Mohon tunggu...
Wijanto Hadipuro
Wijanto Hadipuro Mohon Tunggu... Penulis - Peneliti dan penulis

Saya pensiunan tenaga pengajar yang senang menulis tentang apa saja. Tulisan saya tersebar di Facebook, blogspot.com, beberapa media masa dan tentunya di Kompasiana. Beberapa tulisan sudah diterbitkan ke dalam beberapa buku.

Selanjutnya

Tutup

Entrepreneur

Exit Interview

25 Oktober 2024   07:33 Diperbarui: 25 Oktober 2024   07:37 30
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu ketika saya masih bekerja di dunia bisnis dan memimpin perusahaan atau departemen, saya tidak pernah melakukan atau meminta HRD untuk melakukan exit interview saat anak buah saya keluar kerja. Namun, saat anak saya keluar dari perusahaan yang lama, saya menyadari betapa pentingnya exit interview. Ada banyak 'ganjalan' yang menyebabkan anak saya memutuskan keluar dari tempat kerja yang lama.

Wawancara dilakukan pada hari terakhir anak saya akan keluar oleh HCD (Human Capital Development, baca personalia) perusahaan. 'Ganjalan' yang semula ragu untuk disampaikan akhirnya tidak dapat ditahan dan disampaikan kepada si pewawancara tentang masalah yang menyebabkan anak saya keluar kerja.

Hebatnya beberapa minggu setelah exit interview, perusahaan kemudian merombak struktur organisasi. Tentunya bukan hanya berdasarkan hasil exit interview, tetapi juga mungkin dari hasil evaluasi lainnya. Hasil perombakan tidak dapat saya ikuti dan paparkan di tulisan ini.

Kejadian kedua yang menyadarkan saya akan pentingnya exit interview adalah saat saya menunggu antrian pencairan dana DPLK (Dana Pensiun Lembaga Keuangan) di sebuah bank. Ternyata sebelah saya duduk mantan rekan kerja yang tidak saya kenal dan dia tidak mengenal saya. Maklum, saat pandemi semua karyawan kerja di rumah, kemudian saya menambah empat bulan kerja di rumah serta delapan bulan cuti di luar tanggungan.

Yang bersangkutan sudah bekerja lima setengah tahun di tempat saya bekerja. Si ibu muda ini mengeluh baru saja dari Rumah Sakit karena masalah kelenjar getah bening yang katanya disebabkan oleh kelelahan akibat kerja. Kemudian yang bersangkutan menceritakan macam-macam pekerjaan yang harus dia lakukan selama lima setengah tahun bekerja. Anehnya dia satu unit dengan pimpinan tertinggi organisasi dan pimpinan unitnya dalam bekerja. Menurut yang bersangkutan, dia sudah mengeluh  tidak sanggup, tetapi organisasi tidak mengambil tindakan seperti menambah karyawan baru atau mengurangi beban kerjanya. Lalu, dia menggunakan alasan akan menyusul suami di luar negeri, sehingga harus mengundurkan diri dari organisasi tempatnya bekerja.

Anehnya lagi, saat kemudian saya bertemu dengan atasan pimpinan dari bagian LPSDM (Lembaga Pengembangan Sumber Daya Manusia) organisasi tersebut dan menceritakan pertemuan saya dengan ibu muda yang keluar dan alasan sebenarnya dia keluar kerja, pimpinan tersebut tidak acuh. Dari gesturnya, saya membaca 'untuk apa mendiskusikan orang yang sudah memutuskan keluar kerja'. Aneh, padahal karyawan yang akan keluar kerja biasanya akan lebih 'bebas' dalam mengemukakan masalah dan pendapatnya karena tidak ada beban. Toh, bagi dirinya, dia akan berpikir bahwa dia sudah memutuskan keluar kerja, sehingga dia tidak perlu takut-takut lagi mengemukakan pendapatnya secara bebas.

Pentingnya Exit Interview

Exit interview mungkin tidak akan memberikan dampak pada review mantan karyawan tentang perusahaan, seperti yang sering kita baca di ulasan di internet. Namun, exit interview dapat menjadi bahan evaluasi bagi organisasi kita agar kita tidak terperosok pada lubang yang sama terus-menerus.

Manfaat lain exit interview adalah membangun jejaring. Jangan anggap karyawan yang akan keluar kerja sebagai musuh. Sebaliknya kita harus dukung dia dan berharap dia akan lebih sukses dan bahagia di tempat kerjanya yang baru. Di industri tempat anak saya bekerja adalah hal yang biasa perusahaan men-sub kontrak-kan produksi kepada perusahaan lain. Jika ada mantan bawahan kita bekerja di perusahaan tersebut, kita bisa memiliki jejaring dan juga informasi serta keyakinan terhadap keputusan kita untuk men-sub kontrak-kan pekerjaan. Jika dia tidak bekerja di industri yang sama pun, kita dapat menambah jejaring pertemanan yang siapa tahu berguna bagi kita dan perusahaan kita di masa yang akan datang.

Jadi, stop mengabaikan karyawan yang akan berhenti bekerja. Jangan pernah berpikir exit interview hanya buang-buang waktu kita yang sangat berharga. Berhenti juga menganggap karyawan yang akan berhenti bekerja sebagai musuh kita yang akan membocorkan rahasia kita, jika kita masih ajak dia untuk mengikuti rapat. Rahasia yang dia miliki sudah lebih banyak dibandingkan rahasia baru yang akan dia dapat ketika dia kita ajak ikut rapat di hari-hari terakhir dia bekerja. Perlakukan dia layaknya karyawan dan bawahan kita seperti biasanya, jika perlu buatkan pesta perpisahan yang mengesankan untuk dia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Entrepreneur Selengkapnya
Lihat Entrepreneur Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun