Saat pertama kali membaca bagian belakang novel "Di Tanah Lada" -lupa kapan- aku merasa bahwa dunia telah dipenuhi manusia-manusia malang yang hatinya basah oleh air mata sekaligus kering cinta dan kasih sayang. Dua hari lalu, saat membuka halaman pertama novel ini, aku dibuat terpana oleh cara penulis menyambut pembacanya, sungguh sambutan yang unik dan tiada duanya, yang membuatku tertawa kecil karena aku merasa sangat terlambat membacanya.Â
Hal lain yang membuatku terpesona hingga tak mau berhenti sampai halaman terakhir adalah bahwa kisah dalam novel ini diceritakan dalam sudut pandang anak kecil. Seorang bocah perempuan berusia 6 tahun dan temannya yang juga anak kecil. Hm, seperti melemparku pada kesempatan pertama membaca "To Kill a Mockingbird" karya Harper Lee.
Alkisah, seorang ayah membenci bayinya yang baru lahir karena dianggapnya menjijikan sebab tubuh mungilnya seperti berlumuran ludah. Karenanya sang Papa menamainya Saliva. Sementara sang Mama menamainya Salva yang bermakna 'penyelamat' dan memang sepanjang hidupnya harus selalu menyelamatkan gadis kecilnya dari kebencian ayahnya sendiri.Â
Sejak bayi hingga usia 6 tahun, Ava (nama tokoh utama) merekam kebencian ayahnya sampai-sampai ia beranggapan bahwa ayahnya seorang monster atau hantu. Bukan hanya itu, ia juga merekam dengan baik perlakukan sang ayah pada Mama, dan menganggap ibunya seorang lemah dan bukanlah seorang monster.Â
Bagi Ava, semua ayah jahat, monster, hantu dan ia ingin salah seorang bibinya membelah ayahnya menjadi tujuh, masuk penjara bahkan dimakan ikan hiu. Di dunia ini, Ava beranggapan hanya memiliki ibunya, dan ingin memiliki ibu yang banyak.
Karena hidup seatap dengan ayahnya yang membencinya dan ibunya yang lemah plus selalu mengalah, Kakek Kia (orangtua ayahnya) memberinya hadiah sebuah kamus Bahasa Indonesia agar Ava mempelajari kata-kata yang baik dan berbicara dengan bahasa yang baik, agar tidak meniru ayahnya.Â
Karenanya, Ava menjadi terbiasa, hm, mungkin lebih tepat disebut ketergantungan pada kamus setiap kali ia mendengar kata-kata yang tidak ia pahami, terutama yang keluar dari mulut manusia dewasa di sekitarnya. Agak berlebihan atau terlalu dini memang jika anak berusia 6 tahun sudah mampu memahami makna kata-kata seperti yang tertera dalam kamus, tapi begitulah Ava berusaha memahami segala hal di sekitarnya.
Pada suatu hari Kakek Kia meninggal, dan setelah mendapatkan warisan yang cukup besar mereka pindah ke Jakarta, ke Rusun Neso, sebuah rusun busuk di perkampungan kumuh dekat sebuah kasino. Sang ayah yang merasa kaya karena mendapat warisan dan menjual rumah lamanya hanya berpikir untuk judi, judi dan judi.Â
Di Rusun inilah hidup Ava berubah setelah bertemu dengan bocah lelaki bernama P. Ya, hanya huruf P saja. Mereka berdua langsung cocok satu sama lain, ibarat dua jiwa yang bertemu setelah begitu lama dipisahkan. Dan sebagai korban kekerasan psikologis di keluarga masing-masing, keduanya menyadari bahwa mereka memiliki trauma, ketakutan, dan mimpi-mimpi yang sama.Â
Mereka pun sepakat untuk saling menyayangi dan tidak pernah terpisahkan, ditambah dengan kasih sayang penghuni rusun yang muda serta energik bernama Kak Suri dan Mas Alri.
Ava dan P adalah dua manusia kecil yang kerap mempertanyakan banyak hal tentang kehidupan di sekeliling mereka yang dikendalikan manusia dewasa, dimana mereka tak mampu memahami apa sebenarnya yang terjadi dan mengapa manusia dewasa berbuat demikian. Mereka bahkan sepakat bahwa seorang ayah itu jahat, dan merasa aneh jika ada ayah yang baik.Â