Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Memulung di Sumbernya: Solusi Timbunan Sampah

22 November 2024   14:21 Diperbarui: 22 November 2024   14:30 147
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Nature. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena kondisinya yang kotor, menurut penelitian untuk satu liter soft drink diperlukan 1,25 liter air bersih untuk proses pre-rinse, pre-wash, caustic wash, dan proses akhir pencucian (Camperos, Nacheva dan Tapia, 2004). Itu baru air bersih yang kemudian menjadi limbah cair, belum lagi limbah soda kostik dan bahan kimia lainnya. Bahkan menurut artikel yang sama, jika dihitung mulai dari proses pembuatan botol, transportasi, pengisian botol dengan soft drink, dan daur ulang limbah botol plastiknya, diperlukan 2,5 sampai 3,5 liter air bersih untuk setiap liter soft drink yang kita minum. Jadi mengolah sampah setelah sampah di TPA bukanlah solusi yang tepat, mengingat limbah cair yang dihasilkan.

Saat ini pemerintah memodernisir proses pemulungan melalui Tempat Pengolahan Sampah Terpadu atau TPST. Namun, hal ini tidak mengatasi masalah bahwa sampah yang diolah sudah kotor dan rusak karena TPST juga merupakan TPA. TPST juga berakibat buruk pada kondisi ekonomi pemulung, karena pemulung tidak dapat lagi mencari nafkah dari sampah yang kita buang.

Masalah yang sering terjadi adalah, jika kita menggunakan pendekatan 'moderen', sering kali pemilihan pendekatan 'moderen' dilakukan tanpa memperhitungkan dampaknya pada wong cilik. Di saat lapangan kerja masih banyak dibutuhkan, pendekatan 'moderen' sering kali justru menghilangkan kesempatan kerja. Dan, celakanya yang dihilangkan adalah kesempatan kerja bagi masyarakat miskin.

Jika pemerintah ingin lebih memanusiawikan pemulung, maka pemerintah dan tentunya bersama dengan stakeholder yang lain, dalam hal ini warga masyarakat yang diwakili oleh para Ketua RT dan Ketua RW, perlu memberdayakan dan meningkatkan peran pemulung dalam mengurangi tumpukan sampah atau paling tidak mengurangi konsumsi air yang diperlukan untuk mengolah sampah anorganik dan limbah cair yang dihasilkan, khususnya untuk sampah plastik.

Selayaknya, papan larangan 'Pemulung Dilarang Masuk' diganti dengan 'Pemulung yang Tidak Terakreditasi RT/RW Dilarang Masuk'. Informasi sumir tentang latar belakang larangan pemulung masuk ke permukiman kita, adalah karena adanya kekhawatiran kesempatan yang diberikan kepada pemulung akan dimanfaatkan oleh pihak lain untuk melakukan tindakan kriminal, seperti pencurian.

Jika kekhawatirannya seperti ini, maka solusinya mudah sekali yaitu dengan memberikan 'akreditasi' kepada pemulung yang sudah diseleksi yang diperbolehkan masuk ke permukiman kita. Penandanya bisa bermacam-macam untuk pemulung terakreditasi, bisa mulai dengan diperkenalkan kepada warga saat rapat RT atau RW, diberi seragam khas RT/RW, sampai yang moderen diberi kartu tanda pengenal atau tanda masuk ke khususnya kompleks perumahan berkategori gated community.

Dibandingkan dengan Bank Sampah, pemulung sudah mengetahui jalur proses daur ulang sampah. Dengan penunjukkan pemulung yang 'terakreditasi', maka ada banyak keuntungan. Pertama, sampah yang dikumpulkan pemulung relatif lebih bersih dibandingkan sampah di TPA, sehingga air yang diperlukan untuk membersihkan sampah dan limbah cair yang dihasilkan, khususnya untuk sampah plastik bisa dikurangi.

Keuntungan kedua, proses pemilahan sampah di level rumah tangga menjadi efektif, karena ada jaminan tidak akan dicampur kembali oleh petugas sampah saat sampah diangkut dari rumah ke TPS. Ada pemulung yang mau memulung apa saja, tetapi biasanya pemulung punya spesialisasi, ada yang khusus pengumpul sampah plastik, ada yang khusus mengumpulkan kertas dan karton, dst.

Keuntungan ketiga, jika proses seleksi pemulung yang terakreditasi dilakukan dengan baik dan jadwal pengambilan diatur dengan tepat, maka pemulung justru dapat membantu proses pengamanan kompleks perumahan.

Jika argumen di atas benar, maka sudah seharusnya papan larangan 'Pemulung Dilarang Masuk' diganti bunyinya 'Pemulung Tidak TERAKREDITASI Dilarang Masuk'. Biarlah TPST mengolah sampah lain yang tidak diminati oleh wong cilik seperti pemulung.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun