Jawaban-jawaban singkat namun menyedihkan dan menyiratkan kesepian yang sebenarnya dapat dituntaskan dengan solusi sederhana.
Selain karena mereka bingung hendak mudik ke mana, ke rumah Ayah atau Ibu. Ada juga yang merasa bahwa mudik bukan lagi peristiwa penting manakala keluarga sudah hancur berantakan.
Bahkan beberapa merasa nelangsa karena diabaikan keluarga baru orangtuanya, lalu memilih lebaran sendiria di perantauan.
"Enaknya ke rumah Ayah apa ke rumah Ibu? Sampe sekarang belum mudik. Bingung mau ke mana," tambah AN.
"Mudik nggak mudik tetep sama. Sama-sama nyesek setiap lebaran," ujar CP.
"Jangankan  mudik, hari lebaran aja bingung mau silaturahmi ke keluarga  mana. Mami  atau Papa? Dua-duanya sama-sama penting. Tapi, entahlah,"  keluh LL, yang sepertinya bingung hendak mudik ke rumah siapa.
"Di kosan, nangis diatas bantal pas malam takbiran," jawab DY dengan sejumlah emoticon menangis dengan kencang.Â
"Awalnya  mau mudik ke Jogja bareng keluarga Papa, tapi dimajuin mudiknya dan  yang pergi Papa dengan keluarga barunya tanpa aku, jadinya lebaran di  kosan, sendiri," tambah MT dengan sedih.Â
"Mudik?  Di rumah aja ngeliat bus dan mobil lalu-lalang sambil ngeliat  didalamnya ada keluarga yang sedang kegirangan bisa pulang kampung  bareng-bareng dan bahagia kumpul dengan keluarga besarnya," aku RFK  tampak putus asa.
"Ke Pekalongan. Itu pun hanya "mudik" tapi tidak dengan  suasana keluarga yang didalamnya ada cinta," tambah DH.
Mudik seringkali dimaknai sebagai cara yang patut lagi sopan para anak untuk berbakti pada orangtua. Karena memang dalam budaya Indonesiam orangtua itu selalu nomor satu dan tidak pernah salah.