Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Agus Salim : Diplomat Seratus Persen

15 Oktober 2013   14:58 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:30 1630
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1381823629206310649

Data Buku :

Judul Buku      : Agus Salim    : Diplomat Jenaka Penopang Republik

Penyusun         : Tim liputan Khusus Agus Salim (Tempo, Edisi 12-18 Agustus 2013)

Penerbit           : Kepustakaan Populer Gramedia bekerjasama dengan Majalah Tempo

Cetakan I        : September 2013

ISBN-13         : 978-979-91-0636-0

Tebal               : 178 halaman

Satu petuah yang lazim terdengar dalam pendidikan dan pelatihan para calon diplomat adalah seorang diplomat itu adalah : “Jack of all trades”. Ungkapan dalam bahasa Inggris tersebut artinya adalah seseorang yang memiliki berbagai keahlian dan pengetahuan. Sebab diplomasi pada dasarnya merupakan suatu kegiatan yang kompleks. Konsekwensinya, para diplomat wajib memiliki berbagai pengetahuan dan keahlian untuk melancarkan tugas-tugasnya.

Selama enam puluh delapan tahun perjalanan diplomasi Indonesia di dunia internasional, Indonesia beruntung memiliki putra bangsa yang benar-benar merupakan seorang “Jack of all trades”, yakni Agus Salim. Berkat perjuangan diplomasi yang dipimpin oleh Agus Salim yang kala itu menjabat sebagai Menteri Muda Luar Negeri dalam kabinet Sjahrir, pada tanggal 10 Juni 1947 Indonesia memperoleh pengakuan de jure Internasional pertama sebagai negara merdeka.

Meskipun Indonesia baru saja merdeka dan Agus Salim sudah berusia 62 tahun  ketika menjalankan tugas diplomasi untuk memperjuangkan pengakuan dunia internasional atas kemerdekaan Indonesia, dunia diplomasi bukan merupakan satu hal yang baru bagi tokoh kelahiran Koto Gadang, Sumatra Barat, 8 Oktober 1884 itu. Pada kurun waktu 1906-1911, Agus Salim merintis karirnya di dunia diplomasi ketika bekerja sebagai drogman (penerjemah) pada Konsulat Belanda di Jeddah yang kala itu dipimpin oleh N. Scheltema. Konsul Belanda itu merupakan mantan Controleur di Wlingi, Jawa Timur. Tugas Agus Salim kala itu antara lain adalah sebagai penghubung antara jemaah haji dan konsul karena pada waktu itu sudah banyak orang Indonesia yang menunaikan ibadah haji.  Namun seorang staf konsulat seperti Agus Salim juga bertugas mewakili konsulat di acara-acara resmi kenegaraan di Mekkah dan Madinah (Hal. 71- 72).

Tugas sebagai staf Konsulat Belanda di Jeddah tersebut tidak hanya memberikan Agus Salim suatu pengalaman untuk bergaul dengan kalangan diplomat, tetapi lelaki yang terlahir dari keluarga Islam yang taat tersebut juga mendapat kesempatan untuk berguru langsung pada pamannya yang menjadi salah satu ulama terkemuka di Arab Saudi, yakni Syekh Ahmad Khatib al-Minangkabawi. Jika sejarah mencatat bahwa KH Hasyim Asy’ari dan KH Ahmad Dahlan pernah berguru kepada ulama terkemuka itu, berarti mereka juga seperguruan dengan  Agus Salim.

Selesai menjalankan tugasnya di Jeddah, Agus Salim pulang ke tanah air dan beberapa kali berganti pekerjaan. Mulai dari bekerja sebagai staf di Bureau voor Openbare Werken atau Dinas Pekerjaan Umum Hindia Belanda hingga pekerjaan sebagai wartawan dijalani oleh tokoh ini. Tetapi dari berbagai pekerjaan yang pernah dijalani, pekerjaan sebagai telik sandi atau anggota dinas intelijen jarang dibahas oleh para pakar sejarah. Terdapat satu bagian dalam buku ini yang mengulas kiprah Agus Salim sebagai mata-mata Belanda dengan tugas untuk memata-matai Haji Oemar Said Tjokro Aminoto yang merupakan pemimpin Sarekat Islam (Hal. 36-43). Pengalaman Agus Salim yang bersinggungan dengan dunia spionase sebenarnya merupakan sisi unik dan menarik dari tokoh ini. Namun  buku ini kurang lengkap dalam menyorot hal tersebut. Agus Salim hanya disebutkan bekerja untuk Kepolisian Hindia Belanda tetapi tidak dijelaskan bahwa sebenarnya Politieke Inlichtingen Dienst atau Dinas Intelijen Politik adalah lembaga yang merekrut tokoh ini (lihat juga Allan Akbar : Memata-Matai Kaum Pergerakan, Penerbit Marjin Kiri 2013). Apalagi di kemudian hari Agus Salim dikenal sebagai salah satu tokoh besar Sarekat Islam (SI) yang sangat dekat dengan HOS Tjokroaminoto. Keberpihakan Agus Salim pada SI tersebut merupakan satu kegagalan operasi intelijen Belanda karena salah satu agennya ternyata justru malah bersimpati pada gerakan HOS Tjokroaminoto.

Di kemudian hari, Agus Salim yang cerdas dikenal sebagai arsitek strategi SI. Ketika timbul konflik antara SI Yogyakarta yang berhaluan Islam dan SI Semarang yang berpaham komunisme, tangan dingin Agus Salim berhasil menyelesaikan konflik tersebut lewat satui gagasan yang dikenal sebagai penegakan disiplin partai sehingga para tokoh SI yang berpaham komunisme, yakni Semaoen, Darsono dan Muhammad Kasan akhirnya keluar dari SI pada tahun 1921 (Hal. 49 – 53).

Kehebatan Agus Salim dalam berorganisasi akhirnya juga membuat para tokoh pemuda mendaulatnya sebagai penasehat dalam Jong Islamieten Bond (JIB). Dalam organisasi ini, Agus Salim menjadi mentor dan tempat bertanya para tokoh pemuda seperti Mohammad Roem dan Kasman Singodimejo. Buku ini menggambarkan betapa para tokoh pemuda tersebut selalu bersemangat berangkat untuk berdiskusi dengan Agus Salim dengan mengendarai sepeda melewati jalan-jalan yang sangat rusak menuju rumah Agus Salim  di kawasan Tanah Tinggi, Jakarta (Hal. 54 – 58).

Tak lengkap jika mengulas kehidupan Agus Salim tanpa menelusuri pula pengalamannya sebagai jurnalis idealis (Hal. 92-96). Sebagai seorang tokoh yang lahir dan menghabiskan masa mudanya pada masa kolonial Belanda, Agus Salim melihat dan mengalami sendiri bagaimana rasanya hidup di bawah kaki penjajah. Pengalaman seperti itu membentuk pendirian tertentu pada diri Agus Salim dalam menjalankan pekerjaannya sebagi seorang jurnalis. Misalnya, Agus Salim memilih mengundurkan diri dari jabatannya sebagai Pemimpin Redaksi Hindia Baroe karena pemilik Koran memintanya memperlunak kritik terhadap pemerintah kolonial. Agus Salim juga menolak subsidi pemerintah kolonial ketika memimpin Koran Neratja sebab pemberian subsidi tersebut mesti diimbangi dengan kompensasi berupa peredaman perilaku oposan. Berkat jurnalis-jurnalis idealis seperti Agus Salim ini, nasionalisme Indonesia dibangun dari media massa. Fakta sejarah seperti ini mestinya memotivasi para jurnalis muda jaman sekarang bahwa bekerja di bidang jurnalistik sama saja dengan mengawal dan melestarikan api nasionalisme sesuai dengan perkembangan masyarakat dan tantangan jaman.

Aneka pengalaman Agus Salim di atas itulah yang pada akhirnya membekalinya ketika menjalankan tugas diplomasi demi perjuangan kemerdekaan RI. Dalam perundingan yang dilakukan di atas geladak kapal USS Renville pada Desember 1947, Agus Salim menjadi anggota delegasi perunding yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin. Pada kesempatan itulah beragam ilmu, penguasaan berbagai bahasa asing dan  aneka pengalaman yang dimiliki benar-benar  diperlukan untuk menjalankan tugas diplomasi. Kemapanan dan kemampuan Agus Salim dalam diplomasi nampak antara lain ketika Belanda mempersoalkan upaya Indonesia dalam melobi dunia internasional padahal pada saat itu menurut hasil Perundingan Linggarjati dan hukum internasional yang berlaku, kedaulatan  Indonesia masih berada di bawah kerajaan Belanda (Hal. 25). Di sisi lain Belanda sendiri melakukan pelanggaran perjanjian tersebut dengan melalukan Agresi Militer I pada 21 Juli 1947. Menurut Agus Salim, pengakuan dunia internasional atas Indonesia justru disebabkan oleh serangan Belanda. Kata Agus Salim dengan penuh rasa percaya diri kepada para delegasi Belanda : “ Kalau Tuan-tuan melancarkan sekali lagi aksi militer terhadap kami, kami akan mencapai pengakuan de jure dari seluruh dunia” (Hal. 26).

Aneka pengalaman, kemampuan dan prestasi yang dimiliki tersebut akhirnya mengantar lelaki yang dijuluki “The Grand Old Man” itu ke tampuk jabatan sebagai Menteri Luar Negeri Republik Indonesia. Jabatan itu hingga sekarang bisa dikatakan sebagai salah satu pencapaian karir impian para diplomat.  Meskipun demikian, status sebagai diplomat tidak menghilangkan citra Agus Salim sebagai sosok yang hidup sederhana. Hingga akhir hayatnya pada tahun 1954, Agus Salim masih tinggal di rumah kontrakan. Bahkan Profesor Willem “Wim” Schemerhorn, menyebut Agus Salim sebagai pemimpin dan salah seorang pendiri negara yang selama hidupnya selalu melarat dan miskin (Hal. 2). Meskipun demikian warisan keteladanan yang ditinggalkan oleh Agus Salim kepada para generasi penerus sangat banyak. Dari riwayat pengalaman Agus Salim, para generasi muda bisa meneladani bahwa perjuangan menegakkan kebenaran tidak boleh dikompromikan dengan segala pertimbangan apapun.

Bagi para diplomat, sosok Agus Salim juga mewariskan suatu keteladanan bahwa seorang diplomat mesti memiliki wawasan yang luas dan aneka pengalaman yang bisa menjadi bekal dalam menjalankan tugas diplomasi. Mulai dari pemahaman bahasa dan pemahaman realita poleksosbud hankam di dalam negeri maupun di luar negeri wajib dimiliki oleh para diplomat. Sebagai seorang diplomat Agus Salim memiliki itu semua sehingga layak bagi tokoh ini untuk dijuluki sebagai seorang “Diplomat Seratus Persen”.

Buku yang disusun oleh Tim Liputan Khusus Agus Salim dari Majalah Tempo ini layak dibaca oleh berbagai kalangan. Meskipun sebenarnya disusun sebagai suatu produk liputan khusus Majalah Tempo, buku yang mengulas kehidupan salah satu negarawan terkemuka ini layak disebut sebagai suatu biografi. Jika mengacu pada teori yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo (Tiara Wacana Yogya, 2003), buku ini sudah mengandung empat hal yang lazim diketemukan dalam penulisan suatu biografi, yakni kepribadian sang tokoh, kekuatan sosial yang mendukung, lukisan sejarah jamannya dan keberuntungan serta kesempatan yang datang. Sosok Agus Salim yang sederhana dan taat beragama dan dilahirkan dalam  suatu sistem sosial Minang  yang mendorongnya untuk menempa diri melalui pendidikan serta aneka pengalaman tertuang gamblang dalam buku ini. Selain itu, kehidupan Agus Salim pada jaman penjajahan yang menumbuhkan idealisme serta adanya momentum perjuangan bangsa yang memerlukan sumbangsih totalnya terangkum dengan padat dalam buku setebal 178 halaman ini. Hal lain yang tidak kalah menarik, penggunaan bahasa  lugas ala jurnalisme Majalah Tempo membuat buku ini enak dibaca dan mudah dimengerti.

Jadi mulai dari siswa sekolah yang ingin belajar sejarah Indonesia secara lebih menarik hingga kalangan diplomat yang ingin memahami sisi unik dari Agus Salim yang menunjang kesuksesannya dalam berdiplomasi wajib membaca buku ini.

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun