Menarik sekali pilihan Prabowo untuk memulai kunjungan kerja pertamanya justru ke Kabupaten Merauke, Papua Selatan. Kunjungan ini bukan hanya simbol komitmen presiden untuk memeratakan pembangunan nasional, seperti diberitakan Kompas.com 2/11/2024, tetapi juga memiliki makna unik di tengah kontroversi pembangunan food estate.
Kita tentu masih ingat kontroversi program Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) di jaman Pemerintahan Jokowi. Kunjungan Prabowo menegaskan kembali komitmen pemerintah untuk menjadikan Merauke sebagai lumbung pangan dan bahan baku energi terbarukan, tetapi dengan nuansa baru. Prabowo justru memilih untuk menyapa dan berbincang langsung dengan petani yang sedang melakukan proses menanam padi.
Kementerian Sekretariat Negara dalam web-nya menuliskan tentang testimoni Petrus, salah satu petani di Desa Telaga Sari, Distrik Kurik, Kabupaten Merauke, Provinsi Papua Selatan. Dalam berita tersebut, Petrus dilaporkan mengungkapkan rasa syukur dengan meningkatnya hasil panen dari 2 ton gabah menjadi 7 hingga 8 ton berkat program dan bantuan pemerintah.
Satu simbol baru tampak. Prabowo membuat satu pilihan yang sangat berbeda dengan Jokowi. Jokowi memilih menekankan bahwa program MIFEE akan didominasi oleh perusahaan domestik dan BUMN (baca perusahaan).Â
Prabowo tidak bertemu dengan pengusaha yang akan menguasai proyek MIFEE, tetapi bertemu dengan petani. Mudah-mudahan kunjungan ini juga menjadi simbol komitmen Prabowo untuk membuat petani di Papua khususnya dan di Indonesia pada umumnya, sejahtera dengan program MIFEE, dan bukan perusahaan domestik, BUMN atau perusahaan asing yang sejahtera.
Kontroversi Food Estate
Pada level nasional kontroversi program food estate secara politis terakhir terjadi saat Sekjen PDI-P menyatakan bahwa program Pemerintahan Jokowi ini dapat dikategorikan sebagai kejahatan lingkungan. Jika dirunut lebih jauh, Ginting dan Pye (2013) misalnya mengatakan bahwa program ini disinyalir merupakan perampasan tanah dalam jumlah yang besar (land grabbing).
Saya bahkan berpendapat bahwa program MIFEE dan sejenisnya adalah bentuk penjajahan model yang sangat baru atau dalam istilah saya ultra neo-kolonialisme. Penguasaan lahan dalam jumlah besar seperti program food estate mengingatkan kita kembali pada penjajahan jaman VOC. Bedanya pada jaman VOC, kita sadar bahwa kita dijajah.Â
Saat ini melalui program food estate, tanah dikuasai oleh perusahaan dan kita tidak merasa bahwa kita dijajah. Jika jaman VOC produknya adalah rempah-rempah, saat ini produknya adalah pangan dan bahan baku energi terbarukan. Rempah-rempah sudah pasti dibawa ke Eropa, pangan dan bahan baku energi juga punya potensi untuk dibawa ke Negara Maju.
Mungkin benar seperti yang disampaikan Jokowi, bahwa lahan di program MIFEE akan dikuasai oleh perusahaan domestik dan BUMN. Namun, jangan lupa tidak ada jaminan bahwa produk yang dihasilkan oleh perusahaan domestik dan BUMN akan digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Sebagai entitas bisnis, perusahaan tentu akan menjual produknya kepada mereka yang mau membeli dengan harga lebih mahal.
Perusahaan domestik dan BUMN saja, jika tidak ada regulasi yang kuat, pasti akan menjual produknya kepada pembeli yang mau membayar lebih mahal. Tidak peduli apakah itu rakyat Indonesia atau bukan. Apalagi jika lahan di program MIFEE dan sejenisnya dikuasai oleh perusahaan asing atau perusahaan yang berafiliasi dengan perusahaan asing. Situasinya mirip seperti jaman VOC, tetapi kita tidak sadar bahwa kita dijajah oleh mekanisme pasar.