Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Blitar, Februari 1945

7 Maret 2012   23:46 Diperbarui: 8 Februari 2017   01:52 1500
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pasukan Pembela Tanah Air (sumber : www.boombastis.com)

Sore kemarin, saya masih bisa menikmati kenyamanan beristirahat di atas kasur di barak Daidan Blitar, tetapi sore ini saya harus membaringkan badan di sebelah tumpukan sampah dengan aneka bau menyengat. Tadi pagi, saya masih mengenakan seragam Giyugundengan pangkat Bundancho, namun sekarang saya mesti mengenakan celana pendek lusuh dari bahan karung goni dengan telanjang dada. Apalagi sekujur kulit tubuh saya tertutup lumpur yang sudah mengering. Penampilan saya  benar-benar terlihat mirip orang tidak waras yang dulu pernah beberapa kali saya lihat di satu sudut Kidoel Pasar Straat, Malang.

Hari ini, Rabu 14 Februari 1945, saya bersama ratusan anggota Daidan Peta Blitar melakukan perlawanan terhadap tentara Jepang. Kami sudah tidak tahan dengan segala bentuk kekejaman, penindasan dan keangkuhan tentara Jepang. “Kita sungguh tercela di mata Tuhan jika sebagai sekumpulan pemuda terlatih dan dipersenjatai mendiamkan apa yang dilakukan tentara Jepang terhadap rakyat!” Kata-kata yang diucapkan Mas Pri itu selalu terngiang di telinga saya. Dengan kata-kata itu pula Mas Pri berhasil meyakinkan Chudancho Ismail, seorang dokter yang berpangkat lebih tinggi dibanding Mas Pri yang seorang Shodancho.

Letusan Mortir Tekidanto dini hari tadi menandai Jam H dimulainya perlawanan. Menghadapi serangan pendadakan oleh para anggota Peta, tentara Jepang yang kebanyakan masih terbuai mimpi menjadi kewalahan. Namun ternyata pengalaman tempur mereka yang terlalu mumpuni membuat mereka cepat melakukan konsolidasi. Pada saat matahari mulai meninggi, pasukan kami mulai kewalahan. Regu yang saya pimpin akhirnya terdesak di sekitar Stasiun Gebang oleh gabungan kekuatan pasukan  polisi istimewa Tokubetsu Keisatsutai dan tentara Dai Nippon. Kami melakukan perlawanan  semampu kami sampai akhirnya suara desingan mortir Tekidanto membuat saya secara reflek berguling ke sisi kanan untuk menghindar dan tercebur ke dalam sungai kecil yang berlumpur. Ledakan mortir itu terdengar sangat keras.

Suasana menjadi hening setelah mortir itu meletus. Saya tetap berada dalam sungai berlumpur yang dalamnya sekitar satu setengah meter dan ditumbuhi rumput lebat itu sampai situasi benar-benar aman sambil memeluk senapan Arisaka saya. Rupanya letusan Tekidanto telah mengganggu pendengaran saya. Saya melihat bayang-bayang para tentara Jepang di pinggir sungai, tetapi tidak bisa mendengar apa yang mereka perbincangkan. Lebatnya rumput benar-benar membuat saya terlindungi, namun saya tetap merasa cemas. Sambil perlahan memastikan bayonet tetap terpasang pada senapan saya, dalam hati saya berdoa disertai dzikir dengan mengucap Nama Allah sebagaimana dulu pernah diajarkan guru mengaji saya di kampung, Kiai Sukadi. Alhamdulillah, tentara Jepang dan para polisi itu tidak memeriksa ke dalam sungai. Entah apa penyebabnya. Saya yakin ini semua karena pertolongan Allah semata.

Cukup lama saya memeluk senapan di dalam sungai berlumpur itu hingga akhirnya suasana menjadi hening kembali. Perlahan saya mengintip situasi di sekeliling. Suasana ternyata benar-benar sepi. Hanya ceceran darah yang masih agak basah serta sobekan baju seragam Peta yang tertinggal, tetapi saya tidak melihat satupun anggota regu saya. Apakah mereka dibawa tentara Jepang dalam keadaan gugur atau terluka?

Bangunan-bangunan di sekitar sungai juga benar-benar nampak sepi. Dalam hati saya bertanya-tanya. Apakah semua bangunan itu memang kosong atau semua penghuninya mengunci rapat-rapat di dalamnya agar tidak menjadi korban peluru nyasar atau pecahan granat maupun mortir? Yang saya khawatirkan, jangan-jangan di salah satu bangunan itu terdapat tentara Jepang, Kenpeitai, polisi atau anggota Beppan yang yang sedang bersembunyi sambil mengamati situasi!? Stasiun Gebang yang bisa terlihat dari tempat saya sembunyi juga terlihat sunyi sepi.

Cukup lama saya mengamati situasi sekeliling sungai tempat saya bersembunyi. Saya teringat taklimat yang disampaikan oleh Mas Pri kemarin malam. “Jika gerakan kita mengalami kegagalan, kita mesti menyelamatkan diri dengan cara menyamar sebagai rakyat jelata. Jika perlu kita harus siap hanya bercelana pendek dari goni saja. Yang penting, perhatikan keselamatan karena sesuai ajaran agama kita masing-masing, kita wajib mempertahankan hidup.”

Mas Pri yang dididik di Seinen Dojo Tangerang, tentu sudah menguasai berbagai teknik penyamaran karena para instrukturnya kebanyakan adalah para anggota Intelijen Khusus Tentara ke-16 AD Jepang yang terkenal dengan sebutan Beppan. Sedangkan saya hanya tentara Peta dengan bekal latihan infanteri biasa. Tidak pernah diajari teknik menyamar seperti tentara Peta Yugeki yang memang dilatih khusus gerilya dan melancarkan operasi Boryaku atau operasi rahasia.

Akhirnya saya benar-benar harus bercelana pendek dari bahan karung goni saja dan tiduran di sebelah tumpukan sampah dekat Stasiun Gebang pada sore ini. Seragam Peta serta senapan Arisaka dan sepatu sudah saya buang. Berkali-kali regu-regu gabungan tentara dan polisi pendudukan Jepang berseliweran di sekitar stasiun dan saya mesti berpura-pura tidak waras. Ini soal hidup atau mati. Saya tidak pernah belajar drama, tetapi sering melihat tindak tanduk orang gila. Ditambah pengalaman saya menonton topeng monyet, saya mencoba menirukan ekspresi monyet digabung dengan ekspresi orang tidak waras.

Dalam belajar segala sesuatu, saya memiliki prinsip niteni (mengingat), niru(meniru) dan nambahi(mengembangkan). Prinsip itu benar-benar saya terapkan sekarang agar saya selamat dari perburuan tentara Jepang yang sedang memburu para pengikut Shodancho Supriyadi.

Beberapa saat lagi matahari mulai tenggelam. Hujan rintik-rintik membasahi bumi. Di kejauhan nampak barisan tentara Jepang sedang bergerak menuju ke arah saya. Ini berarti saya mesti beraksi menirukan monyet lapar sambil mengais-ngais sampah. Sekali lagi, saya harus mengecoh tentara Jepang demi keselamatan diri saya. Dari atribut yang dipakai, saya mengenali kali ini yang berpatroli adalah satu regu pasukan dari Resimen Katagiri yang bermarkas di Malang. Komandan regunya membawa senapan Arisaka, sementara pistol Nambu terselip dalam sarung pistol yang tergantung di pinggangnya. Topi bajanya dibiarkan menggantung pada leher. Jepang benar-benar menganggap pemberontakan kami sangat serius sampai-sampai mendatangkan bala-bantuan dari Malang. Saya tidak berani terang-terangan menatap para tentara itu. Takut menimbulkan rasa curiga.

Ketika regu pemburu itu sudah menjauh saya membaringkan diri lagi di dekat tumpukan sampah sambil berpikir keras untuk menemukan cara menyelamatkan diri. Jika saya melarikan diri ke arah Malang, saya mesti melewati Garum. Itu berarti bunuh diri karena di Suikerfabriek Garum ada pos tentara Jepang dan saat ini saya yakin pasti lebih banyak tentara Jepang yang berada di sana untuk memburu kami. Melarikan diri ke Kediri dan Tulungagung juga mustahil karena semua pintu perbatasan Blitar pasti sudah dijaga rapat-rapat oleh Jepang.

Hari sudah benar-benar gelap dan hawa dingin mulai terasa menerpa dada saya yang tipis.  Kota Blitar benar-benar sunyi malam ini hingga suara katak dan jangkrik terdengar lebih keras dari biasanya. Saya terus berpikir dan berdoa untuk menemukan jalan keluar. Ke mana dan bagaimana saya mesti keluar dari kota yang terkepung ini? Ya Allah Yang Maha Penolong, bantulah hambamu yang lemah ini untuk menemukan jalan keluar.

Akhirnya saya benar-benar tidak kuat menahan lelah dan kantuk. Sambil menahan rasa dingin, saya menekuk kedua kaki dan meletakkan kepala diantara dua lutut yang saya peluk dengan kedua lengan.

Tiba-tiba dari kejauhan terdengar suara peluit lokomotif uap. Nampaknya kereta api dari arah Malang. Perlahan-lahan semangat mulai tumbuh dalam diri saya. Rasa kantuk mulai hilang. Saya mulai bersemangat lagi untuk memikirkan cara menyelamatkan diri. Lambat laun kereta api itu mulai mendekat. Suara lokomotifnya yang keras bagaikan rangkaian bunyi genderang pembangkit semangat. Kedatangan kereta api ini sekaligus mengingatkan saya bahwa saya memiliki kenalan baik seorang masinis yang biasa menjalankan kereta api jurusan Malang – Kediri. Masinis itu bernama Tabri. Ya, saya akan mencoba mencari masinis ini untuk meminta bantuan menyelamatkan diri. Masalahnya, apakah mungkin Pak Tabri sekarang berada di Blitar? Biasanya masinis itu menginap di Kediri sebelum pagi harinya menjalankan kereta kembali ke Malang. Tidak ada cara lain kecuali mendatangi mess masinis yang terletak di dekat Dipo Lokomotif Stasiun Blitar untuk memastikan keberadaan Masinis Tabri. Sebagai konsekwensinya, saya kembali harus mempertaruhkan nyawa untuk pergi ke Stasiun Blitar di tengah-tengah barikade ketat tentara Jepang.

Dari kejauhan terdengar dua belas kali dentang bunyi lonceng di Pos Jaga Tentara Jepang. Berarti sekarang sudah jam 12 malam. Ini waktu yang tepat untuk mulai bergerak menuju Stasiun Blitar. Hawa dingin kota Blitar pada tengah malam benar-benar terasa menusuk-nusuk tulang dan saya mulai melangkahkan kaki perlahan-lahan disertai kewaspadaan. Demi menghindar dari patroli Jepang, saya memilih berjalan menyusuri rel kereta api.

Instruktur saya di pelatihan Peta pernah mengajarkan bahwa dalam setiap pertahanan musuh maupun pengepungan, biasanya selalu terdapat kelalaian yang menciptakan celah untuk melakukan penerobosan. Saya berdoa moga-moga rel kereta api adalah titik kelalaian Jepang sehingga tidak terjaga dengan baik atau bahkan luput dari pengawasan patroli.

Sudah lumayan jauh saya berjalan ditemani suara katak dan jangkerik serta nyanyian burung hantu yang riuh. Jarak Stasiun Gebang dan Stasiun Blitar kira-kira dua kilometer. Jarak itu bisa ditempuh kira-kira setengah jam oleh orang yang berjalan agak santai. Namun berjalan sambil memasang semua panca indera untuk menjaga kewaspadaan terasa lebih lambat dari orang yang berjalan santai sekalipun. Suara derap langkah, putaran ban sepeda maupun patroli Tokubetsu Keisatsutai bermotor wajib saya waspadai. Begitupula berkas-berkas sinar lampu senter maupun lentera tenteng. Alhamdulillah, tidak ada rintangan yang berarti hingga mendekati Stasiun Blitar. Bahkan Pos Perlintasan KA yang biasa dijaga orang Indonesia juga masih kosong.

Stasiun Kereta Api maupun Stasiun Trem sejak sebelum Jepang datang dianggap sebagai obyek vital sehingga selalu dijaga oleh Opas atau Agen Polisi. Jepang juga memiliki pandangan yang sama dalam pengamanan stasiun kereta api. Namun setelah kami melakukan pemberontakan, pasti penjagaan lebih ketat. Ya, kira-kira 500 meter dari Stasiun Blitar terlihat beberapa prajurit Jepang berpatroli mondar-mandir sambil membawa senjata lengkap. Saya menghentikan langkah dan menoleh ke sekeliling untuk mencari tempat persembunyian yang aman sambil memikirkan cara untuk menerobos penjagaan Jepang.

Mess masinis terletak di sisi kiri jika dilihat dari rel menuju Stasiun Blitar dari arah Stasiun Gebang. Saya memutuskan untuk bergerak melambung jauh  ke kiri karena penjagaan Jepang di sepanjang jalur rel masuk menuju stasiun benar-benar terlihat ketat. Setelah berdoa, saya kembali bergerak perlahan sambil merunduk dengan memanfaatkan rimbunan pohon-pohon di tegalan dan tanggul-tanggul berlumpur. Saya jadi teringat masa kecil saya dulu ketika menghindari patroli Bewakker dan Polisi setelah mencuri tebu di perkebunan Blimbing milik Onderneming Kebonagung bersama teman karib saya Wim Janssens,  yang tinggal dekat  rumah orang tua saya  di Glintung, Malang. Ini bagaikan mengulang petualangan masa kecil.

Bergerak melambung melewati tegalan dan semak terasa lebih berat daripada berjalan melewati rel kereta api karena rintangan lebih banyak. Saya juga mesti waspada terhadap ular berbisa maupun ular sawah. Dan saya harus bergerak sesenyap mungkin untuk menghindar dari tentara Jepang. Berkali-kali saya berhenti, merunduk, tiarap, merayap dan berguling untuk menghindar dari sorotan lampu senter tentara Jepang. Lapisan lumpur kering yang menyelimuti tubuh saya nampaknya benar-benar membantu penyamaran gerakan saya.

Entah berapa jauh jarak saya dari mess masinis sekarang. Bangunan itu terlihat diterangi lampu dengan sinar temaram. Tiba saatnya saya melakukan gerakan lurus mengarah ke bangunan itu. Ini tahap paling berbahaya karena saya mesti menerobos perimeter penjagaan Jepang. Semoga penjagaan di sisi ini tidak seketat penjagaan di sisi lainnya.

Lampu di sekitar mess masinis benar-benar tidak seterang lampu di dekat rel. Ini sangat membantu gerakan saya. Perlahan-lahan saya mengendap sambil mewaspadai situasi di sekeliling.  Tampaknya gerakan saya masih aman. Namun entah dari mana datangnya. Tiba-tiba leher saya ditarik dari belakang diikuti pitingan lengan yang kuat. Tubuh saya lalu ditarik mendekati bangunan Mess Masinis. Celaka!!! Saya tertangkap tentara Jepang. Habislah riwayat saya. Tentara Jepang ini benar-benar kuat. Saya yang kelelahan dan kedinginan tidak bisa melakukan perlawanan berarti.

Orang Jepang ini mendorong tubuh saya ke dinding sambil memegang kedua bahu saya kuat-kuat. “Hah….!!!! Slamet San kah?! Ikut Supriyadi kah?!!! Dia rupanya mengenal saya dengan baik. Pandangan mata saya yang masih agak kabur akibat cengkeraman kuat di leher belum bisa mengenali wajah anggota Nihongun ini. “Slamet San. Ini saya Sato. Sato Ishiguro!” Tentara Jepang ini mengguncang kepala saya dengan kedua tangannya. “Slamet San jangan takut. Saya tidak ingin menyakiti Seito saya!” Perlahan kedua mata saya bisa mengenali wajah orang Jepang ini. Letnan Sato Ishiguro, salah satu instruktur kami yang baik hati dan tidak pernah menampar ketika kami berbuat kesalahan dalam berlatih.

“Slamet San. Saya memang anggota Nihongun, tetapi saya sadar bahwa kami orang Jepang sebenarnya tidak punya hak untuk menduduki Tanah Air Slamet San.”  Sato terus berbicara sambil tersenyum penuh simpati. “Saya menyadari bahwa saudara-saudara saya dari Nihongun kebanyakan berbuat kejam terhadap rakyat dan saya bisa mengerti jika Supriyadi San mengajak melakukan pemberontakan.” Tentara Jepang berusia sekitar empat puluh tahun ini lalu merangkul saya dan mengajak duduk di tanah sambil bersandar di tembok Mess Masinis. “Apa yang bisa saya lakukan untuk Slamet San?” Orang Jepang itu menepuk-nepuk pundak saya.

“Letnan Sato, saya ingin keluar dari Blitar. Dapatkah Tuan membantu saya?” Sato mendengarkan saya sambil nampak berpikir. “Jangan panggil saya Tuan atau Letnan  lagi. Panggil saya Sato San saja. Begini Slamet San. Kamu bisa ikut kereta api angkutan barang ke Malang yang akan berangkat nanti. Tetapi kamu tidak bisa pergi memasuki kota Malang. Sejak pemberontakan kemarin, Nihongun melakukan penjagaan ketat di Malang. Slamet San sebaiknya pergi ke tempat lain yang lebih aman.”

Saya berpikir kembali. Tempat mana yang kira-kira cukup aman pada saat ini? “Slamet San jangan sampai tertangkap tentara Dai Nippon karena saya mendengar bahwa Letkol Masugi mengusulkan agar para anggota Peta yang terlibat pemberontakan mesti diajukan ke Mahkamah Militer dan kemungkinan hukumannya sangat berat.” Sato terus berbicara dan menasehati saya seperti dulu ketika melatih kami sebagai para Seito atau siswa-siswanya.

“Sato San, saya kalau begitu pergi ke Pohgajih saja karena tempat itu cukup terpencil. Apakah menurut Sato San tidak banyak tentara Jepang yang berada di sana ?” Pohgajih memang lumayan terpencil dan terletak di kawasan lembah dekat perbatasan wilayah Blitar dan Malang. Saya memiliki paman di Pohgajih dan ada juga teman-teman saya yang tinggal di sana. Dari Pohgajih, saya juga bisa bergerak ke desa-desa lain di sekitarnya, seperti Selorejo dan Karangkates sampai situasi benar-benar aman.

“Saya kira Pohgajih merupakan pilihan yang bagus, Slamet San. Baiklah sekarang Slamet San membersihkan tubuh dulu di kamar mandi itu. Nanti Slamet San saya beri seragam Nihongundan menyamar sebagai pengawal kereta api pembawa barang-barang yang berangkat ke Malang.” Sato berbicara sambil menunjuk ke arah kamar mandi yang berada di samping Mess Masinis.

Ketika saya selesai mandi, Sato sudah menunggu di depan pintu kamar mandi sambil membawakan seragam tentara Jepang lengkap dengan sepatu untuk saya pakai. “Cepat pakai seragam ini Slamet San! Nanti akan saya beri petunjuk lebih lanjut!” Sato berbicara sambil menepuk-nepuk bahu saya seolah ingin menenangkan saya.

Saya masih bingung. Mengapa Sato Ishiguro mau menyelamatkan saya? Sebagai instruktur, dia memang baik hati dan memiliki jiwa seorang pendidik yang sangat baik. Tidak pernah sekalipun dia menampar para anak didiknya. Jika kami mesti dihukum dengan cara berdiri tegap di bawah panasnya sinar matahari di tengah lapangan, Sato pasti menemani berdiri di belakang kami. Menurut Sato, seorang instruktur harus memberikan contoh yang baik kepada para anak didiknya. Namun bagi saya, penjajah tetap penjajah. Walau Sato Ishiguro seorang pelatih yang baik, dia tetap tentara Jepang yang menduduki negeri kami. Tetapi apa yang baru saja dia lakukan membuat saya berubah pikiran. Ternyata tidak semua tentara Jepang jahat dan kejam.

Setelah seragam tentara Jepang saya kenakan dengan rapi, Sato segera meminta saya untuk mengikutinya. “Slamet San tampil biasa saja. Jangan gugup dan jangan menimbulkan rasa curiga para anggota Nihongun yang ada di sini. Berlakulah seolah kamu anak buah saya. Ikuti langkah saya.” Sambil mengikuti Sato, saya melihat deretan gerbong barang di jalur nomer tiga Stasiun Blitar. Nampak sejumlah pekerja masih sibuk memuati gerbong-gerbong itu dengan hasil bumi. Mereka rupanya tidak beristirahat, padahal ini masih kira-kira jam tiga pagi. Sato mengajak saya masuk ke dalam ruangan yang berada di sebelah Kantor Kepala Stasiun. “Ini ruangan untuk para perwira yang bertugas di stasiun ini.” Sato menjelaskan sambil mengambil senapan Arisaka yang berada di rak senjata. “Slamet San harus membawa senapan ini sebagai perlengkapan pengawal kereta barang.” Sato menyerahkan senapan Arisaka itu beserta bayonetnya sekaligus.

“Sewaktu kamu mandi tadi, saya sudah memerintahkan satu prajurit yang sedianya mengawal gerbong barang untuk bergabung dengan regu pengamanan stasiun. Jadi kamu bisa menggantikannya dan menyamar sebagai penjaga gerbong nomor sembilan. Ada sepuluh gerbong barang yang disiapkan, tetapi nanti ada tambahan delapan gerbong dari Kediri. Jadi rangkaian kereta api nanti akan menarik delapan belas gerbong. Ada dua lokomotif yang menariknya. Sesuai prosedur pengamanan, terdapat enam tentara yang mengawal kereta api itu. Satu tentara berjaga di lokomotif ke dua. Di gerbong nomer 3, 9 dan 15 terdapat masing-masing satu tentara. Sedangkan di gerbong nomor 18 dijaga oleh dua orang tentara”. Sato Ishiguro menjelaskan sambil mempersilahkan saya duduk di kursi.

“Terima kasih Sato San. Mengapa Anda mau menolong saya? Saya sudah bergabung dengan Shodancho Supriyadi dan Sato San wajib menangkap saya sebagai pemberontak.” Saya berusaha meminta penjelasan tentang keputusan perwira Jepang ini untuk membantu saya lolos dari Blitar. “Slamet San, tahukah kamu bahwa saya sebenarnya merasa diselamatkan oleh kalian para anggota Peta? Seandainya saya tidak diperintahkan Gunseikanbu untuk melatih Peta, saya pasti sudah dikirim ke Pasifik. Itu berarti saya harus bertempur habis-habisan melawan Amerika dan sekutunya. Belum tentu saya bisa bertahan di pertempuran Pasifik. Berkat kalian, saya berada dalam situasi lebih aman. Saya merasa berhutang pada Slamet San dan anggota Daidan Blitar lainnya. Sayang, pangkat saya tidak terlalu tinggi untuk memiliki wewenang menyelamatkan kalian semua. Sebagai perwira rendahan, saya masih harus mematuhi perintah para atasan.” Sato Ishiguro terus berbicara dan menceritakan bahwa beberapa anak didiknya gugur karena berusaha melawan ketika akan ditangkap. Matanya berkaca-kaca. Sebelumnya saya hanya mengenal dia sebagai seorang instruktur yang baik tetapi keras hati. Tak pernah sekalipun dia menunjukkan jiwa yang lembek. Tetapi di balik itu semua, dia ternyata memiliki perasaan yang lembut. Apakah ini karena dia terlalu lelah bertempur dari satu tempat ke tempat lain? Atau dia memang seorang perwira berhati lembut? Entahlah!

Pelan-pelan terdengar lokomotif di Dipo mulai dipanasi. Berarti tidak lama lagi saya mesti berangkat. “Slamet San, sandinya adalah Fujiyama-Sakura. Jika kamu ditanya Fujiyama, jawablah dengan Sakura atau sebaliknya. Jangan Lupa! Jika kamu salah menjawab, kamu akan langsung ditembak.” Saya mesti benar-benar mengingat dua kata itu agar selamat. Itu sandi pengawalan yang nampaknya sudah dikoordinasikan dengan pos-pos tentara Jepang yang berada di stasiun-stasiun pada rute menuju Malang.

*****

Hari masih nampak gelap, namun burung-burung mulai berkicau menyambut datangnya pagi. Rangkaian kereta api barang dari Kediri sudah datang dan sedang disambung dengan rangkaian yang sudah disiapkan di stasiun Blitar. “Slamet San, kereta api tidak berhenti di Pohgajih. Tapi masinis akan melambatkan kereta api di setiap stasiun untuk memudahkan tentara-tentara yang ada di pos-pos melakukan pengawasan terhadap gerbong-gerbong yang lewat. Standar operasi kala siaga satu seperti itu. Jadi kamu bisa melompat ke tempat yang kamu anggap cukup aman ketika kereta berjalan perlahan memasuki stasiun Pohgajih. Jangan melompat terlalu dekat dengan stasiun karena bisa ketahuan.” Sato kembali memberi petunjuk sambil mempersilahkan saya minum kopi yang dipesan dari warung. Kopi ini benar-benar membantu saya untuk menahan kantuk dan rasa lelah karena sudah dua puluh empat jam saya tidak tidur.

“Sekarang sudah waktunya kamu berangkat. Selamat jalan dan semoga kita bisa berjumpa lagi dalam situasi yang lebih baik. Ingat dua kata sandi itu!” Saya memberi hormat pada Letnan Sato Ishiguro dan iapun berdiri lalu membalas. Ia kembali menepuk-nepuk bahu saya. “Pergilah dan selamat berjuang bagi Tanah Airmu, Bundancho Slamet Sudirjo!” Mata Sato berkaca-kaca lagi. Sayapun segera bergegas menuju ke bordes gerbong nomor sembilan. Seluruh delapan belas gerbong sudah tersambung dengan baik dan kedua lokomotif sudah tersambung. Berarti tidak lama lagi kereta api ini akan berangkat.

Sambil menunggu keberangkatan KA, saya teringat pesan Kiai Sukadi. “Nak jika kamu bepergian jangan lupa berdoa sebelum berangkat: Bismillahi tawakkaltu ‘Allalah, la hawla wa laa quwwata illa billah. Dengan nama Allah, aku bertawakal kepada Allah, tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Nya.” Begitu pesannya dan saya mengucapkan doa itu sebelum kereta api ini berangkat.

Akhirnya kereta api barang ini berangkat juga. Sambil berdiri di bordes dan memegang senapan Arisaka dalam sikap siaga, saya terus berpikir serta berdzikir menyebut Nama Allah untuk menjaga keselamatan. Bagaimana saya bisa membalas kebaikan Letnan Sato? Moga-moga kami bisa benar-benar bertemu lagi dalam situasi yang lebih baik. Entah kapan. Saya merasa menjadi orang yang berhutang.

Laju kereta api di pagi hari ini benar-benar membuat hembusan angin sejuk bagaikan alunan lagu nina bobok. Saya kembali merasakan rasa kantuk. Namun saya mesti menahannya sebelum sampai di Pohgajih. Gebang sudah dilewati dan sebentar lagi kereta akan memasuki Garum. Berarti saya mesti siap-siap memberikan hormat kepada para tentara yang berada di Stasiun Garum. Moga-moga, kulit saya yang tidak terlalu gelap dan mata saya yang agak sipit bisa membantu penyamaran saya.

*****

Stasiun Talun sekarang sudah terlewati dan sebentar lagi kereta akan masuk Stasiun Wlingi. Kata Letnan Sato, kereta api berhenti di Stasiun Wlingi untuk  mengangkut beberapa keranjang kelapa. Kereta api ini memang merupakan kereta logistik untuk mengangkut bahan-bahan kebutuhan pokok tentara Jepang. Jadi apapun yang menjadi kebutuhan pokok, pasti diangkut. Masinis Tabri juga sering mengemudikan lokomotif yang menarik rangkaian kereta logistik Kediri – Malang, tetapi saya tidak tahu apakah dia yang berdinas sebagai masinis sekarang. Ah, itu tidak terlalu penting. Yang penting saya sudah bisa naik kereta api untuk meloloskan diri dari Blitar.

Sungguh mengasyikkan mendengarkan irama mesin dua lokomotif yang berjalan dengan kompak. Ini mengingatkan saya ketika dulu menumpang rangkaian lori tebu yang ditarik dua lokomotif. Waktu itu lori berangkat dari Blimbing menuju Kebonagung. Kira-kira ada tiga puluh lima gerobak lori yang ditarik dua lokomotif itu dan saya bersama si Belanda Glintung, Wim Janssens, hanya menumpang sampai beberapa meter sebelum melewati Jembatan Pelor di Oro-Oro Dowo. Kami takut dengan ketinggian jembatan yang berada di atas Kali Brantas itu.

Perlahan-lahan laju kereta api mulai melambat dan ini berarti memasuki Stasiun Wlingi. Saya mesti pasang sikap sempurna di bordes sambil memegang senapan. Ketika kereta api benar-benar berhenti, sikap berdiri saya ubah menghadap ke arah peron. Terlihat tiga orang tentara Jepang berlari menuju gerbong paling belakang. Rupanya mereka akan mengawasi proses pemuatan keranjang-keranjang kelapa ke dalam gerbong.

Proses pemuatan keranjang-keranjang kelapa berlangsung lumayan cepat di stasiun yang di sekitarnya banyak terdapat pohon kelapa ini. Bangunan Stasiun Wlingi juga cukup unik untuk ukuran sebuah wilayah pedesaan. Stasiunnya lebih besar dibandingkan dengan Stasiun Garum dan di sekelilingnya  banyak terdapat bangunan-bangunan perumahan dan kantor perusahaan kereta api yang didirikan oleh Staatsspoorwegen.

Tidak lama kemudian peluit Pak Sep atau Kepala Stasiun sudah berbunyi. Masinis pun membalasnya dengan membunyikan peluit lokomotif yang dalam Reglemen Perkeretaapian dikenal sebagai Semboyan 35. Kereta api segera menuju ke stasiun berikutnya, yakni Stasiun Kesamben. Berarti saya mesti segera bersiap-siap untuk melompat karena Stasiun Kesamben berlokasi di antara Stasiun Wlingi dan Stasiun Pohgajih. Saya memeriksa senapan  untuk memastikan bahwa dalam magasin senapan yang dirancang oleh Nariakira Arisaka ini sudah terisi penuh lima butir peluru. Bayonet yang terpasang di ujung laras juga saya periksa agar tidak terlepas ketika saya melompat. Menyiapkan diri dalam kondisi siap tempur sangat penting dalam pelarian ini agar tidak tertangkap Jepang di Pohgajih. Saya tidak mau mengulangi pengalaman di Stasiun Blitar meskipun yang menangkap saya adalah instruktur saya sendiri.

Semua perlengkapan sudah siap pada tempatnya, begitu pula tas punggung berisi celana pendek kumal dan baju lusuh dari bahan karung goni. Jantung saya berdebar keras. Kereta api sudah mendekati Stasiun Pohgajih. Masinis sudah mulai melambatkan laju kereta api. Dengan mengangkat telapak tangan kiri untuk melindungi mata dari terpaan sinar matahari pagi, saya mencoba memastikan jarak kereta api dan stasiun.

Laju kereta api semakin lambat. Kebetulan jarak semak-semak belukar sangat dekat dengan rel. Bismillah, saya mesti melompat sekarang. Sambil memegang senapan yang tergantung di depan badan, saya melompat ke semak belukar lalu cepat melakukan lompatan koprol ke dalam semak-semak yang lebih lebat agar tidak ketahuan tentara yang berjaga di gerbong belakang.

Saya tetap tiarap dalam semak belukar hingga gerbong ke 18 lewat di depan saya. Syukurlah tentara-tentara yang berjaga di gerbong-gerbong belakang tidak mengetahui bahwa saya telah melompat. Untuk memastikan bahwa saya benar-benar dalam keadaan aman, saya tetap diam tiarap dalam semak belukar sambil memegang senapan saya pada posisi siap tembak. Dari dalam semak belukar, saya mencoba mengamati pergerakan tentara Jepang di Stasiun Pohgajih yang berjarak kurang lebih 500 meter dari tempat saya bersembunyi. Setelah gerbong terakhir dan kepulan asap lokomotif hilang dari pandangan,  seragam tentara Jepang dan sepatu segera saya tanggalkan. Lalu saya kembali memakai celana pendek dari bahan karung goni lusuh. Namun kali ini saya tak perlu bertelanjang dada. Ada baju dari bahan goni pemberian Letnan Sato. Entah dia dapat dari mana. Tidak ada pilihan lain untuk menyelamatkan diri selain kembali menyamar semampu saya. Seragam, sepatu dan senapan pun saya sembunyikan di celah-celah batuan besar yang kebetulan bisa saya temukan.

Hari ini Kamis, 15 Februari 1945. Sinar Matahari pagi menciptakan berkas-berkas sinar  seperti yang tergambar pada bendera Pasukan Pembela Tanah Air. Sekarang saatnya saya mencari kediaman paman saya yang kira-kira berjarak dua kilometer dari Stasiun Pohgajih untuk bersembunyi. Alhamdulillah saya bisa keluar dari Blitar. Tetapi perjuangan belum selesai. Indonesia belum merdeka.




Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun