"Hai, saya seorang petani. Adakah kiranya warga negara Indonesia  yang bangga memperkenalkan dirinya demikian?"
Indonesia merupakan sebuah bangsa yang disayangi Tuhan Sang Maha Pencipta. Bagaimana tidak, Tuhan berinvestasi dengan memberikan kekayaan alam melimpah ruah pada negeri gemah ripah loh jinawi ini. Dari Sabang sampai Merauke, kekayaan di darat dan laut Indonesia tidak tertandingi. Begitu melimpah, beraneka ragam dan bagai tak habis-habis. Alhamdulillah, rezeki manusia Indonesia begitu melimpah!
Karena kekayaan melimpah inilah, bangsa-bangsa di dunia mengenal Indonesia yang dulu masih bernama Nusantara sebagai bangsa agraris dan maritim. Bahkan di masa lampau, kapal-kapal dagang asing seperti dari India, Tiongkok dan Arab meramaikan pelabuhan-pelabuhan di seantero Indonesia demi berburu rempah-rempah.Â
Perdagangan rempah-rempah dunia semakin sengit manakala Portugis mulai masuk ke perairan Indonesia, menyusul kemudian kapal dagang VOC dari Belanda. Ratusan tahun lamanya mereka menikmati kekayaan alam Indonesia untuk dipasarkan kembali dengan harga mahal di pasar Eropa, hingga menimbulkan peperangan di berbagai daerah.Â
Kini, setelah 74 tahun merdeka dari penjajahan asing, Indonesia masih mengalami kesulitan untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Padahal mayoritas rakyat Indonesia merupakan petani. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah pekerja di sektor pertanian per Agustus 2018 mencapai 37.7 juta jiwa atau 28.79% dari total penduduk bekerja yaitu sebesar 124.01 juta jiwa.Â
Angka diatas  merupakan penurunan jumlah pekerja di sektor pertanian, perkebunan, perkebunan, kehutanan dan perburuan sebesar 1,2 juta orang sepanjang 2014-2017 (4 tahun), di mana jumlah pernah mencapai 40,8 juta orang pada 2014 menjadi 39,6 juta orang pada 2017
Penurunan jumlah petani memang memprihatinkan, meskipun berbagai alasan terasa masuk akal. Berkurangnya minat generasi muda menjadi petani digadang-gadang menjadi penyebab utama kesenjangan angkatan kerja berusia muda dan tua yang menjadi petani.Â
Terlebih ketika keluarga petani dengan sengaja menjauhkan anak-anak mereka dari dunia pertanian, tidak mewariskan ilmu bertani, tidak mewariskan tanah pertanian dan menyekolahkan anak mereka di bidang yang menjauhkan mereka dari profesi petani.Â
Semua itu diawali oleh satu alasan: malu jadi petani yang miskin dan kotor.Â
Selain itu, tingginya jumlah konversi lahan pertanian kedalam peruntukan bukan pertanian seperti untuk kepentingan industri dan pemukiman turut menggusur lahan pertanian serta melibas pekerjaan di bidang pertanian.Â