang kurang mampu menerima perbedaan dalam interaksi sosial. Dalam golongan kedua terdapat Ping Hen dan Soleh.

Para tokoh golongan pertama yang mampu menerima perbedaan dalam interaksi sosial ini kiranya mewakili argumentasi audio-visual Hanung tentang hidup dalam berbagai perbedaan. Konflik sosial dapat dihindari dengan kemampuan berinteraksi seperti itu. Meskipun demikian, dalam film ini sebenarnya terdapat suatu pesan penting yang mungkin luput dari perhatian para pemirsa. Jika kita perhatikan adegan film ini pada menit-menit awal, sorotan kamera sekilas mengarah pada foto tokoh anti kekerasan Mahatma Gandhi yang terpasang pada interior toko buku “Footnote” milik Rika. Keberadaan foto Gandhi tersebut memberi makna penting pada idealisme yang terkandung dalam film ini. Senafas dengan Gandhi yang mengajarkan penyelesaian berbagai masalah melalui jalan anti kekerasan, film “?” sebenarnya juga membawa suatu pesan bahwa hidup dalam berbagai perbedaan di tengah masyarakat mestinya diarahkan untuk menciptakan suatu harmoni yang bisa menentramkan semua anggota masyarakat. Menghadapi perbedaan dengan kekerasan tidak akan menyelesaikan masalah.

Sebagai penonton, saya penasaran dengan alasan pemilihan Semarang sebagai setting lokasi film ini. Namun saya juga memahami bahwa Semarang adalah kota yang lumayan multikultural sejak dulu. Elemen budaya Islam, Katolik, Kristen, Jawa dan Tionghoa peranakan telah menciptakan identitas unik bagi kota penting di Jawa Tengah ini. Keunikan lain dalam film ini adalah pemilihan bangunan-bangunan bernuansa Indies sebagai latar belakang. Nampaknya Hanung berkeinginan kuat untuk menampilkan nuansa retro dalam film ini, seperti nampak dalam adegan para pemusik jalanan yang bernyanyi di emperan bangunan bergaya art deco.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun