Menurut data Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional timbunan sampah di Indonesia pada tahun 2023 adalah 69,9 juta ton dan 44,37%-nya berasal dari Rumah Tangga (lihat https://ppid.menlhk.go.id/berita/siaran-pers/7818/klhk-ajak-masyarakat-gaya-hidup-minim-sampah-dalam-festival-like-2).
Solusi yang ditawarkan saat ini, seperti mengurangi sampah, memilah sampah dan mendirikan bank sampah, tampaknya tidak dapat mengurangi tumpukan sampah. Lalu apa solusinya atau apa solusi yang menimbulkan dampak lingkungan yang paling minimal?
Kegagalan Memilah dan Mendirikan Bank Sampah
Berbagai anjuran dan usaha untuk memilah sampah organik dan anorganik di level rumah tangga tampaknya tidak membuahkan hasil. Berbeda dengan negara maju, tanggung jawab untuk mengumpulkan sampah ke Tempat Penampungan Sementara (TPS) Sampah di Indonesia diserahkan kepada warga, sehingga tidak ada jaminan proses pemilahan sampah di level rumah tangga akan berguna.
Di negara lain seperti ditempat saya sekolah di Nijmegen, Belanda, misalnya, tanggung jawab pengumpulan sampah ada di pemerintah kota dengan petugas khusus yang mereka rekruit untuk kepentingan tersebut. Di Nijmegen setiap rumah tangga harus membeli kantong plastik berwarna hijau untuk mengumpulkan dan membuang sampah organiknya. Kita wajib membeli kantong plastik tersebut seharga sekitar 10 Euro untuk 10 kantong. Untuk menghemat biaya pembelian kantong plastik, maka setiap rumah tangga biasanya berusaha untuk memaksimalkan penggunaan kantong dengan mengisi penuh kantong sebelum membuangnya.
Petugas kebersihan kota bertanggung jawab untuk mengambil sampah tersebut pada hari dan jam tertentu, biasanya setiap dua minggu sekali. Jika kita membuang sampah di luar jadwal pengambilan, maka sampah yang ada di kantong plastik kita, tidak akan diambil oleh petugas. Dan, jika sampah kita menimbulkan bau selama menunggu sampah kita diambil petugas, maka kita bisa diprotes oleh tetangga kita. Akibatnya, warga rata-rata patuh membuang sampahnya sesuai dengan jadwal pengambilan.
Sementara untuk sampah kertas, plastik dan sampah beling di Nijmegen biasanya ada kontainer khusus untuk masing-masing jenis sampah di dekat lokasi tempat tinggal kita. Petugas kebersihan kota juga yang akan mengambil pada hari tertentu untuk setiap jenis sampah dari kontainer tersebut. Akibatnya, proses pemilahan sampah pada level rumah tangga menjadi efisien dan efektif untuk dibawa ke proses daur ulang dan dalam kondisi yang relatif masih bersih dan baik.
Di Indonesia, keberhasilan proses pemilahan sampah di level rumah tangga sangat tergantung pada petugas pengumpul sampah yang akan membawa sampah kita ke TPS. Jika petugas ini sadar akan nilai ekonomi sampah, memiliki jaringan ke pengepul sampah, dan memiliki keinginan untuk mengolah sampah, maka program pemilahan sampah di level rumah tangga akan berhasil mengurangi jumlah timbunan sampah. Jika tidak, maka pemilahan sampah di level rumah tangga menjadi sia-sia, karena sampah yang sudah dipilah kemudian dicampur lagi untuk diangkut ke TPS.
Selain kampanye pemilahan sampah di level rumah tangga, pemerintah bersama dengan stakeholder lain juga mempopulerkan bank sampah. Dikutip dari Antaranews (9/8/2024), Direktur Pengurangan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Vinda Damayanti Arsjar mengatakan bahwa terdapat hampir 17.000 bank sampah yang ada di Indonesia. Namun, yang aktif beroperasi hanya 20-30 persen saja. Artinya, bank sampah juga tidak memberikan kontribusi signifikan untuk mengurangi timbunan sampah.
Lalu Apa Alternatif Solusinya?
Saat ini proses pengolahan sampah di Indonesia banyak dilakukan di Tempat Pemrosesan Akhir (TPA) Sampah. Yang tradisional, proses pemilahan dilakukan oleh pemulung di TPA. Karena sampah sudah tercampur satu dengan yang lain, biasanya sampah anorganik yang akan didaur ulang sudah rusak dan kotor.
Karena kondisinya yang kotor, menurut penelitian untuk satu liter soft drink diperlukan 1,25 liter air bersih untuk proses pre-rinse, pre-wash, caustic wash, dan proses akhir pencucian (Camperos, Nacheva dan Tapia, 2004). Itu baru air bersih yang kemudian menjadi limbah cair, belum lagi limbah soda kostik dan bahan kimia lainnya. Bahkan menurut artikel yang sama, jika dihitung mulai dari proses pembuatan botol, transportasi, pengisian botol dengan soft drink, dan daur ulang limbah botol plastiknya, diperlukan 2,5 sampai 3,5 liter air bersih untuk setiap liter soft drink yang kita minum. Jadi mengolah sampah setelah sampah di TPA bukanlah solusi yang tepat, mengingat limbah cair yang dihasilkan.
Saat ini pemerintah memodernisir proses pemulungan melalui Tempat Pengolahan Sampah Terpadu atau TPST. Namun, hal ini tidak mengatasi masalah bahwa sampah yang diolah sudah kotor dan rusak karena TPST juga merupakan TPA. TPST juga berakibat buruk pada kondisi ekonomi pemulung, karena pemulung tidak dapat lagi mencari nafkah dari sampah yang kita buang.
Masalah yang sering terjadi adalah, jika kita menggunakan pendekatan 'moderen', sering kali pemilihan pendekatan 'moderen' dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya pada wong cilik. Di saat lapangan kerja masih banyak dibutuhkan, pendekatan 'moderen' sering kali justru menghilangkan kesempatan kerja. Dan, celakanya yang dihilangkan adalah kesempatan kerja bagi masyarakat miskin.
Jika pemerintah ingin lebih memanusiawikan pemulung, maka pemerintah dan tentunya bersama dengan stakeholder yang lain, dalam hal ini warga masyarakat yang diwakili oleh para Ketua RT dan Ketua RW, perlu memberdayakan dan meningkatkan peran pemulung dalam mengurangi tumpukan sampah atau paling tidak mengurangi konsumsi air yang diperlukan untuk mengolah sampah anorganik dan limbah cair yang dihasilkan, khususnya untuk sampah plastik.
Selayaknya, papan larangan 'Pemulung Dilarang Masuk' diganti dengan 'Pemulung yang Tidak Terakreditasi RT/RW Dilarang Masuk'. Informasi sumir tentang latar belakang larangan pemulung masuk ke permukiman kita, adalah karena adanya kekhawatiran kesempatan yang diberikan kepada pemulung akan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk melakukan tindakan kriminal, seperti pencurian.
Jika kekhawatirannya seperti ini, maka solusinya mudah sekali yaitu dengan memberikan 'akreditasi' kepada pemulung yang sudah diseleksi yang diperbolehkan masuk ke permukiman kita. Penandanya bisa bermacam-macam untuk pemulung terakreditasi, bisa mulai dengan diperkenalkan kepada warga saat rapat RT atau RW, diberi seragam khas RT/RW, sampai yang moderen diberi kartu tanda pengenal atau tanda masuk ke khususnya kompleks perumahan berkategori gated community.
Dibandingkan dengan Bank Sampah, pemulung sudah mengetahui jalur proses daur ulang sampah. Dengan penunjukkan pemulung yang 'terakreditasi', maka ada banyak keuntungan. Pertama, sampah yang dikumpulkan pemulung relatif lebih bersih dibandingkan sampah di TPA, sehingga air yang diperlukan untuk membersihkan sampah dan limbah cair yang dihasilkan, khususnya untuk sampah plastik bisa dikurangi.
Keuntungan kedua, proses pemilahan sampah di level rumah tangga menjadi efektif, karena ada jaminan tidak akan dicampur kembali oleh petugas sampah saat sampah diangkut dari rumah ke TPS. Ada pemulung yang mau memulung apa saja, tetapi biasanya pemulung punya spesialisasi, ada yang khusus pengumpul sampah plastik, ada yang khusus mengumpulkan kertas dan karton, dst.
Keuntungan ketiga, jika proses seleksi pemulung yang terakreditasi dilakukan dengan baik dan jadwal pengambilan diatur dengan tepat, maka pemulung justru dapat membantu proses pengamanan kompleks perumahan.
Jika argumen di atas benar, maka sudah seharusnya papan larangan 'Pemulung Dilarang Masuk' diganti bunyinya 'Pemulung Tidak TERAKREDITASI Dilarang Masuk'. Biarlah TPST mengolah sampah lain yang tidak diminati oleh wong cilik seperti pemulung.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H