Sebuah pepatah latin mengatakan, "non scholae sed vitae discimus". Terjemahan bebasnya—kurang lebih—kita belajar bukan untuk nilai di atas kertas atau pengakuan orang lain, melainkan untuk hidup.Â
Saya belajar, orang harus tidak dinilai dari hitam di atas putih, yang kini menjadi standar pintar dan sukses. Saya belajar, orang harus dinilai dari perilaku karena perilaku adalah ukuran kesadaran, bukan suku, ras, apalagi agama. Lahir enggak minta, mati tidak tahu. Apakah adil menilai orang karena sesuatu yang tahu-tahu ia miliki tanpa sempat memilih? Karena sadar saya bodoh dan sempat merasakan sulit dalam mencari kerja, saya berusaha bekerja sebaik mungkin dan sejujur mungkin.Â
Ibu saya pernah mengatakan—sebetulnya di buku saku Pramuka juga ada—kejujuran itu mata uang yang berlaku di mana-mana. Itu terbukti benar karena banyak orang mengeluarkan uang banyak dan atau mendapatkan uang banyak untuk membeli atau menggadaikan kejujurannya. Tentu saja, bukan konsep kejujuran seperti ini yang dimaksud ibu saya. "Apesnya", kejujuran yang diajarkan ibu saya itu sudah teramat langka.Â
Soal Pilkada, karena menyadari saya bodoh, saya tak mau berpikir dan bicara banyak-banyak soal politik negeri ini. Saya tak tahu, apalagi paham, kenapa UUD 1945 harus diacak-acak. Menurut saya, isinya tambah banyak, tetapi semakin sedikit saja yang paham artinya. Pancasila yang isinya sedikit saja banyak yang tidak hafal, apalagi mengamalkan. Saya hanya tahu bahwa negara ini adalah negara demokrasi dan demokrasi berarti kekuasaan  ada di tangan rakyat.Â
Gara-gara pengetahuan yang sedikit ini, saya emosi melihat orang-orang ribut soal pemilihan kepala daerah langsung dan tak langsung. Emosi saya ini cukup besar untuk membuat—meminjam diksi Hercule Poirot—sel-sel kelabu saya bergerak lebih cepat dari biasanya. Hasilnya, saya hanya mengernyitkan dahi. Saya heran, orang-orang hanya mengeluh, menggerutu, dan mencaci, ketika RUU Pilkada disahkan menjadi UU Pilkada oleh DPR pada 27 September 2014. Ada kekhawatiran, UU tersebut akan menguntungkan kelompok tertentu dan membahayakan pemerintahan baru.Â
Betul, dengan UU tersebut, keramaian pesta demokrasi seperti terjadi dalam beberapa tahun terakhir akan berkurang. Namun, menurut saya, UU tersebut tidak mengurangi kedaulatan rakyat. Dengan UU itu, menurut saya, rakyat sebetulnya "diharapkan" berpikir lebih keras, lebih cerdas, dan tentu saja lebih "jual mahal" ketika "musim" pemilihan apa pun tiba.Â
Menurut saya, dalam konsep demokrasi, suara akan selalu ada di tangan rakyat. Rakyat bisa bersuara sebelum, ketika, dan setelah roda pemerintahan yang baru berjalan. Dengan begitu, kekhawatiran UU Pilkada akan merampas suara rakyat hanya merendahkan dan mempermalukan diri sendiri. Sebab, orang yang kita nilai membahayakan itu sesungguhnya lahir dari rahim kita sendiri: rakyat. Jika suatu hari orang yang diberikan mandat berkhianat, rakyat punya hak untuk mengambil kembali suara yang telah mereka titipkan dan tidak menyerah kepada uang. Jangan pikirkan bagaimana mekanisme atau apa pun namanya karena selalu ada pengecualian dalam dunia manusia.Â
Tentang gajah dan TuhanÂ
Dalam kehidupan manusia yang cenderung menuntut kebebasan sampai sering bablas, sudah "hukumnya" bahwa yang kaya menindas, yang miskin berontak. Sudah "hukumnya" yang kaya memeras, yang miskin merampas. Sudah "hukumnya" yang kaya menghukum si miskin, yang miskin menghakimi si kaya.Â
Jika begitu, ikuti saja dulu apa mau "mereka", seperti kebijakan PT Kereta Api Indonesia soal tiket harian berjaminan, misalnya. Awalnya, tak ada tiket harian berjaminan (THB). Karena terus-menerus menanggung ongkos cetak tiket yang tak kembali, PT KAI mengimbau masyarakat mengembalikan tiket. Karena imbauan itu tidak dipatuhi, PT KAI mengeluarkan win-win solution dengan mengeluarkan tiket harian berjaminan. Dengan THB, PT KAI tak akan rugi jika masyarakat ingin "mengoleksi" tiket. Masyarakat juga akan berpikir dua tiga kali untuk mengoleksi THB karena telah membayar di muka ongkos cetaknya. Ya, kurang lebih begitu...Â
Ada ujar-ujaran yang mengatakan, hanya orang-orang yang siap mati akan siap untuk hidup. Kalau ibu saya mengatakan, Indonesia tak maju-maju (sejahtera) karena orang takut mati dan takut miskin. Kita hanya berpikir soal rumah sendiri, mobil sendiri, serta keluarga dan diri sendiri. Kita menumpuk harta sampai tak risau saat tetangga kita tidak bisa makan. Kita tetap duduk anteng di kursi KRL Commuter Line meski wajah kita tepat berada di depan perut seorang nenek yang berdiri dengan menaruh tangan pada tas punggung orang lain untuk menjaga keseimbangan. Kita melewati orang yang jatuh di jalan karena khawatir terlambat ke sekolah atau ke kantor.Â