Mohon tunggu...
Endiarto Wijaya
Endiarto Wijaya Mohon Tunggu... Lainnya - Padawan

Menulis dan memotret kehidupan nyata adalah kegemaran saya

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kereta Api dan Sisi Lain Perjuangan Para Perempuan

21 Januari 2010   20:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   18:20 621
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

[caption id="attachment_58443" align="alignleft" width="282" caption="Mbah Kasih, seorang pengasong di Stasiun Blitar"][/caption]

Perjalanan jauh dengan mempergunakan kereta api bagi saya selalu menimbulkan kesan beragam. Kesempatan untuk menikmati pemandangan alam beraneka warna selama dalam perjalanan adalah satu kenikmatan yang dapat diperoleh ketika kita memilih untuk naik kereta api. Perihal kesempatan untuk menikmati pemandangan alam ini tentu hanya dapat dinikmati jika kereta api berjalan tidak pada waktu malam hari. Namun baik pada malam hari maupun pagi atau bahkan siang, ada satu hal menarik yang saya temukan ketika saya naik kereta api. Hal ini berkaitan dengan masalah kegiatan para perempuan. Tapi jangan buru-buru berpikir yang tidak-tidak. Para perempuan yang saya maksud di sini bukan mereka yang bekerja sebagai pegawai restorasi KA yang lebih popular dengan sebutan “Prami”. Ini tak berkaitan pula dengan para penumpang perempuan di KA dengan segala tingkah dan penampilan mereka.

Singkat kata, para perempuan yang selalu menarik perhatian saya selama dalam perjalanan dengan menaiki kereta api tersebut adalah para kaum hawa yang mencari nafkah sebagai pedagang asongan di stasiun-stasiun. Mereka dapat ditemukan ketika menawarkan barang-barang dagangan, yang kebanyakan makanan, kepada para penumpang kereta api yang sedang berhenti.

Di negara berkembang seperti Indonesia, tentu merupakan suatu fenomena lazim jika para perempuan mencari nafkah dengan jalan berprofesi sebagai pedagang asongan. Namun yang bisa dikatakan “tidak biasa” adalah jika mereka juga berdagang pada malam yang telah larut ketika para perempuan dari kelas sosial yang lebih tinggi tentu mempergunakan saat seperti itu untuk beristirahat di tempat tidur.

Demi sesuap nasi dan keinginan untuk mencukupi kebutuhan ekonomi keluarga, para perempuan yang kebanyakan berpenampilan khas ibu-ibu tersebut tetap semangat menjajakan dagangannya. Dengan mengacungkan barang dagangan dibarengi beraneka teriakan dengan nada beragam, para perempuan tersebut menawarkan tempe, dodol, wingko, bakpia maupun nasi bungkus sambil terlihat menahan beratnya rasa kantuk. Barangkali teriakan-teriakan tersebut merupakan teriakan penumbuh semangat ala teriakan para tentara yang sedang berlatih fisik maupun berlaga di medan tempur. Ditambah dengan harapan agar barang dagangannya dibeli oleh para penumpang, teriakan-teriakan tersebut seolah memompa adrenalin sehingga menahan rasa kantuk yang menyerang hebat.

Senyum dan ucapan terima kasih dapat kita lihat dan dengar dari ibu-ibu pedagang tersebut jika ada penumpang yang membeli dagangan mereka. Transaksi jual beli antara penumpang dan ibu pengasong tersebut juga bagaikan penumbuh semangat di tengah rasa kantuk dan serangan udara malam yang dingin. Sebab setelah transaksi selesai, ibu-ibu tersebut nampak kembali bersemangat mengacungkan dagangan mereka disertai teriakan-teriakan khas tanpa kenal lelah.

Berapa keuntungan yang diperoleh para ibu tersebut? Jumlahnya tentu tidak besar dibandingkan dengan rata-rata gaji harian para eksekutif muda maupun “Mbak-Mbak Kantoran” perusahaan besar yang biasa pulang kampung Jum’at dan balik untuk bekerja di Ibu Kota pada hari Minggu. Meskipun demikian, keuntungan tersebut diperoleh melalui serangkaian perjuangan tanpa putus asa di tengah segala keterbatasan, serangan rasa kantuk dan kelelahan yang mendera. Jadi jika sebutan pahlawan tanpa tanda jasa layak diberikan kepada para guru, para ibu pengasong di stasiun-stasiun tersebut mestinya layak pula disebut sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Betapa tidak? Di mata keluarga masing-masing, para ibu tersebut berjuang demi memenuhi kebutuhan ekonomi yang semakin hari semakin membumbung sejalan dengan naiknya harga-harga kebutuhan pokok ditambah besarnya biaya pendidikan yang harus ditanggung jika mereka memiliki anak yang masih sekolah atau bahkan kuliah. Di mata masyarakat, para ibu tersebut layak disebut pahlawan karena mereka kerap bisa membiayai diri dan keluarga mereka secara mandiri tanpa repot mencari dukungan sumbangan finansial dari pihak-pihak lain.

Alih-alih, para ibu tersebut menggantungkan nasib mereka pada momentum pergerakan roda-roda gerbong kereta api penumpang yang dihela lokomotif diesel berkekuatan besar. Bagi para ibu-ibu tersebut, selama roda kereta api masih berputar, selama itu pula masih ada harapan bagi mereka untuk memperoleh rejeki yang halal. Inilah alasannya mengapa pedagang asongan senior seperti Mbah Kasih berdagang lebih dari 40 tahun di Stasiun KA Blitar. Berarti Ibu sepuh ini mulai berdagang sejak jaman gerbong KA dihela oleh lokomotif uap hingga jaman lokomotief diesel BB dan CC merajai deretan rel di pelosok-pelosok terpencil. Fenomena ini sekaligus mendukung suatu thesis betapa keberadaan stasiun dan kereta api memiliki dampak sosio-ekonomi yang besar artinya bagi masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun