Seakan-akan aku perempuan yang 'tidak laku' alias 'leftover' yang akan semakin sulit mencari pasangan. Karena manusia di bumi masih menganggap usia ideal menikah bagi perempuan dibawah 30 tahun dan setelahnya adalah masa-masa kritis yang harus ditangani dengan bantuan pakar percintaan.
"Aku hanya akan menikah dengan lelaki yang tidak berniat menjadikan aku babu dalam pernikahan kami. Jika tidak ada lelaki yang sanggup menyayangiku dengan tingkat penghormatan yang setara dia menghormati ibunya, mungkin aku tidak akan menikah," jawabku ringan. Aku memang cukup sering ditertawakan karena memegang teguh konsep demikian seakan-akan sudah tidak waras.Â
Justru, aku berinvetasi pada diriku sendiri sejak lama agar tidak terjebak dalam pernikahan yang menjadikan aku babu bagi lelaki yang menjadi suamiku. Lagipula, dari miliaran lelaki di bumi, aku hanya akan menikahi seorang saja. Rasanya sah-sah saja jika aku punya mimpi berbeda dan unik untuk pernikahanku kelak.
Sejak lama aku menolak pandangan bahwa nilai seorang perempuan diukur melalui pencapaian berupa pernikahan. Bagiku, menikah adalah fase hidup dari sendiri menjadi bersama pasangan, kemudian memiliki tanggung jawab baru yaitu menghidupi anak-anak yang dilahirkan. Sehingga menikah tidak pernah menjadi mimpi tertinggi dari perjalanan hidupku.Â
Sebab, jika kelak aku menikah aku akan melakukan banyak hal demi karirku dalam dunia menulis, seni, pemberdayaan masyarakat dan mungkin bidang lain yang justru baru akan kurambah setelah menikah. Maka, aku nggak boleh ceroboh memilih pasangan karena aku membutuhkan seseorang yang mau menggenggam tanganku untuk menggenapi mimpi-mimpiku, dan bukan menjalani hidup dengan mengekor mimpi-mimpi lelaki yang menjadi suamiku kelak.
PEREMPUAN MUDA: TIDAK SEKOLAH, MENIKAH DINI LALU BERCERAI
Beberapa tahun belakangan ini kencang sekali anjuran menikah dini bagi manusia Indonesia, dengan alasan menghindari zina. Menurutku, itu sebuah alasan yang mengada-ada. Karena cara paling tepat menghindari zina ya tidak berzina, sebagaimana cara paling tepat tidak mencuri ya tidak mencuri. Bagaimana mungkin menikah dini (bahkan remaja) dianggap obat mujarab menghindari zina sementara pernikahan itu tidak 24 jam melulu urusan seksual, melainkan lebih banyak urusan ekonomi.Â
Jika pernikahan dini dianggap ideal menghindari zina, apakah juga sanggup membebaskan pasangan muda dari kemiskinan, kekurangan gizi bagi bayi yang dilahirkan dan kemungkinan bercerai?
Data dari UNICEF menyebutkan bahwa 25% anak Indonesia menikah dini dibawah usia 18 tahun. Bahkan, jika dibandingkan dengan total pernikahan yang terjadi di Indonesia, sebanyak 45% atau 2.5 juta pernikahan per tahun, mempelai perempuan masih berusia 15-19 tahun. Hasil riset menunjukkan bahwa pernikahan anak perempuan antara 15-19 tahun dipengaruhi faktor kemiskinan, adat dan budaya lokal, serta rendahnya akses pada pendidikan. Para orangtua memberi iming-iming bahwa pernikahan akan lekat dengan cinta, romansa, rasa aman dan perlindungan finansial.Â
Padahal, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa pernikahan ini merenggut banyak hak dalam hidup di anak seperti hak atas pendidikan, hak untuk hidup bebas dari kekerasan seksual, hak atas kesehatan, dan hak untuk dilindungi dari eksploitasi serta dipisahkan paksa dari orangtua. Terlebih lagi, pernikahan dini berkontribusi pada tingginya angka bayi stunting yang dalam jangka panjang berakibat fatal pada kualitas sumber daya manusia dan perekonomian nasional Indonesia.