Kebobrokan dalam Kepolisian New York (NYPD/ New York Police Department) pada awal dekade 1970 an yang diungkap oleh Detektif Frank Serpico dan dipublikasikan oleh The New York Times tidak lantas dibiarkan saja oleh Walikota New York sebagai pejabat yang membawahi NYPD. Sang walikota, John Lindsay, segera memerintahkan pembentukan satu komisi penyelidikan dan penyidikan yang dikepalai oleh Jaksa Whittman Knapp. Selanjutnya komisi tersebut dikenal sebagai Knapp Commission yang hasil penyelidikan dan penyidikannya kerap dijadikan rujukan kajian dalam studi ilmu kepolisian (police science), ilmu hukum pidana maupun sosiologi hukum. Perlu diketahui, di Amerika Serikat, lembaga kepolisian lokal berada di bawah naungan pemerintah kota setempat. Jadi seorang walikota berwenang mengontrol, mengangkat dan memberhentikan kepala polisi (Charles Edwards, 2005: 251-272). Dalam kasus Serpico yang dengan segala keberaniannya bertindak sebagai “whistleblower” atau “lamplighter” (sebutan lain dari “whistleblower” yang dipopulerkan oleh Serpico), Walikota Lindsay tidak begitu saja membiarkan pertikaian antara Serpico melawan kolega-koleganya diselesaikan melalui mekanisme internal NYPD. Sang Walikota menyadari bahwa persoalan kebobrokan dalam tubuh NYPD adalah kasus serius yang mesti ditangani secara ad hoc melalui pembentukan Knapp Commission. Apalagi pada saat itu dalam tubuh NYPD berkembang suatu subkultur yang diwarnai oleh nilai-nilai permisif terhadap berbagai penyimpangan oleh polisi. Penyelesaian secara internal hanya akan berdampak pada upaya untuk saling melindungi kebobrokan sesama anggota NYPD melalui simbiosis multualisma dengan berprinsip tahu sama tahu. Kasus yang terjadi di New York ini mengajarkan kepada kita bahwa polisi di negara manapun bukan suatu entitas independen dan bertanggung jawab pada diri sendiri pula. Polisi bukanlah merupakan suatu subyek yang memiliki imunitas. Oleh karena itu, polisi patut diselidiki oleh alat negara lainnya bila terjadi penyimpangan. Pendek kata, sebagai suatu alat kelengkapan pemerintahan sekaligus bagian dari sistem peradilan pidana, polisi mesti bisa mempertanggungjawabkan segala keputusan dan tindakannya. Dengan kata lain, polisi mesti bersifat akuntabel sesuai prinsip good governance. Pada dasarnya, sesuai dengan teori Montesquieu tentang tiga elemen kekuasan, polisi mesti bersifat akuntabel terhadap eksekutif, legislatif dan yudikatif (Charles Edwards, 2005:189). Akuntabilitas terhadap eksekutif tentu terkait dengan posisi lembaga kepolisian dalam hubungannya dengan elemen eksekutif. Dalam hal ini, tiap negara memiliki beragam variasi. Di Amerika Serikat, organisasi kepolisian lokal lazimnya merupakan bagian dari pemerintahan kota dan konsekwensinya, walikota biasa membawahi kepolisian. Sedangkan di Australia, gubernur negara bagian membawahi lembaga kepolisian. Legislatif juga berkepentingan atas akuntabilitas polisi karena peraturan perundangan yang mendasari berdirinya lembaga kepolisian merupakan produk legislatif. Apakah segala amanat yang tercantum dalam suatu undang-undang maupun statuta kepolisian sudah dipenuhi atau belum? Ini tentu menjadi kompetensi legislatif untuk meminta pertanggungjawaban dari polisi. Sedangkan akuntabilitas polisi terhadap lembaga yudikatif sejatinya terkait dengan sampai sejauh mana polisi mematuhi koridor-koridor sistem peradilan pidana dalam penegakan hukum, misalnya apakah polisi sudah memperhatikan hak-hak tersangka dalam suatu proses penyidikan suatu perkara pidana atau apakah polisi sudah bekerja secara benar dalam menangani suatu perkara pidana. Dengan kata lain, proses peradilan pidana bisa disebut sebagai satu proses pengujian akuntabilitas polisi oleh yudikatif. Tetapi keefektifan proses ini mensyaratkan keberadaan hakim-hakim yang benar-benar menjalankan tugasnya sesuai amanat undang-undang serta memperhatikan nilai keadilan yang berlaku dalam masyarakat. Selain itu, satu hal yang tidak kalah penting adalah akuntabilitas polisi terhadap masyarakat. Bagaimanapun juga, kegiatan polisi dibiayai pajak yang dibayarkan oleh masyarakat. Konsekwensinya, masyarakat berhak menilai sejauh mana polisi telah bekerja dengan memperhatikan harapan-harapan masyarakat terhadap pemenuhan nilai-nilai keadilan. Satu hal yang salah kaprah jika ada pendapat bahwa nilai keadilan bagi polisi berbeda dengan nilai keadilan menurut masyarakat. Semestinya, jika semua polisi mematuhi kata nuraninya, yang berlaku adalah satu macam keadilan. Tidak ada dualisme keadilan antara versi polisi dan versi masyarakat. Dari uraian singkat ini tentunya dapat dipahami bahwa polisi di negara manapun dalam menjalankan tugasnya mesti memperhatikan aspek akuntabilitas. Ini sangat penting demi kredibilitas polisi sendiri. Di suatu negara yang memiliki banyak penduduk terdidik, melek hukum dan berwawasan kritis, keberadaan polisi yang mengabaikan aspek akuntabilitas dalam menjalankan tugasnya hanya akan membuat polisi menjadi bahan lelucon anakronis yang tidak lucu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H