Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Diary Pilihan

Melindungi (Nara)Sumber Tulisan dan Diri Kita Sendiri: Belajar dari Notifikasi Kompasiana

5 Desember 2024   15:57 Diperbarui: 5 Desember 2024   15:57 82
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sebagai penulis pemula di Kompasiana, saya terkejut ketika beberapa hari yang lalu saya mengunggah tulisan yang berjudul 'Buah Simalakama? Penegakan Hukum Penembakan Siswa SMKN 4 Semarang oleh Oknum Polisi'. Tulisan saya tidak muncul di halaman akun saya.

Saya menerima notifikasi dari Kompasiana yang menyatakan bahwa tulisan saya akan ditinjau ulang sebelum ditayangkan. Disitu dituliskan bahwa hal ini dilakukan untuk sekedar memastikan tulisan saya tidak menimbulkan dampak yang kurang baik bagi interaksi di Kompasiana.

Untungnya setelah beberapa menit kemudian, saya kembali menerima notifikasi yang mengatakan bahwa artikel yang dimaksud telah diterbitkan kembali.

Keterkejutan saya bukan tanpa alasan. Menyadari bahwa konten di Kompasiana menjadi tanggung jawab pribadi bloger, saya sebenarnya sudah melakukan self censorship dan sangat berhati-hati dalam mengunggah tulisan dibandingkan, misalnya ketika saya mengirimkan tulisan ke surat kabar atau saat saya menulis untuk diskusi.

Tulisan saya untuk surat kabar dan diskusi tentang gerakan anti privatisasi sumber daya air, misalnya, jauh lebih 'berani' dan jauh lebih berpihak. Tulisan-tulisan saya tersebut bahkan sudah  saya bukukan ke dalam dua buku yang berjudul 'Air Bersih Perkotaan Indonesia: Dalam Konteks Pro dan Kontra UU No. 7 tahun 2004' dan 'Undang-undang Sumber Daya Air dari Barang Sosial ke Barang Ekonomi', yang dapat diunduh gratis.

Melindungi (Nara)Sumber Tulisan

Saya memang belum secanggih Clifford Geertz saat dia menulis buku tentang Abangan, Santri, dan Priyayi. Sampai saat ini tidak jelas lokasi persisnya konteks dalam buku tersebut berada, yaitu Modjokuto, sebuah kota kecil di Jawa Timur. Namun, kita mampu 'merasakan' bahwa lokasi tersebut ada dan apa yang dituliskan dalam buku tersebut benar-benar ada. Belakangan baru orang mengasosiasikan Modjokuto sebagai Kota Pare, Kabupaten Kediri, Jawa Timur. Benar atau tidak, tidak ada kepastian yang benar-benar pasti.

Saya belajar banyak dari Geertz, bahwa saat kita menuliskan sesuatu yang dapat menimbulkan kontroversi, sebaiknya kita menyamarkan bukan hanya narasumber tetapi juga lokasi yang digambarkan dalam tulisan. Meskipun belum sempurna, saya berusaha meniru Geertz saat saya menulis tentang nenek yang membawa cucu yang autis di tulisan saya yang berjudul 'Perlu Malukah Kita Mengajak Anggota Keluarga Difabel ke Tempat Ibadah?'. Saya menyadari bahwa itu belum sempurna, meski saya sudah berusaha mencontoh Geertz. Menyadari ketidaksempurnaan saya, sampai hari ini saya tidak berani menuliskan tentang politik uang di Pemilu di Indonesia.

Etika yang saya belajar dari Geertz adalah jangan memojokkan narasumber tulisan kita. Jangan sampai tulisan kita membahayakan narasumber kita, meskipun kita sudah memperoleh informed consent.

Saya pernah menulis tentang informed consent di tulisan saya yang berjudul 'Menempatkan Kedoktoran Bahlil pada Proporsinya' yang saya unggah di Kompasiana. Informed consent adalah dokumen wajib yang harus dimiliki oleh peneliti (dan tentunya juga penulis) yang menunjukkan bahwa narasumber memberikan persetujuan penuh untuk dipublikasikan pendapatnya kepada masyarakat luas. Meskipun kita sudah memiliki informed consent, sebaiknya jika tulisan kita membahayakan posisi narasumber, kita harus benar-benar menyamarkannya.

Jika terjadi ekses negatif dari tulisan kita, maka kewajiban kita adalah untuk tetap merahasiakan narasumber. Kita harus yang bertanggung jawab penuh terhadap tulisan kita. Kita mungkin masih ingat kasus Aiman Witjaksono yang akhirnya dipolisikan. Aiman tetap merahasiakan identitas narasumber dari mana dia memperoleh informasi tentang oknum polisi yang tidak netral. Meskipun akhirnya kasus ini dihentikan oleh polisi (Detik News, 28 Maret 2024), Aiman sempat diperiksa polisi terkait dengan dugaan penyebaran berita hoaks tentang ketidaknetralan polisi (Suara Merdeka, 29 November 2023).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Diary Selengkapnya
Lihat Diary Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun